TOKOH FILSAFAT PENDIDIKAN PEMIKIRAN JOHN DEWEY TENTANG PRAGMATISME

TOKOH FILSAFAT PENDIDIKAN
PEMIKIRAN JOHN DEWEY TENTANG PRAGMATISME
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan
yang diampu oleh: Bpk Agus Nurwiyatno








Di susun oleh :
Ahmad Rifai                    (11470085)
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pragmatisme sebagai suatu gerakan dalam filsafat lahir pada akhir abad ke-19 di Amerika. Karena itu sering dikatakan bahwa pragmatisme merupakan sumbangan yang paling orisinal dari pemikiran Amerika terhadap perkembangan filsafat dunia. Pragmatisme dilahirkan dengan tujuan untuk menjebatani dua kecenderungan berbeda yang ada pada saat itu. Kedua kecenderungan yang mau dijembatani itu yakni, pertantangan yang terjadi antara “yang spekulatif” dan “yang praksis”. Tradisi pemikiran yang spekulatif bersumber dari warisan filsafat rasionalistik Descartes dan berkembang melalui idealisme kritis dari Kant, idealisme absolut Hegel serta sejumlah pemikir rasionalistik lainnya. Hasil dari model pemikiran ini yakni munculnya ilmu-ilmu terapan. Termasuk di dalamnya yakni Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, secara filosofis, pragmatisme berusaha untuk menjebatani dua aliran filsafat tradisional ini. Atas salah satu cara pragmatisme menyetujui apa yang menjadi keunggulan dari empirisme. Melihat apa yang ingin dijembatani ini, pragmatisme mengangkat nilai-nilai positif yang ada pada kedua tradisi tersebut. Prinsip yang dipegang kaum pragmatis yakni: tidaklah penting bahwa saya menerima teori ini atau itu; yang penting ialah apakah saya memiliki suatu teori atau nilai yang dapat berfungsi dalam tindakan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Sejarah Munculnya Teori Pragmatisme
2.      Definisi dan Makna Teori Pragmatisme John Dewey
3.      Pandangan John Dewey tentang Perilaku Sosial
4.      Pandangan John Dewey dalam dunia pendidikan
5.      Analisis Kritis atas kekuatan dan Kelemahan Pragmatisme
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Munculnya Teori Pragmatisme
Konsep pragmatisme mula-mula dikemukan oleh Charles Sandre Peirce pada tahun 1839. Dalam konsep tersebut ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori kebenaran, melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah (Ismaun, 2004:96). Dari kedua pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan hakekat dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia.
Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dangan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is harus dieliminir dengan what for dalam filsafat praktis.
Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial.
Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh Pierce digagas sebagaiteori arti. Dalam kaitan dengan ini, dinyatakan: According to the pragmatic theory of truth, a proposition is true in so far as it works or satisfies, working or satisfying being described variously by different exponent on the view (Menurut teori pragmatis tentang kebenaran, suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan, berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut).
Untuk menganalisis teori kebenaran bagi Dewey, saya sedikit mengutip dari penjelasan Dewey dalam bukunya Harun Hadiwijono: “Kebenaran sama sekali bukan hal yang sekali ditentukan dan tidak boleh diganggu gugat, sebab dalam prakteknya kebenaran memiliki nilai fungsional yang tetap. Segala pernyataan yang kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah”. Dari sedikit penyataan itu setidaknya bisa dipahami bahwa menurut Dewey kebenaran itu selalu berubah-ubah, progresif, dan bukan final. Jika memang demikian maksud Dewey alangkah sulitnya untuk mengatur kehidupan di dunia ini. Bisa dibayangkan apabila semua kebenaran yang ada sekarang hanya bersifat sementara, dan tidak ada kebenaran tetap. Kita akan hidup pada pegangan hidup yang tidak kuat  dan serba bimbang. Memang banyak kebenaran yang sifatnya sementara, sedang menjadi, belum final, tetapi apakah itu berlaku pada semuanya. Lalu bagaimana misalnya dengan pernyataan-pernyataan sederhana berikut ini ;“Gajah adalah hewan yang lebih besar dari semut”, Membunuh orang yang tidak bersalah adalah perbuatan salah”, “Memberi maaf pada seseorang adalah lebih baik dari pada membenci seseorang” Bagaiman Dewey memberikan penjelasan terhadap pernyataan tersebut. Sesuai dengan filsafat pragmatismenya, menurut pandangan Dewey tidak menghendaki adanya norma atau kaidah yang tetap dan yang terlebih dulu ditentukan oleh sejarah atau agama, karena ia tidak turut campur tangan pada waktu membuatnya. Norma harus timbul dari masyarakat sendiri yang selalu berubah, berganti sesuai dengan keadaan masyarakat yang senantiasa mengalami proses dan pergantian, dari suatu zaman ke zaman yang lain. Juga tujuan hidup yang erat hubungannya dengan kaidah itu wajib pula selalu berubah dan berganti menurut masanya. “Tak ada sesuatu yang tetap”Disamping itu juga, istilah bahwa segala sesuatu itu baik “apabila berguna” juga perlu di kritisi. Apabila itu dipergunakan secara umum dapat membahayakan. Karena nanti orang boleh berkata, “pergaulan bebas, kumpul kebo, atas dasar suka sama suka, adalah baik”, karena berguna, minuman keras boleh, karena “berguna”. Belum lagi ini berguna bagi siapa? bagi saya, bagi kamu. Dewey menolak ‘yang umum’; ia menerima yang khusus. Sehingga bisa dibayangkan hal itu akan menimbulkan kekacauan nilai, akan mengancam manusianya itu juga.

B.     Definisi dan Makna Teori Pragmatisme John Dewey
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.2 Aliran ini bersedia menerima segala sesutau, asal saja hanya membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”.
Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Orang-orang menyebut kata ini biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua.
Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari gagasan asal yang sama. Kendati demikian, ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu, (1) menolak segala intelektualisme, dan (2) absolutisme, serta (3) meremehkan logika formal.
Pragmatisme merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingup ruang dan waktu tertentu. Teori pragmatisme berbeda degan teori koherensi dan korespondensi yang keduanya berhubungan langsung dengan realita objekif, pragmatisme berusaha menguji kebenaran ide-ide melalui konsekuensi daripada praktik atau pelaksaanya. Artinya ide-ide itu belum dikatakan benar atau salah sebelum di uji.[1]
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantara akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”.

C.    Pandangan John Dewey tentang Perilaku Sosial
Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan pada dua kemungkinan  (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instink-instink biologis - lalu dikenal dengan penjelasan "nature" - dan (2) perilaku bukan diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka - dikenal dengan penjelasan "nurture".  Penjelasan "nature"dirumuskan oleh ilmuwan Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai seorang psikolog cenderung percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia didasarkan pada pandangan ini (instinktif).
Namun banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink merupakan sumber perilaku sosial. John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah atau diubah oleh lingkungan - "situasi kita" - termasuk tentunya orang lain.
Untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang dapat dikaji sebagai  sesuatu proses yang (1)instinktif,  (2) karena kebiasaan, dan (3) juga yang bersumber dari proses mental. John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok - yaitu adat-istiadat masyarakat - atau struktur sosial.
Pandangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk, akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia manurutnya adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangannya juga turut didukung oleh masyrakat yang ada di sekitarnya.
Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia memiliki struktur-struktur kodrati tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sangat fleksibel. Fleksibilitasnya tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok pandangan Dewey di sini sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur psikologis manusia atau kodrat manusia mengandung kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial kesekitaran manusia. Bila seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi kesekitaran, itu disebabkan karena “kebiasaan”, cara seseorang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan kesekitarnya.
Padangan Dewey tentang manusia bertolak dari konsepnya tentang situasi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk sosial, sehingga segala perbuatannya, entah baik atau buruk, akan diberi penilaian oleh masyarakat. Akan tetapi di lain pihak, manusia manurutnya adalah yang menciptakan nilai bagi dirinya sendiri secara alamiah. Masyarakat di sekitar manusia dengan segala lembaganya, harus diorganisir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perkembangan semaksimal mungkin. Itu berarti, seorang pribadi yang hendak berkembang selain berkembang atas kemungkinan alamiahnya, perkembangannya juga turut didukung oleh masyrakat yang ada di sekitarnya.
Dewey juga berpandangan bahwa setiap pribadi manusia memiliki struktur-struktur kodrati tertentu. Misalnya insting dasar yang dibawa oleh setiap manusia. Insting-insting dasar itu tidak bersifat statis atau sudah memiliki bentuk baku, melainkan sangat fleksibel. Fleksibilitasnya tampak ketika insting bereaksi terhadap kesekitaran. Pokok pandangan Dewey di sini sebenarnya ialah bahwa secara kodrati struktur psikologis manusia atau kodrat manusia mengandung kemampuan-kemampuan tertentu. Kemampuan-kemampuan itu diaktualisasikan sesuai dengan kondisi sosial kesekitaran manusia. Bila seseorang berlaku yang sama terhadap kondisi kesekitaran, itu disebabkan karena “kebiasaan”, cara seseorang bersikap terhadap stimulus-stimulus tertentu. Kebiasaan ini dapat berubah sesuai dengan tuntutan kesekitarannya.
Dewey juga berbicara tentang kejahatan (evil) manusia. Kejahatan bukanlah sesuatu yang tidak dapat dirubah. Sebaliknya, kejahatan merupakan hasil dari cara tertentu manusia yang dibentuk dan dikondisikan oleh budaya. Oleh karena itu, syarat mutlak untuk mengatasi kejahatan adalah mengubah kebiasaan-kebiasaan masyarakat, yaitu kebiasaannya dalam berpikir dan bereaksi terhadap kesekitaran.[2]


D.    Pandangan John Dewey dalam dunia pendidikan
Dewey juga menjadi sangat terkenal karena pandangan-pandanganya tentang filsafat pendidikan. Pandangan yang dikemukakan banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan modern di Amerika. Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di Universitas Chicago, ia telah mulai mengkritik tentang sisitem pendidikan tradisional yang bersifat determinasi. Sekarang ini, pandangannya tidak hanya digunakan di Amerika, tetapi juga di banyak negara lainnya di seluruh dunia.
Untuk memahami pemikiran John Dewey, kita harus berusaha untuk memahami titik-titik lemah yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Ia secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan para siswa dalam sestem pendidikan. Penyikasaan fisik dan indoktrinasi dalam bentuk penerapan dokrin-dokrin menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan. Tak lepas dari kritikannya juga yakni sistem kurikulum yang hanya “ditentukan dari atas” tanpa memperhatikan masukkan-masukkan dari bawah. Intinya bahwa, dalam dunia pendidikan harus diterapkan sistem yang demokratis.
Menurutnya, proses belajar berarti menangkap makna dengan cara sederhana  dari sebuah praktek, benda, proses atau peristiwa. Menangkap makna berarti mengetahui kegunaannya. Sesuatu yang mempunyai makna berarti memiliki fungsi sosial. Oleh karena itu pendidikan harus mampu mengantar kaum muda untuk memahami aktivitas yang mereka temukan dalam masyarakat. Semakin banyak aktivitas yang mereka pahami berarti semakin banyak pula makna yang mereka diperoleh. Dalam pengertian inilah ia mengatakan bahwa mutu pengetahuan mempengaruhi demokrasi.
Dewey menganggap pentingnya pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan disposisi inteligensi yang terkonstitusi. Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya pengormatan pada hak dan kewajiban yang paling fundamental dari setiap orang. Gagasan ini juga bertolak dari gagasannya tentang perkembangan seperti yang sudah di bahas sebelumnya. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang demokratis dan untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama, dan membangun kembali yang baru. Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, daripada mengisisnya secara sarat dengan formulasi-formulasi secara sarat teoretis yang tertib.
 Pendidikan harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan refleksi. Pendidikan yang bertolak dan merupakan kontuinitas dari refleksi atas pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak didik. Dengan demikian, belajar dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dalam proses ini, ada perjuangan terus-menerus untuk membentuk teori dalam konteks eksperimen dan pemikiran.
Dewey juga menjadi sangat terkenal karena pandangan-pandanganya tentang filsafat pendidikan. Pandangan yang dikemukakan banyak mempengaruhi perkembangan pendidikan modern di Amerika. Ketika ia pertama kali memulai eksperimennya di Universitas Chicago, ia telah mulai mengkritik tentang sisitem pendidikan tradisional yang bersifat determinasi. Sekarang ini, pandangannya tidak hanya digunakan di Amerika, tetapi juga di banyak negara lainnya di seluruh dunia.
Untuk memahami pemikiran John Dewey, kita harus berusaha untuk memahami titik-titik lemah yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Ia secara realistis mengkritik praktek pendidikan yang hanya menekankan pentingnya peranan guru dan mengesampingkan para siswa dalam sestem pendidikan. Penyikasaan fisik dan indoktrinasi dalam bentuk penerapan dokrin-dokrin menghilangkan kebebasan dalam pelaksanaan pendidikan. Tak lepas dari kritikannya juga yakni sistem kurikulum yang hanya “ditentukan dari atas” tanpa memperhatikan masukkan-masukkan dari bawah.
Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan disposisi inteligensi yang terkonstitusi. Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya pengormatan pada hak dan kewajiban yang paling fundamental dari setiap orang. Gagasan ini juga bertolak dari gagasannya tentang perkembangan seperti yang sudah di bahas sebelumnya. Baginya ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk membangkitkan sikap hidup yang demokratis dan untuk mengembangkannya.[3] Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama, dan membangun kembali yang baru. Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, daripada mengisisnya secara sarat dengan formulasi-formulasi secara sarat teoretis yang tertib.[4] Pendidikan harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara eksperimen dan refleksi. Pendidikan yang bertolak dan merupakan kontuinitas dari refleksi atas pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak didik. Dengan demikian, belajar dalam arti mencari pengetahuan, merupakan suatu proses yang berkesinambungan. Dalam proses ini, ada perjuangan terus-menerus untuk membentuk teori dalam konteks eksperimen dan pemikiran.
Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokrtatis adalah dapat terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia menyatakan bahwa ide pokok demokrasi adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perlunya partisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur kehidupan bersama. Ia menekankan bahwa demokrasi merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis dalam bentuk aturan sosial politik.[5] Dari pernyataan ini, bagi Dewey demokrasi bukan sekedar menyangkut suatu bentuk kehidupan bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Demokrasi berarti setiap orang mengalami kebebasannya untuk berkreasi dan mengungkapkan pengalaman humanitasnya dalam partisipasi bersama. Untuk tujuan ini, maka sekolah menjadi medium yang mengungkapkan bagaimana hidup dalam suatu komunitas yang demokratis. Dewey selalu mengatakan bahwa sekolah merupakan suatu kelompok sosial yang kecil (minoritas); yang menggambarkan atau menjadi cerminan dari kelompok sosial yang  lebih besar (mayoritas). Ia menegaskan bahwa sosialisasi nilai-nilai demokratis harus dilaksanakan oleh sekolah yang demokratis. Dan ini diusahakan antara lain dengan menekankan pentingnya kebebasan akademik dalam lingkungan pendidikan. Ia dengan secara tidak langsung menyatakan bahwa kebebsan akademik diperlukan guna mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah yang bertumpu pada interaksi dan kerjasama, berdasarkan pada sikap saling menghormati dan memperhatikan satu sama lain; berpikir kreatif menemukan solusi atas problem yang dihadapi bersama, dan bekerjasama untuk merencanakan dan melaksanakan solusi.[6] Secara implisit hal ini berarti sekolah yang demokratis harus mendorong dan memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, merencanakan kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut.
John Dewey memandang pendidikan sebagai suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental,baik menyangkut tentang piker ( intelektual ) maupun daya perasaan  (emosional), menuju kearah tabiat manusia dan manusia biasa,dari itu maka filsafat pendidikan dapat juga diartikan sebagai teori umum pendidikan.[7]
John Dewey menyatakan pendidikan sebagai penataan ulang atau rekonstruksi aneka pengalaman dan peristiwa yang dialami dalam kehidupan individu sehingga segala sesuatu yang baru menjadi lebuh terarah dan bermakna,defenisi ini berarti bahwa seorang berpikir tentang pengalaman-pengalaman yang dilaluinya.Lebih jauh terkandung arti bahwa pendidikan seseorang terdidiri dari  segala sesuatu yang ia lakukan,dari mulai lahir sampai mati,kata kucinya adalah seseorang berbuat atau mengerjakan sesuatu .Seseorang belajar dengan cara melakukan sehingga pendidikan dapat terjadi diperpustakaan,kelas,tempat bermain,gymnasium perjalanan,ataupun dirumah.[8] Secara umum,pragmatism berarti hanya idea yang dapat dipraktikkan yang benar dan berguna.Idea-idea yang hanya ada dalam idea juga kebimbangan terhadap realitas objek indra,semua itu nonsense bagi pragmatism.yang ada ialah apa yang real ada.demikian menurut james tatkala ia membantah zeno yang mengaburkan arti gerak.[9]
John Dewey juga memandang bahwa ada hubungan  yang erat antara filsafat dengan pendidikan ,oleh karena itu tugas filsafat  dan pendidikan adalah seiring , yaitu sama-sama memajukan  hidup manusia.Ahli filsafat lebih memperhatikan  tugas yang berkaitan dengan strategi pembentukan  manusia,sedangkan ahli pendidikan bertugas untuk lebih memperhatikan taktik  (cara ) agar strategi itu terwujud dalam kehidupan sehari-hari melalui proses pendidikan.



Konsep – konsep Pendidikan menurut Teori Pragmatisme
1.      Tujuan Pendidikan
Pendidikan adalah hidup, pertumbuhan sepanjang hidup, proses rekonstruksi yang berlangsung terus dari pengalaman yang terakumulasi dan sebuah proses sosial. Tujuan pendidikan adalah memperoleh pengalaman yang berguna untuk memcahkan masalah – masalah baru dalam kehidupan perorangan dan bermasyarakat. Tujuan pendidikan ini tidak ditentukan oleh luar kegiatan pendidikan, tetapi terdapat dalam setiap proses pendidikan. Oleh karena itu tidak ada tujuan umum pendidikan atau tujuan akhir pendidikan.
2.      Isi Pendidikan/kurikulum
Kurikulum berisi pengalaman – pengalaman yang telah teruji serta minat- minat dan kebutuhan – kebutuhan anak. Hal yang terakhir yang menyebabkan perlunya sekolah membuat kurikulum darurat untuk memenuhi minat dan kebutuhan anak. Pendidikan liberal yang menghilangkann pemisahan antara pendidikan umum dengan pendidikan praktis/vokasional.
3.      Metode Pendidikan
Berfikir reflektif atau metode pemecahan masalah merupakan metode utamanya, terdiri atas langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Penyadaran atas suatu masalah
b.      Obseevasi kondisi – kondisi yang hadir
c.       Perumusan dan elaborasi tentang suatu kesimpulan
d.      Pengetesan melalui eksperimen
4.      Peranan Peserta Didik dan Pendidik
Peserta didik adalah suatu organisme yang rumit, yang mampu tumbuh. Pendidik menagwasi dan membimbing pengalaman belajar tanpa terlampau banyak mencampuri urusan minat kebutuhan peserta didik.[10]

E.     Analisis Kritis atas kekuatan dan Kelemahan Pragmatisme
1)      Kekuatan Pragmatisme
  Kemunculan pragmatis sebagai aliran filsafat dalam kehidupan kontemporer, khususnya di Amerika Serikat, telah membawa kemajuan-kemajuan yang pesat baik dalam ilmu pengetahuan maupun teknologi. Pragmatisme telah berhasil "membumikan" filsafat dari corak yang bersifat Tender Minded yang cenderung berpikir metafisis, idealis, abstrak, intelektualis, dan cenderung berpikir hal-hal yang memikirkan atas kenyataan, materialis, dan didasarkan atas kebutuhan-kebutuhan di sini (dunia), bukan nanti di akhirat. Dengan demikian, filsafat pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekedar memercayai (belief) pada hal-hal yang sifatnya riil, indriawi, dan yang manfaatnya bisa dinikmati secara praktis-pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.
  Pragmatisme telah berhasil mendorong berpikir yang liberal, bebas, dan selalu menyangsikan segala yang ada. Berangkat dari sikap skeptis tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong dan memberi semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktikan suatu konsep lewat penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan eksperimen-eksperimen sehingga muncullah temuan-temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan di bidang sosial dan ekonomi.
  Sesuai dengan coraknya yang "sekuler", pragmatisme tidak mudah percaya pada "kepercayaan yang mapan". Suatu kepercayaan dapat diterima apabila terbukti kebenarannya lewat pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya sesuatu yang sakral dan mitos. Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatisme merupakan pendukung terciptanya demokratisasi, kebebasan manusia, dan gerakan-gerakan progresif dalam masyarakat modern.

2)      Kelemahan Pragmatisme
  Karena pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran absolut (kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabila terbukti secara alamiah, dan percaya bahwa dunia ini mampu "dibikin" manusia sendiri, secara tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu transendental. Kemudian pada perkembangan lanjut, pragmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam upaya mencapai kebutuhan kehiohidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada sikap ateisme.
  Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang nyata, praktis, dan langsung dapat dinikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptakan pola pikir masyarakat yang materialis. Manusia berusaha secara keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ruhaniah, maka dalam otak masyarakat pragmatisme telah dihinggapi oleh penyakit materialisme.
  Untuk mencapai tujuan materialismenya, manusia mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa memedulikan lagi bahwa dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa mengenal batas waktu hanya sekadar memenuhi kebutuhan materinya, maka dalam struktur masyarakatnya manusia hidup semakin egois individualis. Dari sini, masyarakat pragmatisme menderita penyakit humanisme.







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.2 Aliran ini bersedia menerima segala sesutau, asal saja hanya membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”.
Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua.
Konsep – konsep Pendidikan menurut Teori Pragmatisme
1.      Tujuan Pendidikan
2.      Isi Pendidikan/kurikulum
3.      Metode Pendidikan




DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr.Suhartono. 2010. FILSAFAT ILMU. Yogyakarta. Pustaka pelajar.
Bdk. Richard J. Bernstein, Dewey John,hlm. 384-385. Bdk. Juga J. Ohoitimur,Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer.
Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. hlm. 135.
Bdk. J. Ohoitimur. Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer
Zamroni M.A. 2001. Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civik Society.Yogyakarta: BIGRAF Publishing.
Muzayyin Arifin. 2003. filsafat pendidikan islam. Bandung; Pustaka Setia, halaman.3
Atang Suherman,Menuju perkembangan menyeluruh,2001,Direktoriat Jendral Olah Raga,Jakarta,hal 1
Atang abdul hakim. beni ahmad saebeni, 2008. filsafat umum,bandung: pustaka setia.





[1] Prof.Dr.Suhartono, FILSAFAT ILMU, (Yogyakarta, Pustaka pelajar, 2010), hlm 123
[2] Bdk. Richard J. Bernstein, Dewey John,hlm. 384-385. Bdk. Juga J. Ohoitimur,Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer, hlm. 76-79
[3] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm. 135.
[4] Bdk. J. Ohoitimur, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer,hlm. 79
[5]Zamroni M.A., Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civik Society, (Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2001), hlm. 30-31.
[6] Ibid, hlm 19
[7] Muzayyin Arifin, filsafat pendidikan islam, 2003. Bandung; Pustaka Setia, halaman.3
[8] Atang Suherman,Menuju perkembangan menyeluruh,2001,Direktoriat Jendral Olah Raga,Jakarta,hal 1
[9] Atang abdul hakim,beni ahmad saebeni,filsafat umum,bandung,pustaka setia,2008.h;320

0 komentar:

Posting Komentar