Adian Husaini
Dalam buku populernya “The Rise and Fall of the Great Powers”, Paul Kennedy menutup
dengan bab “The United States: the Problem of Number One in Relative
Decline”. Dalam buku ini, Kennedy memaparkan tanda-tanda kemunduran Amerika
Serikat: Tahun 1985, utangnya sudah mencapai 1.823 milyar USD.
Defisit neracanya 202,8 milyar USD. Tahun 2002 defisit neracanya diperkirakan
telah mencapai lebih dari 400 miliar dolar AS. Dengan politik unilateralnya, ambisi
kuasanya, beban yang ditanggung AS makin besar. Duit ditebar untuk menaklukkan
negara-negara lain.
Tapi, bagaimana pun,
untuk sementara ini, AS masih menjadi negara terkuat.
Dalam kata-kata Paul Kennedy, “For all its economic and perhaps military
decline, it remains, in Pierre Hassner’s world, “the decisive actor in every
type of balance and issue… because it has so much power for good or evil.”
Nabi Muhammad saw
menunjukkan sebuah rumus kehancuran peradaban, dalam satu sabda beliau: "Hampir tiba suatu masa
dimana berbagai bangsa/kelompok mengeroyok kamu, bagaikan orang-orang yang
kelaparan mengerumuni hidangan mereka." Seorang sahabat bertanya:
"Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?" Nabi SAW
menjawab: "(Tidak) Bahkan jumlah kamu pada hari itu sangat banyak
(mayoritas), tetapi (kualitas) kamu adalah buih, laksana buih di waktu banjir,
dan Allah mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan
Allah akan menanamkan penyakit "al
wahnu". Seorang bertanya, "Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?"
Rasulullah menjawab: "Cinta dunia dan takut mati." (HR Abu Dawud).
Umat Islam digambarkan
oleh Rasulullah SAW, ketika itu jumlahnya banyak. Tapi, banyaknya tidak
berarti, laksana buih. Sumber kehinaan itu terletak
pada sikap “hubbud-dunya”, penyakit tamak terhadap dunia. Kebangkitan dan
kehinaan suatu umat atau bangsa adalah merupakan sunnatullah. Jika umat Islam
tidak kembali kepada Islam, terjangkit penyakit hubbud-dunya, maka selamanya umat ini akan terus
terhinakan. Pada saatnya nanti Allah akan memusnahkan umat seperti itu dan
menggantikannya dengan umat atau generesi yang lain.
“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang
murtad dari agama Allah, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, yang
Allah mencintai mereka, dan merkapun mencintai Allah, mereka berkasih sayang
kepada orang-orang mukmin, dan tidak menghinakan diri kepada orang-orang kafir,
mereka berjihad di jalan Allah, dan mereka tidak takut pada celaan orang-orang
yang suka mencela.” (QS al-Maidah:54)
Manusia-manusia yang
“tamak dunia” tidak memiliki sikap cinta Allah dan Rasul-Nya. Apalagi mau berjihad di jalan Allah!
Mereka hanya mementingkan
syahwat dunia, mengejar dunia demi keuntungan dan kesenangan dirinya.
“Tamak dunia” menjauhkan manusia dari sikap cinta pengorbanan yang menjadi
salah satu asas kebangkitan sebuah bangsa atau peradaban.
Syekh Amir Syakib Arsalan dalam buku terkenalnya,
Limaadzaa Taa’kkharal Muslimun wa-limaadzaa Taqaddama Ghairuhum menyebutkan, bagaimana besarnya sikap berkorban dari kaum
Yahudi dan bangsa-bangsa Barat, sehingga mereka mampu mengalahkan kaum Muslimin
di berbagai belahan dunia. Pemuda-pemuda Italia dulu, tulis Syaikh Arsalan, merasa malu jika sampai umur 20
tahun masih ada di kampungnya. Mereka meminta izin untuk pergi berperang
melawan umat Islam. Bangsa Yahudi mampu menghimpun dana yang sangat besar dan
ribuan milisi berani mati demi merebut Tanah Palestina.
Tengoklah sejarah! Mengapa kaum Muslim hancur di Andalusia setelah hampir 800 tahun
(711-1492) memimpin negeri ini. Mengapa Kota Jerualem bisa diduduki Pasukan
Salib (tahun 1099) yang jauh lebih rendah tingkat peradabannya? Mengapa bangsa Mongol yang sangat biadab dan
barbar bisa menaklukkan Baghdad tahun 1215? Bisa disimpulkan: “tamak
dunia” adalah sumber utama kehancuran peradaban Islam saat itu.
Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara
Jiilu Shalahuddin wa-Hakadza ‘Aadat al-Quds, dengan tepat menggambarkan kondisi
moralitas penguasa, ulama, dan masyarakat, di saat-saat kejatuhan Kota Suci
Jerusalem di tangan pasukan salib. Penyakit
tamak dunia merajalela, bukan hanya di kalangan penguasa, tetapi juga di
kalangan ulama. Umat Islam
mengabaikan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Mereka membiarkan
kemunkaran merajalela, karena sibuk memikirkan kejayaan dan keuntungan pribadi
dan kelompoknya. Satu lagi, penyakit
kronis ketika itu: umat Islam terjebak dalam perpecahan antar-mazhab
yang sangat parah. Mereka tidak peduli dengan Islam, dan hanya sibuk memikirkan
kejayaan kelompoknya dengan mencaci-maki kelompok lainnya.
Tokoh Islam, Mohammad
Natsir, jauh-jauh sebelumnya pernah mengingatkan bahaya ”tamak dunia” yang sedang mengancam negara Indonesia. Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, Mohammad
Natsir menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan
Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.”
Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan hilangnya budaya cinta
pengorbanan pada manusia Indonesia pasca kemerdekaan: “Dahulu, mereka girang
gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di
medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam
satu negara yang merdeka, yang mereka
inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua
orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan
kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh
masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang
dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal…
Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela
sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan
memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri.”
Di tahun 1980-an,
Natsir juga pernah berpesan kepada para sejumlah cendekiawan Muslim yang
mewawancarainya: ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia,
termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia...Di
negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang
”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama
(kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini
terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam
masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat
Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi
bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup
serius.”
Nabi Muhammad saw sudah mengingatkan bahaya ”tamak
dunia”. Sejarah sudah membuktikan. Kini, kita bisa menilai: apakah bangsa
Indonesia – bangsa Muslim terbesar di dunia ini -- sedang menuju proses
kebangkitan atau sedang menggali kuburnya sendiri? Wallahu a’lam bil-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar