Yang saya maksudkan dengan teologi dalam tulisan ini
adalah sistem kepercayaan kepada Tuhan yang selalu berpihak pada kebenaran,
keadilan, kesabaran, kejujuran, dan ketakwaan. Dalam Alquran banyak ayat yang
menegaskan tentang keberpihakan ini. Artinya, Tuhan tidaklah netral dalam
sejarah.
Tetapi, dengan kekalahan beruntun umat Islam dalam
perlombaan peradaban selama rentang waktu yang panjang, apakah pemihakan itu
sudah tidak berlaku lagi? Mengapa? Di sinilah pergumulan teologis dan realitas
hidup itu semakin menegangkan dan sulit dipahami.
Dari sisi pihak lain, keterangan Karen Armstrong patut
juga didengar. Menurut penulis perempuan Inggris ini, banyak orang Inggris
tidak percaya lagi kepada Tuhan, dengan alasan Tuhan tidak berbuat sesuatu
untuk menyetop Perang Dunia (PD) II yang telah membawa malapetaka dahsyat bagi
Eropa itu.
Berbeda dengan orang Inggris, sepanjang pengetahuan
saya, betapapun umat Islam telah mengalami kekalahan demi kekalahan, mereka
tidaklah sampai meninggalkan iman mereka kepada Allah. Paling-paling sebagian
mereka salah tingkah dalam menjawab tantangan yang tidak mampu dihadapi.
Mereka bahkan masih terus berdoa agar umat ini bangkit
kembali dari segala macam keterpurukan dan kehinaan yang datang silih berganti.
Tengoklah apa yang sedang berlaku di Suriah, Irak, Afghanistan, Pakistan, dan
di kawasan lain, umat Islam hidup dalam kegelisahan, ketidakamanan, dan
penderitaan yang mengenaskan. Bom bunuh diri meledak di berbagai tempat.
Pengungsi bertebaran di mana-mana, akibat hidup sudah tidak aman lagi.
Belum lagi bentrok sektarian antara puak Suni dan puak
Syiah yang terus saja terjadi sejak ratusan tahun yang lalu di berbagai bagian
dunia. Ironisnya, konflik sektarian ini sama-sama mengklaim sebagai umat
beriman.
Saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini: kepada golongan
mana pemihakan Tuhan dalam masalah konflik sektarianisme ini. Atau, memang
tidak ada pemihakan itu karena masing-masing sekte sudah teramat jauh dari
jalan kebenaran dan jalan ketakwaan. Yang tersisa adalah sikap saling mengklaim
kebenaran tanpa kriteria yang jelas.
Apa yang berlaku di dunia Arab sejak 2010 adalah drama
berdarah-darah akibat hilangnya kepercayaan rakyat banyak kepada penguasa zalim
yang seagama dengan mereka. Ribuan sudah menjadi korban, di samping harta dan
bangunan yang merata dengan tanah.
Kerentanan ini telah dimanfaatkan dengan baik oleh
kekuatan Neoimperialisme Barat untuk semakin meremukkan jiwa dan tubuh umat
Islam yang telah lama tak berdaya membela martabat dan hak mereka di muka bumi.
Jika logika Alquran dijadikan acuan tentang intervensi Tuhan baru akan menjadi
kenyataan jika umat Islam bersedia mengubah sikap mental mereka yang telah lama
berkubang dalam dosa dan dusta, kembali ke jalan yang benar dan lurus. (Lihat
QS al-Ra’du ayat 11).
Ayat ini masih sering diucapkan, tetapi apakah kita
sungguh-sungguh memahami dan kemudian melaksanakannya dalam menata hubungan
sesama umat Islam? Kita piawai dalam soal kutip-mengutip, tetapi hati telah
lama gersang untuk menangkap maknanya yang autentik dan terdalam. Inilah yang
sangat merisaukan dan mendera kita semua sampai detik ini.
Kerisauan ini merupakan derita bagi banyak penulis
Muslim sepanjang abad, tetapi suasana ke arah perbaikan belum juga kunjung
datang. Alangkah sabarnya para penulis ini dalam menunggu pemihakan Tuhan
kepada umat ini. Umat ini sulit sekali sadar untuk mengubah kelakuan, mengubah
sikap mental sebagai konsekuensi logis dari seorang yang beriman yang tulus.
Tidak jarang para penulis itu melakukan “protes”
terhadap kebijakan Tuhan atas umat Islam, seperti terbaca dalam karya Iqbal
Shikwa wa Jawab-i-Shikwa (“Keluhan dan Jawaban atas Keluhan) yang dibacakan
pertama kali tahun 1909 di Lahore. Kita kutip satu di antaranya:
Ada umat dengan iman yang berbeda, sebagian mereka
zalim.
Sebagian rendah hati; sebagian mabuk dalam semangat
kesombongan.
Sebagian pemalas, sebagian dungu, sebagian punya otak,
Ratusan yang lain ada pula yang putus asa terhadap
nama-Mu.
Rahmat-Mu terguyur atas rumah-rumah orang tak beriman,
semuanya asing.
Hanya atas si Muslim yang papa, kemurkaan-Mu ibarat
kilat yang menyambar.
(Lihat Muhammad Iqbal, Shikwa wa
Jawab-i-Shikwa. Terjemahan dari bahasa Urdu oleh Khushwant Singh. Delhi: Oxford
University Press, 1983, halaman 41).
Apakah Tuhan memang sedang murka pada kita umat Islam
yang papa ini, sehingga masih saja berada dalam keadaan tersungkur, sebagaimana
terbaca pada bait terakhir dalam "protes" Iqbal di atas? Aduh, sudah
papa kena murka lagi.
Tentu, jika Tuhan memang sedang murka kepada umat ini,
semestinya kita melakukan kritik diri secara jujur dan tajam, mengapa berlaku
demikian? Belum ada perbaikan yang mendasar sebagai syarat untuk bangkit
sebagai umat yang diridai. Iman kita mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah ingkar
janji, asal syarat-syarat untuk itu dipenuhi oleh hamba-Nya.
Protes Iqbal berlanjut: Di tempat-tempat pemujaan
syirik, si musyrik berkata, "Umat Islam telah tamat!" Mereka girang
karena penjaga Ka'bah telah pergi.
... Si kafir bersorak terbahak; apakah Engkau pekak, tak
peduli? Akan halnya keesaan Engkau, seolah kehilangan makna?
(Lihat Muhammad Iqbal, Complaint and Answer. Terjemahan
AJ Arberry. Kashmiri Bazar, Lahore: SH Muhammad Ashraf, 1977, hlm 17).
Protes Iqbal terasa keras sekali, seolah-olah pesan
tauhid telah kehilangan makna dalam realitas kehidupan umat Islam. Dalam
Jawabi-Shikwa, jika dikaitkan dengan fenomena sektarianisme yang membuat umat
Islam kocar-kacir, kita baca bait ini:
Di sini sektarianisme menang, kelas dan kasta menguasai
zaman; Masih beralasankah kamu untuk berjaya, untuk meraih kembali kekuasaan
yang telah silam? (Ibid, 49).
Dengan jawaban ini semakin sadarlah kita bahwa
sektarianisme yang masih dipuja itu adalah pengkhianatan telanjang terhadap
doktrin tauhid yang menjadi inti teologi Islam. Semestinya, dengan berlandaskan
tauhid sejati, umat Islam tidak patut porak-poranda seperti yang sekarang
berlaku.
Rupanya landasan teologi utama itulah yang telah
digerogoti za man, padahal teologi itu pulalah yang mesti direbut kembali, jika
umat ini mau beranjak dari suasana kehinaan akibat virus sektarianisme yang
melumpuhkan itu.
Saya sudah lama berpendapat bahwa baik sunisme maupun
syi'isme tidak lain dari ciptaan sejarah yang tidak muncul di era nabi, tetapi
mengapa masih diberhalakan sampai sekarang? Masing-masing pendukung sekte
berkata merekalah yang mewakili Islam secara benar.
Bukankah klaim serupa ini adalah sifat manusia takabbur?
Bagi saya, kita harus punya keberanian teologis untuk membongkar klaim-klaim
palsu hasil sejarah sengketa karena berebut kuasa di kalangan internal umat
itu. Tanpa keberanian ini, saya khawatir, darah masih akan tertumpah lebih
banyak lagi dari kalangan umat yang bernasib malang ini.
Saya setuju dengan pandangan bahwa pihak Barat tidak
rela jika umat Islam bangkit lagi dengan penuh percaya diri, setelah mereka
menyadari kesalahan fatal yang diperbuat selama ini. Tetapi, percayalah, pihak
lain hanya akan mam pu melumpuhkan barisan kita di saat keadaan internal kita
kacau-balau, mengalami kerapuhan dari dalam, seperti yang berabad-abad kita
derita.
Masalahnya adalah sudah sepakatkah kita bahwa kondisi
umat ini memang kacau-balau dan rapuh? Jika sudah sepakat, mari kita perbaiki
dengan syarat bersedia menghilangkan egoisme sejarah dan subjektivisme sektarianisme
kita?
Akhirnya, pergumulan keras teologis dengan realitas
hidup ini masih akan berlangsung terus selama idealisme ajaran masih jauh di
sana, masih dalam suasana pecah kongsi berhadapan dengan perilaku kita yang
sudah jauh menyimpang dari jalan kebenaran, jalan tauhid yang sejati.
Sektarianisme adalah penyakit kronis peradaban, tetapi masih saja dibela orang
karena dianggap benar. Jika demikian, di mana Alquran, sebuah Kitab Suci, yang
menyatakan perang total terhadap segala corak sektarianisme sejak 14 abad yang
lalu?
Ahmad Syafi'i Ma'arif
0 komentar:
Posting Komentar