Kemudian
datanglah masa pemerintahan Amirul Mu`minin Utsman bin Affan ra. Di
wilayah-wilayah yang baru dibebaskan, sahabat nabi yang bernama Hudzaifah bin
al-Yaman terkejut melihat terjadi perbedaan dalam membaca al-Qur`an. Hudzaifah
melihat penduduk Syam membaca al-Qur`an dengan bacaan Ubay bin Ka’ab. Mereka
membacanya dengan sesuatu yang tidak pernah didengar oleh penduduk Irak. Begitu
juga ia melihat penduduk Irak membaca al-Qur`an dengan bacaan Abdullah bin
Mas’ud, sebuah bacaan yang tidak pernah didengar oleh penduduk Syam. Implikasi
dari fenomena ini adalah adanya peristiwa saling mengkafirkan di antara sesama
muslim. Perbedaan bacaan tersebut juga terjadi antara penduduk Kufah dan
Bashrah.
Hudzaifah pun
marah. Kedua matanya merah.
Hudzaifah
berkata, “Penduduk Kufah membaca qiraat Ibnu Mas’ud, sedangkan penduduk Bashrah
membaca qiraat Abu Musa. Demi Allah jika aku bertemu dengan Amirul Mu`minin,
sungguh aku akan memintanya untuk menjadikan bacaan tersebut menjadi satu.”
Sekitar tahun
25 H, datanglah Huzaifah bin al-Yaman menghadap Amirul Mu`minin Utsman bin
Affan di Madinah.
Hudzaifah
berkata, “Wahai Amirul Mu`minin, sadarkanlah umat ini sebelum mereka berselisih
tentang al-Kitab (al-Qur`an) sebagaimana perselisihan Yahudi dan Nasrani.”
Utsman kemudian
mengutus seseorang kepada Hafshah agar Hafshah mengirimkan lembaran-lembaran
al-Qur`an yang ada padanya kepada Utsman untuk disalin ke dalam beberapa
mushhaf, dan setelah itu akan dikembalikan lagi.
Hafshah pun
mengirimkan lembaran-lembaran al-Qur`an itu kepada Utsman.
Utsman lalu
memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin al-‘Ash, dan
Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke dalam beberapa mushhaf.
Utsman
bertanya, “Siapa yang orang yang biasa menulis?”
Dijawab,
“Penulis Rasulullah saw adalah Zaid bin Tsabit.”
Utsman bertanya
lagi, “Lalu siapa oang yang paling pintar bahasa Arabnya?”
Dijawab, “Said
bin al-‘Ash.
Utsman kemudian
berkata, “Suruhlah Said untuk mendiktekan dan Zaid untuk menuliskan al-Qur`an.”
Saat proses
penyalinan mushhaf berjalan, mereka hanya satu kali mengalami kesulitan, yakni
adanya perbedaan pendapat tentang penulisan kata “at-Taabuut”.
Seperti
diketahui, yang mendiktekannya adalah Said bin al-Ash dan yang menuliskannya
adalah Zaid bin Tsabit. Semua dilakukan di hadapan para sahabat. Ketika Said
bin al-Ash mendiktekan kata at-Taabuut maka Zaid bin Tsabit menuliskannya
sebagaimana ditulis oleh kaum Anshar yaitu at-Taabuuh, karena memang begitulah
menurut bahasa mereka dan begitulah mereka menuliskannya. Tetapi anggota tim
lain memberitahukan kepada Zaid bahwa sebenarnya kata itu tertulis di dalam
lembaran-lembaran al-Qur`an dengan Ta` Maftuhah, dan mereka memperlihatkannya
ke Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit memandang perlu untuk menyampaikan hal itu
kepada Utsman supaya hatinya menjadi tenang dan semakin teguh. Utsman lalu
memerintahkan mereka agar kata itu ditulis dengan kata seperti dalam
lembaran-lembaran al-Qur`an yaitu dengan Ta` Mahtuhah. Sebab hal itu merupakan
bahasa orang-orang Quraisy, lagi pula al-Qur`an diturunkan dengan bahasa
mereka. Akhirnya ditulislah kata tersebut dengan Ta` Maftuhah.
Demikianlah,
mereka tidak berbeda pendapat selain dari perkara itu, karena mereka hanya
menyalin tulisan yang sama dengan yang ada pada lembaran-lembaran al-Qur`an,
dan bukan berdasarkan pada ijtihad mereka.
Setelah mereka
menyalin lembaran-lembaran tersebut ke dalam mushhaf, Utsman segara
mengembalikannya kepada Hafshah.
Utsman kemudian
mengirimkan salinan-salinan mushhaf ke seluruh wilayah negeri Islam agar
orang-orang tidak berbeda pendapat lagi tentang al-Qur`an. Jumlah salinan yang
telah dicopy sebanyak tujuh buah. Tujuh salinan tersebut dikirimkan
masing-masing satu copy ke kota Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah dan
Madinah. Mushhaf inilah yang kemudian dikenal dengan nama Mushhaf Utsmani.
Utsman kemudian
memerintahkan al-Qur`an yang ditulis oleh sebagian kaum muslimin yang
bertentangan dengan Mushhaf Utsmani yang mutawatir tersebut untuk dibakar.
Pada masa
berikutnya kaum muslimin menyalin mushhaf-mushhaf yang lain dari mushhaf
Utsmani tersebut dengan tulisan dan bacaan yang sama hingga sampai kepada kita
sekarang.
Adapun
pembubuhan tanda syakal berupa fathah, dhamah, dan kasrah dengan titik yang
warna tintanya berbeda dengan warna tinta yang dipakai pada mushhaf yang
terjadi di masa Khalifah Muawiyah dilakukan untuk menghindari kesalahan bacaan
bagi para pembaca al-Qur`an yang kurang mengerti tata bahasa Arab. Pada masa
Daulah Abbasiyah, tanda syakal ini diganti. Tanda dhamah ditandai dengan dengan
wawu kecil di atas huruf, fathah ditandai dengan alif kecil di atas huruf, dan
kasrah ditandai dengan ya` kecil di bawah huruf.
Begitu pula
pembubuhan tanda titik di bawah dan di atas huruf di masa Khalifah Abdul Malik
bin Marwan dilakukan untuk membedakan satu huruf dengan huruf lainnya.
Dengan
demikian, al-Qur`an yang sampai kepada kita sekarang adalah sama dengan yang
telah dituliskan di hadapan Rasulullah saw. Allah SWT telah menjamin terjaganya
al-Qur`an. Tidak ada orang yang berusaha mengganti satu huruf saja dari
al-Qur`an kecuali hal itu akan terungkap.
Allah SWT
berfirman:
Innaa nahnu
nazzalnadz dzikra wa innaa laHu lahaafizhuun
Artinya:
Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan al-Qur`an dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]: 9)
0 komentar:
Posting Komentar