Bagaimana Menerapkan Syariat Islam?

Dr Adian Husaini

Dalam tempo dua pekan lalu, saya menghadiri diskusi tentang masalah hukum di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) dan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Persoalan syariat atau hukum Islam memang masih terus menjadi diskusi di berbagai kalangan di Indonesia. Fenomena yang muncul di tengah masyarakat adalah bahwa gerakan penegakan syariat Islam di Indonesia banyak dimotori oleh para aktivis dari berbagai organisasi dan gerakan Islam. Gerakan itu tidak muncul, misalnya,  dari Fakultas-fakultas syariah atau Fakultas Hukum suatu universitas Islam, juga misalnya dari kampus-kampus Islam secara umum.

Ketika diskusi di UGM, muncul pertanyaan yang menarik dari seorang mahasiswa, bagaimana sebenarnya strategi penerapan hukum Islam di Indonesia? Menurut dia, kesannya, selama ini syariat Islam banyak diteriakkan sebagai jargon, ketimbang sebagai suatu gerakan yang sistematis. Jika kesan seperti itu muncul pada mahasiswa fakultas hukum, barangkali kita perlu mencermatinya. Karena merupakan suatu kesan, maka kesan itu bisa salah atau bisa benar, tergantung informasi yang sampai pada si mahasiswa, karena kesan adalah persepsi.

Tentu saja, kesan itu perlu diperhatikan, karena soal penegakan syariat juga tidak lepas sama sekali dari masalah kesan atau ’imej’. Sebenarnya, disamping para aktivis gerakan Islam, kita berharap yang tampil sebagai juru bicara penegakan syariat juga para profesor di bidang hukum Islam, atau suatu Fakultas Syariah tertentu. Para akademisi itulah yang harusnya berada pada jajaran paling depan dalam upaya penerapan syariat Islam. Apalagi, saat ini, isu syariat bukan merupakan isu yang tabu, tetapi isu yang biasa saja, karena berbagai kalangan, baik muslim maupun non-Muslim sudah terbiasa dengan bank syariah, ekonomi syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, obligasi syariah, dan sebagainya. Tampilnya para akademisi bidang hukum Islam dalam upaya penegakan syariat Islam sangat diperlukan agar isu ini tidak dianggap sebagai isu jalanan, tetapi juga merupakan isu akademis ilmiah. Bukankah tujuan kita mendidik ribuan sarjana syariah adalah untuk memperjuangkan syariat Islam? Tentu aneh, jika ada sarjana syariah justru menjadi anti-syariah; ada yang rajin belajar Islam tetapi justru anti-Islam.

Sebenarnya, saat ini, banyak fenomena yang menunjukkan keanehan-keanehan seputar hukum Barat yang dipaksakan kepada masyarakat Muslim dewasa ini. Dalam beberapa bulan belakangan ini ada sejumlah kasus hukum yang menarik perhatian masyarakat seputar konflik diantara beberapa selebriti Indonesia. Sejumlah selebritis terlibat konflik fisik. Pihak yang terluka kemudian melapor ke polisi. Pelakunya ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Lalu, atas inisiatif berbagai pihak, terjadilah perdamaian; kedua pihak saling memaafkan. Tapi, kata pengacara kedua pihak, karena kasusnya sudah masuk ke pengadilan, maka peradilan itu tidak bisa dihentikan. Sebab, kata mereka, ini kasus pidana, bukan kasus perdata yang bisa diselesaikan secara damai berdasarkan kesepakatan.

Itulah hukum dan sistem paradilan yang berlaku di Indonesia. Unsur ’maaf’ dan ’perdamaian’ tidak diperhitungkan dalam penghentian kasusnya. Bandingkan hal itu dengan sistem qishas dalam Islam. Pembunuh pun bisa bebas, jika keluarga korban mengampuninya. Dalam sistem hukum Barat yang berlaku di Indonesia saat ini, hak pengampunan itu bukan diberikan kepada keluarga korban, tetapi justru kepada Presiden. Hukum mana yang lebih baik?

Kasus lain! Ketika itu seorang keluarga mantan Presiden Soeharto terlibat kasus penggunaan narkoba. Sesuai sanksi hukum di Indonesia, dia harus dijebloskan ke penjara. Konon, menurut para pakar hukum dan pejabat negara, sistem penjara itu diterapkan dengan tujuan untuk tujuan ’pendidikan’. Setiap hari negara harus mengeluarkan dana besar untuk memberi makan dan menyediakan fasilitas untuk orang-orang kaya yang terlibat kejahatan sejenis narkoba.

Dalam sistem hukum Islam ada sanksi hukum berupa ta’zir yang sangat fleksibel untuk diterapkan terhadap pelaku kejahatan. Tidak mesti harus berupa sanksi penjara atau denda. Ada sanksi ta’zir lain, bisa berupa kerja bakti, cambuk, denda, atau hukuman mati. Bisa disesuaikan dengan kondisi si terhukum. Jika dia pengguna narkoba dan tergolong mampu, maka yang lebih efektif bukanlah dengan sistem penjara, tetapi cukup dihukum cambuk di depan masjid usai shalat Jumat. Hukum cambuk adalah jenis hukuman yang murah meriah dan efektif. Tapi, konon, karena ada ’bau syariat’ maka oleh berbagai kalangan Islamofobia, maka hukum cambuk itu ditolak,  dianggap dapat ”mengancam keutuhan NKRI”. Padahal, di Malaysia dan Singapura, hukum ini diberlakukan.

Kita ingat, di awal Oktober 2003, sejumlah media, –cetak dan elektronik– ramai mempersoalkan sejumlah pasal kontroversial, khususnya pasal-pasal perzinaan dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP). Majalah TEMPO edisi 6-12 Oktober 2003, menampilkan laporan utama dengan judul “Rancangan KUHP: KITAB YANG SEMAKIN MENAKUTKAN”. Ketika itu, TEMPO menulis soal pasal-pasal Zina dalam RUU KUHP ini dengan satu judul naskah: “Jeratan Buat Para Pezina”. Ditulis di sini: “Makna zina dalam RUU KUHP diperluas, membuka peluang aparat ke ruang pribadi. AROMA HUKUM ISLAM, MINUS SANKSI.”

Sejumlah contoh pasal RUU KUHP tentang perzinaan yang dihebohkan, misalnya, pasal 419 yang menyatakan, bahwa akan dipidana dengan pidana penjara lima tahun: (a). Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya. (b). Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya. (c) Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan, atau perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan.

Pasal 420 RUU KUHP menyatakan: “Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat perkawinan yang sah melakukan persetubuhan, dan karenanya mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat, dipidana dengan penjara paling lama satu tahun atau denda dalam kategori II (Rp 750 ribu). Kumpul kebo pun diancam hukuman pidana. Ini diatur dalam pasal 422: “Seorang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah karenanya menganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat dipidana penjara dua tahun. Tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan keluarga salah seorang sampai derajat ketiga, kepala adat atau oleh kepala desa atau lurah setempat.”  Hubungan seks sejenis (homoseksual atau lesbian) pun tak luput dari sanksi pidana, seperti diatur pasal 427: “Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 tahun dipidana paling singkat satu tahun penjara dan paling lama tujuh tahun.”

Draft revisi KUHP itu kemudian direvisi lagi oleh Depkumham, dan pada 25 Mei 2005, keluar revisi yang baru. Pada draft RUU KUHP yang baru ini, pasal 484 (2) disebutkan, bahwa berbagai jenis perzinahan yang melibatkan orang yang sudah menikah ”tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar.”  Dan pada ayat 4 dikatakan, pengaduan dapat ditarik kembali  selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai. Pada pasal 486 disebutkan, bahwa kumpul kebo diganjar hukuman penjara paling lama 5 tahun. Sementara pasal 487 menyebutkan, pelacur yang berkeliaran di jalan diancam hukuman denda maksimal Rp 1,5 juta.

Namun, draft itu pun belum tentu akan mulus bergulir menjadi KUHP yang baru. KUHP yang disusun di zaman penjajahan Belanda masih tampak begitu kokoh untuk digoyahkan. Apalagi dalam soal pidana. Hegemoni paradigma Barat dalam hukum pidana masih begitu kuat. Bagi masyarakat Barat, zina bukan dianggap kejahatan, karena itu para pezina banyak yang menduduki posisi yang mulia di tengah masyarakat. Di Indonesia, pengaruh itu mulai terasa. Orang yang mengumumkan perzinahannya di depan khalayak, justru makin terkenal. Sebaliknya, bagi masyarakat Barat, poligami dipandang sebagai kejahatan, sehingga Aa Gym banyak dicemooh oleh media massa, karena berpoligami.

Karena itu, bagi kaum Muslim, dalam soal hukum, yang diperlukan saat ini adalah penyadaran akan makna dan posisi hukum itu sendiri. Persoalan yang lebih mendasar justru berada di luar wilayah hukum itu sendiri. Selama kaum Muslim tidak memiliki pandangan hidup Islam (Islamic worldview) yang benar tentang hukum Islam, maka akan sangat sulit mereka untuk menerima hukum Islam. Bagi seorang Muslim, pandangan terhadap hukum Islam adalah bagian dari konsep pandangan hidup Islam (Islamic worldview). Pandangan hidup Islam terbentuk dari serangkaian pemahaman tentang konsep-konsep pokok dalam Islam, seperti konsep Tuhan, konsep kenabian, konsep agama, konsep wahyu, konsep manusia, konsep alam, dan konsep ilmu. Seluruh elemen itu terkait satu dengan lainnya, dan konsep Tuhan menjadi landasan bagi konsep-konsep lainnya.   

Pandangan seorang terhadap konsep ’Islamic worldview’, bahwa Islam adalah satu-satunya agama wahyu, akan sangat menentukan dalam memandang masalah hukum Islam. Ini akan sangat berbeda dengan orang yang melihat agama – termasuk Islam – sebagai ’gejala budaya’, dimana Islam diletakkan sebagai sebagai ’historical and cultural religion’, sebagaimana agama-agama lain. Dengan karakteristik Islam sebagai agama wahyu, yang secara ketat berpegang kepada wahyu Allah – al-Quran dan al-Sunnah Rasulullah saw – dalam semua aspek kehidupan, maka umat Islam pun memandang bahwa pelaksanaan hukum Islam adalah bagian dari kewajiban mereka untuk mengikuti Sunnah Rasulullah. Sebab, Nabi Muhammad saw adalah uswatun hasanah dalam seluruh aspek kehidupan. Umat Islam tetap memegang teguh konsep ’uswatun hasanah’ terhadap seorang Nabi. Mulai bangun tidur hingga tidur lagi, umat Islam berusaha meneladani Nabi Muhammad saw, karena beliau memang contoh teladan yang lengkap dan paripurna. Konsep uswah hasanah Islam ini tidak mungkin diikuti oleh kaum Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, komunis, atau kaum sekular Barat. Karena itu, meskipun orang-orang Barat beragama Kristen, mereka menetapkan sistem hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, bukan berdasarkan kepada Bibel, atau menjadikan Yesus sebagai teladan dalam seluruh aspek kehidupan. Begitu juga dengan kaum komunis. Mereka tidak bisa menjadikan Karl Marx sebagai suri tauladan dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Orang komunis tidak akan mencontoh seluruh perilaku Karl Marx, yang memang dikenal sebagai seorang pemabok dan jarang mandi. (Paul Johnson, dalam bukunya, Intellectuals, (New York: Harper&Row Publisher, 1988), menulis sebuah artikel berjudul ”Karl Marx: ’Howling Gigantic Curse’. Dia menggambarkan sosok Marx: ”His angry egoism had physical as as psychological roots. He led a peculiarity unhelthy life, took very little exercise, ate highly spiced food, often in large quantities, smoked heavily, drank a lot, especially strong ale, and as result had constant trouble with his liver. He rarely took baths or washed much at all.” (hal. 73)). 


Saat ini, para akademisi Muslim, khususnya yang bergelut di bidang hukum Islam, perlu merumuskan strategi yang matang dalam penegakan syariat. Masih banyak masyarakat yang tidak paham tentang syariat Islam. Mereka membayangkan, syariat itu hanya berkaitan dengan dengan soal pidana. Padahal, yang sangat mendesak untuk diterapkan saat ini adalah syariat di bidang keadilan social-ekonomi. Sebagai contoh, bagaimana mengatur anggaran Negara yang sesuai syariat. Adalah tidak syar’iy, misalnya, menggunakan anggaran Negara untuk  jalan-jalan anggota DPR ke luar negeri, membangun monumen, membuat patung, dan sebagainya, sementara masih banyak rakyat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan). Adalah tidak syar’iy menggunakan uang rakyat untuk membayar utang luar negeri yang tidak pernah dinikmati oleh rakyat. Kita melihat fenonema aneh dari gerakan reformasi. Mereka menumbangkan rezim Orde Baru, tetapi justru rela mewarisi utang-utang rezim Orde Baru, dan membayarnya dengan uang rakyat. Wallahu a’lam. (Jakarta, 8 Juni 2007).

1 komentar: