Suatu ketika Pak Dahlan Iskan, mantan CEO Jawa Pos yang kini Dirut PLN,
melakukan transplantasi liver. Dia lantas menulis sebuah buku berjudul
’Ganti Hati’. Di dalam buku itu dia sempat bertanya-tanya: ’’Apakah
sifat-sifat saya akan terpengaruh oleh sifat pemilik liver sebelumnya?’’
Ternyata, menurutnya tidak.
Tetapi, secara fisikal dia mengakui ada pengaruh di dalam tubuhnya.
Diantaranya, rambutnya yang dulu mulai memutih, kini menjadi hitam kembali.
Kenapa bisa demikian? Karena, pendonor liver yang dicangkokkan kepadanya itu
adalah anak muda yang masih berusia 20-an tahun. Sedangkan Pak Dahlan sudah
hampir 60 tahun...!
Tentu saja, Pak Dahlan tidak merasakan pengaruh pada perasaannya, karena liver
memang bukan organ tubuh yang terkait dengan perasaan. Apalagi sifat.
Organ liver cuma ibarat ’dapur umum’ saja dalam tubuh seorang manusia. Ia organ
yang memiliki peran sentral dalam proses pencernaan makanan. Karena itu,
pengaruhnya bukan pada psikologis, melainkan fisiologis. Itu sudah kita
simpulkan di tulisan sebelumnya bahwa HATI (Qalb) bukanlah liver, melainkan
jantung.
Lantas, bagaimana jika jantung yang ditransplantasi? Apakah akan
terjadi perubahan sifat ataukah sekedar perubahan perasaan? Atau, sekedar
dorongan-dorongan psikologis tertentu yang menyertainya? Dan bagaimana pula
dengan orang yang mengalami sakit jantung, apakah akan terjadi ’penyakit hati’
secara psikologis?
Kebanyakan penyakit jantung bukan terjadi pada organ psikologisnya,
melainkan pada organ mekaniknya. Misalnya, kerusakan klep alias katup jantung. Atau, penyempitan dan
buntunya pembuluh darah. Atau, pembengkakan organ. Atau, ada
perubahan tekanan darah. Jadi, bukan pada pusat getaran elektromagnetiknya.
Kebanyakan hanya berkisar pada jantung sebagai alat pompa darah. Sehingga
perngaruhnya juga sangat mekanistik, tidak langsung pada perasaan si penderita.
Kecuali, berupa rasa khawatir akan penyakitnya, sehingga menyebabkan tekanan
darahnya meningkat.
Tentu sangat berbeda antara getaran mekanik dan getaran elektromagnetik. Getaran mekanik bisa dilihat mata
karena bendanya bergerak-gerak. Tetapi, getaran elektromagnetik tidak
kelihatan. Sumber getarannya berada pada tataran kulit atom. Yakni, berupa aliran dan
getaran elektron. Sehingga karenanya muncul tegangan listrik yang tidak
kelihatan, dan medan magnet yang juga tidak kelihatan. Gelombang
elektromagnetik memang abstrak. Tetapi bisa dilacak posisi keberadaannya,
sumbernya, dan efek maupun mekanisme kerjanya.
Ini mirip dengan sistem kerja hand phone, misalnya. Apakah kita bisa
melihat sinyal gelombang elektromagnetiknya secara kasat mata? Tentu saja tidak
bisa. Tetapi kita bisa mengukurnya dengan alat. Mengetahui besarannya, polanya,
kualitasnya, informasi yang terkandung di dalamnya, bahkan lantas bisa
memanfaatkan ataupun memanipulasinya. Jadi, kalau ditanya apakah ada gunanya
memahami hal yang abstrak begini?Jawabnya: ohh, banyak sekali..! Justru karena
para ahli memahami hal yang abstrak inilah, maka kita sekarang bisa memperoleh
manfaat yang sangat besar pada handphone. Atau pun jaringan-jaringan komunikasi
elektromagnetik lainnya, seperti internet ini.
Kasus yang lebih menarik adalah ketika jantung ditransplantasikan. Bukan yang hanya dicangkok sebagian
seperti ganti katup jantung, melainkan yang seluruhnya. Ternyata, efeknya
bisa sampai kepada perasaan si penderita. Saya sudah menulis ini panjang
lebar di buku ’Heboh Spare-part Manusia’, tentang terjadinya anomali perasaan
pada orang-orang yang jantungnya diganti. Baik yang diganti dengan jantung
buatan, maupun yang diganti dengan jantung orang lain.
Pada pasien yang jantungnya diganti dengan mesin, ternyata mereka mengalami
’perasaan hampa’ di dalam jiwanya. Memang bukan sama sekali tidak berperasaan, atau terjadi perubahan sifat.
Karena sebagaimana telah kita bahas di Note sebelumnya, pusat rasa itu
sebenarnya memang berada di otak. Cuma, otak tidak bisa merasakannya. Baru bisa
dirasakan setelah ditransfer ke jantung sebagai getaran. Sehingga muncul
desiran di dalam dada.
Nah, pada orang yang jantungnya telah diganti dengan mesin, desiran
perasaan itu tidak terjadi. Sehingga, tidak terasa adanya perbedaan antara
sedih, gembira, marah, sabar, pada organ jantungnya. Karena, jantung
buatan itu memang hanya didesain sebagai ’alat pompa’ darah belaka.
Termasuk yang sudah diberi sensor elektronik terhadap aktifitas tubuh pun,
efeknya hanya terbatas pada perubahan daya pompanya saja.
Tetapi, kasus yang terjadi pada orang yang menjalani transplantasi jantung
dari manusia pendonor sangatlah menarik. Suatu ketika saya diundang
berceramah di Singapura. Disela-sela acara, saya sempat berdiskusi dengan
seorang kawan saya yang sedang kuliah S-3 di bidang Bioteknologi disana.
Dia mengungkapkan kisah menarik yang terjadi pada kawannya setelah
mengalami transplantasi jantung. Kawannya itu, tanpa sebab, sering merasakan
dorongan untuk melakukan bunuh diri. Padahal, dia tidak merasa memiliki masalah
apa pun yang menyebabkan ia harus bunuh diri.
Setelah beberapa kali ia curhat kepada kawan saya, maka kawan saya yang
memang sedang mendalami Bioteknologi menyarankan agar sang kawan menelusuri
asal-muasal jantung yang didonorkan kepadanya. Rupanya kawan saya curiga,
jangan-jangan ada kaitannya dengan transplantasi jantung yang dijalaninya.
Karena, dorongan itu memang sering muncul setelah menjalani transplantasi.
Sekian lama kemudian, sang kawan kembali menemui kawan saya sambil
menceritakan hasil penelusurannya. Ternyata dugaan kawan saya benar. Bahwa
dorongan bunuh diri yang muncul dalam perasaannya itu disebabkan oleh jantung
yang dicangkokkan ke dalam dadanya. Kenapa bisa demikian? Si
pasien itu memperoleh informasi yang benar-benar mengejutkannya, bahwa ternyata
jantung yang didonorkan kepadanya itu berasal dari orang yang mati bunuh
diri...!
Rupanya sel-sel jantungnya sudah terbiasa dengan getaran frekuensi bunuh
diri dari pemilik sebelumnya. Karena, paparan yang terus menerus memang bisa
mengaktifkan gen-gen yang tersimpan di dalam inti sel, menjadi semacam memori
selular. Dan ketika jantung itu ditransplantasikan, ia masih membawa
’ingatan’ bunuh diri, yang kemudian sering muncul mengimbas ke pusat
penginderaan di Otaknya.
Untunglah pikiran sadar dan rasional orang tersebut lebih kuat dari
dorongan bunuh dirinya, sehingga ia tidak menurutinya. Cuma ia jadi merasa aneh
sendiri, kenapa ada perasaan demikian yang muncul tiba-tiba tanpa ada alasan
yang mendahuluinya...!?.
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar