BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hukum Syara’
Secara
etimologi, hukum (الحكم) berarti man’u (المنع) yakni “mencegah” seperti, حكمت عليه بكذا إذا منعته من خلافه mengandung pengertian
bahwa engkau mencegah melakukan sesuatu yang berlawanan dengan itu.[1]Hukum
Dapat juga diartikan :
إثبات
شيء أونفيه عنه
Artinya
: Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya.[2]
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum ialah
bekasan dari titah Allah atau sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka
yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan perbuatan manusia, yakni yang
dibicarakan dalam ushul fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan aqidah dan
akhlaq.
Menurut
istilah ahli ushul fiqh, hukum adalah :
خطاب
الله المتعلق بأفعال الفكلفين طلبا اوتخييراأووضعا
Artinya
: Titah Allah (sabda Rasul) mengenai pekerjaan mukallaf (orang yang telah
baligh dan berakal), baik titah itu mengandung tuntutan, suruhan, larangan,
atau semata-mata menerangkan kebolehan, atau menjadikan sesuatu itu sebab,
syarat atau penghalang bagi sesuatu hukum.[3]
Hukum
syara’ menurut istilah pakar ushul fiqih diatas adalah seruan (khithab) Syâri’ yang
berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia), berupa tuntutan (al-iqtidla),
penetapan (al-wadl’i) dan pemberian pilihan (at-takhyir). Dalam
definisi tersebut dikatakan as-Syâri’, tidak dikatakan Allah agar bisa
mencakup juga Sunnah dan Ijma’, sehingga tidak ada dugaan bahwa yang dimaksud
dengan khithab itu hanya al-Qur’an saja.Disebutkan pula (dalam
definisi) yang berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia),
tidak
menggunakan kata mukallaf; agar bisa mencakup hukum-hukum yang
berkaitan dengan anak kecil dan orang gila. Seperti hukum tentang zakat
atas harta yang dimiliki anak kecil dan orang gila.
Jadi, hukum syara’ ialah : Khithab Syari’ yang bersangkutan dengan
perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau
ketetapan.[4]
B. Pembagian
Hukum Syara’
Kebanyakan ulama’ membagi hukum menjadi dua macam
saja yaitu taklify dan hukum wadh’i.
1. Hukum
Taklify
Hukum
Taklify ialah tuntutan Allah yang berkaitan dengan Perintah untuk berbuat atau perintah untuk meninggalkan suatu
perbuatan.
Hukum
taklify menurut jumhur ulama Ushul Fiqh dibagi menjadi lima yaitu :
a. Ijab
Yaitu
tuntutan secara pasti dari syari’ untuk dilaksanakan dan tidak boleh
ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman.Misalnya dalam
surat Al-baqarah, 2:110, Allah berfirman :
أقيموااصلاة واتواالزكاة
“....Dirikanlah olehmu
shalat dan tunaikanlah zakat.....”
b. Nadb
Yaitu
tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak secara
pasti. Seseorang tidak dilarang meninggalkannya, karena orang yang
meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu
disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb.
Contoh
dalam surat Albaqarah, 2:282 :
فان امن بعضكم بعضا فليؤدى الذى
ائتمن امانته
“
Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermuammalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya...”
c. Ibahah
yaitu
khitab Allah yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat. Akibat
dari khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh
dipilih itu disebut mubah.
Contoh
dalam surat al-jum’ah, 62: 10:
فإذا قضيت الصلاة فانتشروا في الأرض
وابتغوا من فضل الله
“ Apabila telah
ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia
Allah ”
d. Karahah
Yaitu
tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan
melalui redaksi yang tidak pasti. Seseorang yang mengerjakan perbuatan yang
dituntut untuk ditinggalkan itu, tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan
seperti ini disebut juga karahah dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan
itu disebut makruh. Misalnya sabda Rasulullah SAW :
ابعض الحلال عند الله الطلاق
“Perbuatan halal yang
paling dibenci Allah adalah talak.” (H.R. Abu dawud, Ibn majah, Al-Baihaqi dan
hakim)
e. Tahrim
Yaitu
tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah, dan perbuatan yang dituntut itu
disebut haram. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-An’am, 6:151 :
لا تقتلوا النفس التى حزم الله
“Jangan kamu membunuh jiwa yang telah
diharamkan Allah...”
2. Hukum
Wadh’i
Hukum
Wadh’i terbagi kepada lima bagian, karena berdasarkan penelitian diperoleh
ketetapan, bahwasanya hukum wadh’i adakalanya menghendaki untuk menjadikan
sesuatu menjadi sebab bagi sesuatu yang
lain, atau menjadi syarat, atau mejadi penghalang, atau menjadi pemboleh adanya
rukhshah (keringanan hukum) sebagai ganti ‘azimah, atau sah atau tidak sah.
a. Sebab
Yaitu
sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai tanda atas musababnya dan mengaitkan
keberadaan musabab dengan keberadaannya dan ketiadaan musabab dengan
ketiadaannya. Misalnya, perbuatan zina menyebabkan seseorang dikenai hukuman
dera 100 kali. Apabila perzinaan tidak dilakukan, maka hukuman dera tidak
dikenakan.
b. Syarat
Yaitu
sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan
dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut. Yang
dimaksud adalah keberadaanya secara Syara’, yang menimbulkan efeknya. Misalnya,
wudhu adalah syarat bagi keabsahan menidirikan shalat. Apabila tidak ada wudhu,
maka mendirikan shalat tidak sah, namun keberadaan wudhu tidak memastikan
pendirian shalat.
c. Mani’
Yaitu
sesuatu yang keberadaanya menetapkan ketiadaan hukum, atau batalnya sebab.Menurut
para ahli ushul fiqh mani’ adalah suatu hal yang ditemukan bersama keberadaan
sebab dan terpenuhinya sarat-saratnya, namun ia mencegah timbulnya musabab pada
sebabnya. Ketiadaan syarat tidaklah disebut mani’ dalam peristilahan mereka,
meskipun ia menghalangi munculnya musabab pada sebabnya.Misalnya, hubungan
suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan terciptanya hubungan kewarisan
(waris-mewarisi). Apabila ayah wafat, maka istri dan anak mendapatkan pembagian
warisan dari harta suami atau ayah yang wafat, sesuai dengan pembagian
masing-masing. Akan tetapi hak mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau
istri yang membunuh suami atau ayah yang wafat tersebut (H.R. al-Bukhari dan
Muslim). Perbuatan pembunuhan itu merupakan mani’ (penghalang) untuk
mendapatkan pembagian warisan dari orang yang dibunuh.
d. Rukhshah
dan ‘Azimah
Sesuatu
yang disyari’atkan oleh Allah dari berbagai hukum untuk maksud memberikan
keringanan kepada mukallaf dalam berbagai situasi dan kondisi khusus yang
menghendaki keringanan ini. Adapun ‘Azimah adalah hukum-hukum umum yang
disyari’atkan sejak semula oleh Allah, yang tidak tertentu pada satu keadaan
saja bukan keadaan lainnya, bukan pula khusus seorang mukallaf, dan tidak
mukallaf lainnya.Misalnya, jumlah rakaat shalat zhuhur adalah empat rakaat.
Jumlah rakaat ini ditetapkan Allah sejak semula, dimana sebelumnya tidak ada
hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat shalat zhuhur. Hukum tentang rakaat
shalat zhuhur itu adalah empat rekaat, disebut dengan ‘azimah. Apabila ada
dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakaan
shalat zhuhur dua rakaat seperti orang musafir, maka hukum itu disebut
rukhshah.
e. Shah
dan Batal
Pengertian
shahnya menurut syara’ ialah timbulnya berbagai konsekuensinya secara
syar’iyyah atas perbuatan itu. Jika sesuatu yang dilakukan oleh mukallaf
merupakan perbuatan yang wajib, seperti shalat, zakat, puasa dan haji,
sedangkan pelaksanaan mukallaf tersebut memenuhi semua rukun dan syaratnya,
maka kewajiban telah gugur darinya, tanggungannya dari kewajiban itu telah
lepas, dan ia tidak mendapatkan hukuman di dunia, serta mendapatkan pahala di
akhirat.Sedangkan pengertian ketidak-sahannya ialah tidak timbulnya
konsekuensinya yang bersifat syara’.
C. Hakim
Secara etimologi, hakim (حاكم)
mempunyai dua pengertian, yaitu:
a. واضع الاحكام
ومثبتها ومنشئها ومصدرها
Pembuat,
yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.
b. الذي يدرك
الآحكام ويظهر ها ويعرفها ويكشف عنها
Yang
menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkap hukum.
Hakim merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqh,
karena berkaitan dengan “siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syari’at islam”;
siapakah yang menentukan hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya
dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu; apakah akal sebelum datangnya wahyu
mampu menetukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang yang berbuat baik diberi
pahala dan orang yang berbuat burukdikenakan sanksi”. Dalam ilmu ushul fiqh,
hakim disebut juga dengan syar’i.
Dari pengertian pertama di atas, hakim adalah Allah
swt. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada
seluruh mukallaf. Oleh sebab itu, tidak ada syariat dalam islam kecuali dari
Allah swt, baik berkaitan dengan hukum-hukum taklifi maupun yang berkaitan
dengan hukum wadh’i. Semua hukum ini menurut kesepakatan para ulama, bersumber
dari Allah. Dengan demikian, sumber hukum secara hakikat adalah Allah swt, baik
hukum itu diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW melalui wahyu, maupun hasil
ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori istinbat. Sunnah, ijma’, dan
metode istinbat hukum lainnya merupakan alat untuk menyingkap hukum yang datang
dari Allah swt. Dalam hubungan inilah para ulama ushul fiqh menetapkan sebuah
kaidah yang berbunyi:
لا حكم إلأ لله
Tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah.
Jadi, hakim yaitu dzat yang mengeluarkan hukum.
D. Mahkum
Fih dan Syarat-Syaratnya
Para ulama’ ushul fiqh menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan orang mukallaf
yang terkait dengan titah syar’i (Allah dan Rasul-Nya), yang bersifat tuntutan
mengerjakan tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan,dan
yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.[5]
Pekerjaan yang ditaklifkan kepada mukallaf
melaksanakannya diperlukan beberapa syarat:
a. Perbuatan
atau pekerjaan itu mungkin terjadinya karena mustahil suatu perintah
disangkutkan dengan yang mustahil, seperti mengumpulkan antara dua hal yang
berlawanan. Tegasnya, tidak diperintahkan sesuatu melainkan sesuatu itu belum
ada dan mungkin akan terwujudnya.
b. Dapat
diusahakan oleh hamba, dan pekerjaan itu menurut ukuran biasa sanggup dilakukan
oleh orang yang menerima khitab itu.
c. Diketahui
bahwa perbuatan itu dapat dibedakan oleh orang yang diberi tugas, baik secara
pribadi atau orang lain dengan jelas.
d. Mungkin
dapat diketahui oleh orang yang diberi tugas, bahwa pekerjaan itu perintah
Allah, sehingga ia mengerjakannya mengikuti sebagaimana yang diperintahkan.
Yang dimaksud dengan diketahui di sini ialah ada kemungkinan untuk dapat
diketahui dengan jalan memperhatikan dalil- dalil dan menggunakan nazhar.
e. Dapat
dikerjakan dengan ketaatan yakni bahwa pekerjaan itu dilakukan untuk
menunjukkan sikap taat. Kebanyakan ibadah masuk golongan ini, kecuali dua
perkara, yaitu:
1). Nazhar yang menyampaikan kita kepada suatu
kewajiban yang tidak mungkin dikerjakan dengan qasad taat, karena tidak
diketahui wajibnya sebelum dikerjakan.
2).Pokok dari iradat
taat dan ikhlas. Bagi yang taat dan ikhlas bagi iradat mendapat pahala karena
kalau memeng dikehendaki niscaya terlaksana juga iradat itu.
E.
Pengertian
Mahkum ‘alaih, bentuknya, Pembagian Kecakapan dan Pengahalangnya.
Mahkum ‘alaih yaitu perbuatan mukallaf yang
menyangkutkan hukum syar’i. dan disyaratkan si muklaf itu untuk
mensyahkan taklifnya menurut syari’at atas dua syarat yakni:
Pertama, hendaklah dia mampumemahami
dalil taklif bahwa dia mampu memahami undang-undang yang dipaksakan kepadanya
itu dari Al-qur’an dan Sunnah itu sendiri atau dengan perantaraan. Orang yang
tidak sanggup memahami dalil taklif itu maka tidak mungkin dia melaksanakan apa
yang dipaksakan kepadanya itu dan tidak akan berhasil apa yang dimaksudkannya
itu. Kemampuan memahami dalil taklif itu hanya dapat dengan mempergunakan
nash-nash yang disusun oleh ahli-ahli fikir, yaitu dengan mempergunakan akal
mereka.
Kedua, dia ahli tentang tanggung jawab
yang dipikulkan kepadanya itu. Ahli menurut bahasa yaitu baik tindakannya.
Dikatakan bahwa si fulan itu Ahli untuk melihat pendirian. Artinya baik
penglihatannya itu.
Syarat-Syarat
Taklif :
1. Orang
itu telah mampu memahami kitab syari’ (tuntunan syara’) yang terkandung dalam Al-qur’an
dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui oranglain.
2. Seseorang
harus cakap bertindak hukum, yang dalam ushul fiqih disebut dengan ahliyyah.
Artinya apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak hukum, maka seluruh
perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan.
AHLIYYAH
Dari segi etimologi ahliyyah berarti kecakapan
menangani suatu urusan. Misalnyaseseorang dikatakan ahli untuk menduduki suatu
jabatan atau posisi berarti ia mempunyai kemampuan pribadi untuk itu.Secara
terminology para ahli ushul fiqih mendefinisikan ahliyyah dengan suatu sifat
yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syar’i untuk menentukan
seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.[6](ushul
fiqih 1 besar hal 308)
Maksudnya ahliyyah adalah sifat yang menunjukan
seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya sehingga seluruh tindakannya
dapat dinilai oleh syara’.
Pembagiannya:
Para
ulama ushul fiqih membagi ahliyyah kepada dua bentuk yaitu:
1. Ahliyyah
ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap
sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya baik yang bersifat
positif maupun negatif
2. Ahliyyahal-wujub
adalah sifat kecakapan seseorang untuk
menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh
kewajiban. Misalnya apabila seseorang menghibahkan hartanya kepada orang yang
memiliki ahliyyah al-wujub maka yang disebut terakhir ini telah cakap menerimna
hibbah tersebut apabila harta bendanya dirusak orang lain, maka ia dianggap
cakap untuk menerima ganti rugi.
Halangan
Ahliyyah
Para ulama ushul fiqh menyatakan
bahwa penentuan cakap atau tidaknya seseorang dalam bertindak hukum dilihat
dari segi akalnya. Akan tetapi mereka juga sepakat bahwa sesuai dengan hukum
biologis akal seseorang bisa berubah dan perubahan ini disebabkan oleh :
1. ‘Awaridh
al-samawiyah, maksudnya halangan yang datangnya dari Allah bukan disebabkan
perbuatan manusia seperti gila, dungu, perbudakan, maut dan lupa.
2. ‘Awaridh
al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia seperti
mabuk, terpaksa, tersalah berada dibawah pengampunan dan bodoh.
3. Menurut
ulama ushul fiqh perubahan kecakapan bertindak hukum itu adakalanya bersifat
menghilangkan sama sekali, mengurangi, atau mengubahnya. Karenanya mereka
membagi halangan bertindak hukum itu dilihat dari segi objeknya ada tiga
bentuk:
1. Halangan yang bisa
menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sempurna atau ahliyyah
al-‘ada hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa dan terpaksa. Dalam
kondisi seperti ini seluruh tindakan hukum mereka tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini Rasulullah bersabda yang artinya “Diangkatkan
(pembebanan hukum) dari umatku yang tersalah, terlupa, dan terpaksa. (HR. Ibnu
Majjah dan Ath-Thabrani)
2. Halangan yang dapat
mengurangi ahliyyah al’ada seperti orang dungu. Apabila seseorang terkena
penyakit dungu, maka ahliyyah al-ada’nya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa
membatasi sifat kecakapan bertindak hukumnya. Oleh sebab itu, dalam tindakan hukum
yang sifatnya bermanfaat bagi dirinya dinyatakan syah, sedangkan tindakan hukum
yang merugikan dirinya dianggap batal.
3. Halangan yang sifatnya dapat
mengubah sebagian tindakan hukum seseorang, seperti orang yang berhutang,
pailit, di bawah pengampuan, orang yang lalai dan tolol. Sifat-sifat seperti
ini sebenarya tidak mengubah ahliyyah ada’ seseorang, tetapi beberapa tindakan
hukumnya berubah. Misalnya, orang yang berada di bawah pengampuan, tindakan
hukumnya dalam masalah harta dibatasi demikemaslahatan dirinya dan hak-hak
orang yang membayar hutang.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum syara’ adalah seruan Syâri’ yang berkaitan dengan perbuatan hamba
(manusia), baik berupa iqtidla (tuntutan), takhyir (pilihan)
ataupun wadl’i. Hukum syara’ terbagi dua bagian : Pertama,
Seruan Syâri’ yang berkaitan dengan penjelasan hukum atas perbuatan manusia;
berupa tuntutan dan pemberian pilihan. Ini disebut dengan khithab taklifi,
yaitu seruan yang berarti tuntutan, baik tuntutannya pasti (jazm) atau
tidak pasti (ghair jazm), atau yang dimaksudkan seruannya berupa
pilihan antara megerjakan atau tidak. Kedua, Seruan Syâri’ yang
menjelaskan perkara-perkara yang dituntut oleh hukum atas perbuatan manusia,
yaitu perkara–perkara yang menentukan terwujudnya suatu hukum atau
kesempurnaannya. Ini disebut dengan khithab wadl’i.
Hakim adalah Allah swt. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber
hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf. Oleh sebab itu, tidak ada
syariat dalam islam kecuali dari Allah swt, baik berkaitan dengan hukum-hukum
taklifi maupun yang berkaitan dengan hukum wadh’i.
Mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan orang
mukallaf yang terkait dengan titah syar’i (Allah dan Rasul-Nya).
Sedangkan mahkum ‘alaih yaitu perbuatan mukallaf yang menyangkutkan hukum syar’i, dengan syarat-syarat taklif : Orang
itu telah mampu memahami kitab syari’ (tuntunan syara’) yang terkandung dalam
Al-qur’an dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain.Seseorang
harus cakap bertindak hukum, yang dalam ushul fiqih disebut dengan ahliyyah.
Artinya apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak hukum, maka seluruh
perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan.
B. Saran
Kami
menyadari bahwa makalah yang kami susun masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami perlukan demi perbaikan
makalah ini. Kepada para pembaca semoga tidak merasa cukup atas makalah yang
kami buat akan tetapi kami harapkan agar pembaca terus menggali ilmu mengenai
perihal hukum syara’.
[1] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Publishing House, hal. 207
[2] Muin Umar dkk, Ushul Fiqh, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI 1985, hal. 20
[3] Muin Umar dkk, Ushul Fiqh, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI 1985, hal. 20
[4] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, hal. 142
0 komentar:
Posting Komentar