MAKALAH PEMIKIRAN AL-FARABI

MAKALAH
PEMIKIRAN AL-FARABI
Guna untuk memenuhi tugas Filsafat Pendidikan Islam
DosenPengampu   Agus Nuryatno




Oleh
Ahmad Rifai
(11470085)


KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berbicara tentang filsafat, kita tidak dapat melepas kontribusi filosof yunani yang memprakarsai munculnya filosof-filosof islam setelah masa Rasulullah SAW. Namun, hal itu tidak berarti bahwa filsafat Islam adalah nukilan dari filsafat Yunani. Filsafat Islam adalah hasil interaksi dengan filsafat Yunani dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan pemikiran rasional umat Islam telah mapan sebelum terjadinya transmisi filsafat Yunani ke dalam Islam.
Al-Farabi merupakan filosof yang menuruni filosof Yunani. Dari beberapa pemikiran filosof yunani kemudian rekonsiliasi oleh al-Farabi, termasuk tentang filsafatnya tentang ketuhanan (islam) dengan esensi ketuhanan yang ada pada filosof yunani. Kemudian tentang emanasi dan Kenabian yang mencampurkan wahyu dan filsafat menurut al-Farisi akan dibahas dalam pembahan makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Sejarah lahir dan karyanya
2.      Filsafatnya (Rekonsiliasi, Ketuhanan, Emanasi, dan Kenabian)




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Lahir dan Karyanya
Al-Farabi, nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ibn Muhammad Ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij, distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana). Turkistan pada tahun 257 H /870 M. Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki.[1] Ia dikenal dikalangan Latin Abad Tengah dengan sebutan Abu Nashr (Abunaser), sedangkan sebutan nama al-Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat ia dilahirkan.[2]Al-Farabi mempunyai sebutan layaknya sebutan nama bagi orang-orang Turki, ini dikarenakan ibunya bersal dari negara Turki.
Sejak kecil al-Farabi sudah tekun dan rajin belajar, apalagi dalam mempelajari bahasa, kosa kata, dan tutur bahasa ia telah cakap dan luar biasa. Penguasaan terhadap bahasa Iran, Turkistan dan Kurdikistan sangat ia pahami. Malah sebaliknya, bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak ia kuasai. Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa Farabi dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa; tetapi yang dia kuasai dengan aktif hanya empat bahasa; Arab, Persia, Turki, dan Kurdi.
Menurut literatur, al-Farabi dalam usia 40 tahun pergi ke Baghdad, sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia di kala itu. Ia belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar al-Saraj  dan belajar logika serta filsafat kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus.[3] Kemudian, ia pindah  ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailani. Tetapi tidak berapa lama di Harran, ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Selama di Baghdad ia banyak menggunakan waktunya untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat. Dalam dunia intelektual Islam ia mendapat kehormatan dengan julukan al-Mu’allim al-Sany (guru kedua), sedangkan yang menjadi guru pertama adalah Aristoteles yang menyandang delar al-Mu’allim al-Awwal (guru pertama), selain itu al-Farabi juga meyandang predikat al-Syaikh al-Rais (Kiyai Utama), gelar-gelar ini didapatkan karena ia banyak memamhami filsafat Aristoteles.
Sebagai seorang filosof yang ternama, dalam hidupnya ia dikenal seorang yang tidak berkecimpung di dunia politik pemerintahan. Atas dasar inilah ia mendapatkan sebuah kebebasan dalam mengeluarkan pemikirannya yang tidak terikat dengan dogma-dogma yang berbau politik di kala itu. Satu sisi menguntungkan dirinya, tetapi kalau dilihat dari segi pemerintahan maka ia juga rugi karena kurangnya pengalaman dalam mengelola urusan kenegaraan, juga untuk menguji teori-teorinya terhadap kenyataan politik di kala itu.
Di antara pemikiran al-Farabi dituliskan menjadi sebuah karya, namun ciri khas karyanya al-Farabi bukan saja mengarang kitab-kitab besar atau makalah-makalah, ia juga memberikan ulasan-ulasan serta penjelasan terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al-Dfraudismy dan Plotinus. Di antara karya al-Farabi adalah sebagai berikut:[4]
a.      Al-Jam’ bain Ra’yai al-Hakimain
b.      Tahshil al-Sa’adat
c.       Maqalat fi Aghradh ma ba’d al-Tabi’at
d.      Risalat fi ISbat al-Mufaraqat
e.       Uyun al-Ma’sail
f.        Ara Ahl al-Madinat al-Fadhilat
g.      dll
B.     Filsafatnya
1.      Rekonsiliasi Al-Farabi[5]
Al-Farabi telah berhasil merekonsiliasikan beberapa ajaran filsafat sebelumnya, seperti Plato, dan Aristoteles dan juga antara agama dan filsafat. Oleh karena itu, ia dikenal filosof sinkretisme yang mempercayai kesatuan filsafat.
Al-Farabi berkeyakinan bahwa aliran filsafat yang bermacam-macam itu hakikatnya adalah hanya satu, yaitu sama-sama mencari kebenaran, sedangkan kebenaran hanya satu macam dan serupa pada hakikatnya. Justru itu semua aliran filsafat pada prinsipnya tidak ada perbedaan.
Cara Al-Farabi menyatukan kedua filosof di atas adalah dengan memajukan pemikiran masing-masing filosof yang cocok dengan pemikirannya. Seperti dalam membicarakan masalah ide yang menjadikan bahan polemic antara Aristoteles dan Plato. Filosof yang disebut pertama tidak dapat membenarkannya karena, menurutnya, alam ide hanya ada dalam pikiran. Sedangkan filosof yang disebut kedua mengakui adanya dan berdiri sendiri.
Untuk mempertemukan kedua filsafat ini, Al-Farabi menggunakan takwil bila ia menemui pertentangan diantara keduanya. Kemudian, ia tegaskan lebih lanjut, sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat di luar alam ini dan perkataannya yang mengingkari alam rohani tersebut masih dapat ditakwilkan. Jadi, kedua filosof tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada zat Allah. Dengan demikian, Al-Farabi merekonsiliasikan antata palto dan Aristoteles.
Di samping itu, terlihat pula usaha Al-Farabi merekonsiliasikan antara agama dan filsafat. Menurutnya para filosof Muslim meyakini, Al-qur’an dan hadis adalah hak dan benar dan filsafat juga adalah benar. Kebenaran itu tidak boleh lebih dari satu. Justru itu ia tegaskan bahwa antara keduanya tidaklah bertentangan, bahkan mesti cocok dan serasi karena sumber keduanya sama-sama dari Akal Aktif, hanya yang berbeda cara memperolehnya bagi filosof perantaranya Akal Mustafad, sedangkan dalam agama perantaraan wahyu dikesampingkan kepada nabi-nabi. Kalau ada perlawanan, itu hanya dari segi lahirnya saja dan tidak sampai menembus batinnya. Untuk menghilangkan perlawanan itu harus dipakai takwil filosofis dan tidak meninggalkan pertentangan kata-kata. Filsafat memikirkan kebenaran dan agama juga menjelaskan kebenaran. Oleh karena itu, kata Al-Farabi, tidaklah berbeda kebenaran yang disampaikan oleh para nabi dengan kebenaran yang dimajukan filosof, dan antara ajaran islam dan filsafat yunani. Akan tetapi, hal ini bukan berarti Al-Farabi menerima kelebihan filsafat dari agama.

2.      Ketuhanan
Mengenai pembicaraan filsafat ini, seperti para filosof lainnya, yakni membahas tentang masalah ke-Tuhanan. Al-Farabi membagi ilmu Ketuhanan menjadi 3 (tiga) yaitu: pertama, membahas semua wujud dan hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud. Kedua, membahas prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat (paticulars), yaitu ilmu yang berdiri sendiri karena penelitiannya tentang Wujud tertentu. Ketiga, membahas semua Wujud yang tidak berupa benda-benda ataupun berada dalam benda-benda itu. Menurut al-Farabi, yang kita ketahui dari sebuah objek atau realitas bukanlah wujud material objek itu sendiri melainkan gambaran (representasi) objek atau ide yang dipahami rasio berdasarkan tangkapan indera-indera eksternal terhadap objek.[6]
Al-Farabi ketika menjelaskan Metafisika (ke-Tuhanan), menggunakan pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme. Ia berpendapat bahwa al-Maujud al-Awwal sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Dalam pemikiran adanya Tuhan, al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan Mumkin al-Wujud. Menurutnya, segala yang ada ini hanya memiliki dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga. Wajib al-Wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah Wujud yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika Wujud  itu tidak ada, akan timbul kemustahilan karena Wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Inilah yang disebut dengan Tuhan. Adapun mumkin al-Wujud tidak akan berubah menjadi Wujud Aktual tanpa adanya Wujud yang menguatkan, dan yang menguatkan itu bukan dirinya, tetapi Wajib al-Wujud. Walaupun demikian, mustahil terjadi daur dan tasalsul (processus in infinitum) karena rentetan sebab akibat itu akan berakhir pada Wajib al-Wujud.

3.      Emanasi
Pemikiran filsafat al Farabi yang terkenal adalah penjelasan tentang emanasi, atau yang lebih dikenal teori emanasi (al Faidh), yaitu teori yang mengajarkan proses urutan kejadian suatu wujud yang mungkin dari zat yang wajib al wujud. Menurutnya, Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Segala sesuatu yang ada saat ini adalah ber-manasi (memancar) dari Tuhan, Ilmu Nya menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahuiNya.
Dengan demikian, Tuhan penggerak Aristoteles bergeser menjadi Allah Pencipta, yang menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran[7]. Dalam artian Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari  energy yang kodim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu.
Tuhan itu Esa, karena itu, yang keluar dari padaNya juga tentu harus satu wujud saja. Kalau yang keluar dari zat Tuhan itu terbilang, maka berarti zat Tuhan itupun berbilang pula, hal ini mustahil terjadi. Menurut al Farabi dasar emanasi adalah pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal yang timbul dari Tuhan mempunyai kekuatan emanasi dan penciptaan. Contohnya, Dalam alam manusia sendiri, apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya.
Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini muncul ‘akal-akal’ lain yang terjadi secara serentak, jadi jangan dipahami sebagai proses yang lama, tetapi pahamilah terjadinya degnan proses yang serentak, menjadi serentetan akal akal lainnya. Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud spiritual murni yang sama sekali tidak berkaitan dengan bentuk material[8]. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut akal pertama, First Intelligence yang tidak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga disebut Akal kedua, Second Intellegence.
Wujud Kedua atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbullah akal kedua (Langit Pertama)
Akal Ketiga (bintang-bintang)
Akal Keempat (Saturnus)
Akal Kelima(Jupiter)
Akal Keenam(Mars)
Wujud Ketujuh/Akal Keenam
Akal Ketujuh (Matahari)
Akal Kedelapan (Venus)
Akal Kesembilan (Mercury)
Akal Kesepuluh (Bulan)
Pada pemikiran Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akaal-akal. Tetapi dari akal kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api,udara, air dan tanah.
Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal memancar dari Akal Kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles, ia juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya, yaitu : Gerak, makan nutrisi, Memelihara, Berkembang, Mengetahui, Merasa, Imajinasi, Berpikir, Akal praktis, Akal teoritis (theoritical intllect).

4.      Kenabian
Filsafat ke-Nabian dalam pemikiran al-Farabi erat hubungannya pada agama. Agama yang dimaksud adalah agama Samawi (langit). Dalam agama Islam Nabi adalah manusia seperti manusia lainnya. Akan tetapi Nabi diberi kelebihan oleh Allah akan kemuliaan berupa mukjizat yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Maka dalam agama Islam, seorang Nabi adalah utusan Allah yang mengemban tugas keagamaan. Nabi adalah utusan Allah yang diberikan Al-Kitab yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan oleh Nabi yang berasal dari Allah adalah wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari nafsunya sendiri. 
Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi yang mempunyai jiwa besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi dengan akal fa’al. Sebab lahirnya filsafat ke-Nabian ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap eksistensi ke-Nabian secara filosofis oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi. Ia adalah seorang tokoh yahudi yang membuat karya-karya tentang keingkaran kepada Nabi, dan umumnya pada nabi Muhammad SAW. Di antara kritikan yang di gambarkan olehnya adalah: pertama, Nabi sebenarnya tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah mengaruniakan manusia akal tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta segala nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, menerima suruhan dan larangan-Nya. Kedua, ajaran agama meracuni prinsip akal. Secara logika tidak ada bedanya Thawaf di Ka’bah, dan sa’i di bukit Safa dan Marwa dengan tempat-tempat lainnya. Ketiga, mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang dapat menerima batu bisa bertasbih dan srigala bisa berbicara. Kalau sekiranya Allah membantu umat Islam dalam perang Badar dan mengapa dalam perang Uhud tidak. Keempat, al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan persoalan yang luar biasa. Orang yang non-Arab jelas saja heran dengan balaghah al-Qur’an, karena mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad adalah Khalifah yang paling Fasahah dikalangan orang Arab. Selanjutnya pendapat Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi, daripada membaca kitab suci, lebih berguna membaca buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles, dan buku Astronomi, logika dan obat-obatan menurutnya.
 Pendapat yang telah diungkapkannya adalah pendapat yang sangat bertentangan dengan al-Qur’an Surat An-Najm ayat 3-5 tersebut. Dalam ajaran Islam, al-Qur’an adalah Wahyu Ilahi yang merupakan sumber inspirasi yang benar, dapat diterima akal, dipercaya melalui keyakinan, dan sumber pedoman hidup manusia. Siapa yang mengingkari Wahyu berarti ia telah menolak Islam secara keseluruhannya.
 Nabi adalah utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu Ilahi, maka dari itu ”ciri khas seorang Nabi menurut al-Farabi ialah mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan Akal Fa’al dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk Wahyu. Wahyu tidak lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (akal kesepuluh) yang dalam penjelasan al-farabi adalah Jibril. Sementara itu, filosof dapat berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari Akal kesepuluh.”
Pendapat al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara filosof dan Nabi ada kesamaan. Oleh karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan pengetahuan filsafat, akan tetapi jika hanya mempelajari filsafat semata tanpa mempelajari Wahyu (al-Qur’an) ia akan tersesat, karena antara keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al (Jibril). Begitu pula mengenai mukjizat yang menjadi bukti ke-Nabian, pendapat al-Farabi, mukjizat merupakan sebuah kebenaran dari hukum alam karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari akal Mustafad.
Kalau dilihat dari segi kejiwaan atau imajinasi, Nabi mempunyai potensi untuk berhubungan dengan Akal Fa’al, baik kondisinya dalam keadaan terjaga maupun tertidur. Mukjizat itu tetap diterimanya karena pada hakikatnya Wahyu bukanlah sebuah argumen dari Nabi ataupun karangan sebuah cerita dan kebohongan yang di buat oleh Nabi. Wahyu berisikan firman-firman Allah, datangnya langsung dari Allah, melalui perantara Jibril, dan melalui tabir mimpi. Inilah sebuah potensi para Nabi yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Ada sebagian manusia yang mempunyai imajinasi kuat, tetapi bukan para Nabi, maka mereka tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al, tetapi terkadang mereka mengalaminya ketika tidur, mereka ini di sebut para Auliya. Ada lagi lebih ke bawah yakni, manusia yang awam, maka imajinasinya sangat lemah sekali sehingga tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al, baik waktu tidur ataupun terbangun.
Penjelasan di atas adalah sebagian dari teori ke-Nabian al-Farabi yang telah ia capai dari hasil realitas serta dihubungkan dengan keadaan sosial dan kejiwaan. Menurutnya, Nabi dan filosof adalah dua sosok pribadi shaleh yang akan memimpin sebuah kehidupan masyarakat di sebuah Negeri, karena keduanya dapat berhubungan dengan Akal Fa’al yang menjadi sumber syari’at dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan Negeri. Perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah, jikalau Nabi meraih hubungan dengan Akal Fa’al melalui imajinasinya, sedangkan filosof melalui jalur studi dan analisa kejiwaan.
Dalam sebuah analisa al-Farabi, ada sebuah kritik yang dikemukakan A. Hanafi, yang termuat dalam buku Filsafat Islam, yakni: pertama, teori al-Farabi telah menempatkan Nabi di bawah filosof karena pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran lebih tinggi dari pada yang diperoleh melalui imajinasinya. Akan tetapi nampaknya al-Farabi tidak menganggap penting terhadap perbedaan tersebut, sebab selama sumbernya sama, yaitu Akal Fa’al, dan nilai keluarnya juga sama, maka tentang cara memperolehnya tidak menjadi sebuah persoalan. Dengan perkataan lain,  nilai suatu kebenaran tidak bergantung pada cara memperolehnya, melainkan keppada sumbernya. Selain itu dalam bukunya tersebut ia mengatakan; seorang Nabi dapat naik ke alam atas melalui pikiran, karena ada pikiran ada kekuatan suci yang memungkinkannya naik ke alam cahaya, tempat menerima perintah-perintah Tuhan. Jadi, Nabi memperoleh Wahyu bukan hanya melalui imajinasinya saja, tetapi melalui kekuatan pikirannya yang besar.
Kedua, apabila seoarang Nabi dapat berhubungan dengan Akal Fa’al melalui pemikiran dan renungan, maka artinya ke-Nabian menjadi semacam ilmu pengetahuan yang bisa dicapai oleh setiap orang, atau menjadi perkara yang bisa dicari (muktasab), sedangkan menurut Ahlusunnah, ke-Nabian bukanlah sifat-sifat (keadaan) yang berasal dari diri Nabi, bukan pula tingkatan yang bis a dicapai seseorang melalui ilmu dan usahanya, juga bukanlah kesediaan psikologis yang memungkinkan dapat berhubungan dengan alam rohani, melainkan suatu kasih sayang yang diberikan oleh Tuhan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Akan tetapi sekiranya perlu dicatat bahwa al-Farabi berkata; filsafat itu tidak mudah diperoleh, sebab setiap orang bi sa berfilsafat, akan tetapi yang bisa mencapai filsafat yang sebenarnya hanyalah sedikit saja. Al-Farabi juga menetapkan bahwa seorang Nabi mempunyai imajinasi yang luar biasa atau kekuatan rahasia tertentu. Boleh jadi menurut pendapatnya, imajinasi dan kekuatan tersebut bersifat Fitrah (mempunyai potensi dari sejak lahir), bukan yang bisa dicari, meskipun ia tidak jelas-jelas mengatakan demikian.
Ketiga, kalau sekiranya al-Farabi dapat terlepas dari kedua kritik tersebut di atas, maka sukarlah ia terlepas dari kritik ketiga, yaitu bahwa tafsiran psikologis terhadap Wahyu banyak berlawanan dengan nas-nas agama, di mana Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk manusia biasa kadang terdengar oleh Nabi seperti bunyi lonceng.
Inilah teori ke-Nabian yang telah dicapainya, kemudian ia hubungkan dengan persoalan-persoalan sosial dan kejiwaan. Akhirnya ia membuat sebuah kesimpulan bahwa Nabi adalah seorang yang mempunyai pribadi shaleh dan mempunyai jiwa untuk memimpin sebuah negeri.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Al-Farabi, nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ibn Muhammad Ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij, distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar/Transoxiana) sejak kecil sudah terlihat bakat kecerdasan dalam dirinya, kemudian beliau menimba ilmu di negeri bagdad hingga ia menjadi tokoh filosofis islam. Banyak karya yang telah dicetuskan diantaranya Al-Jam’ bain Ra’yai al-Hakimain, Tahshil al-Sa’adat, Maqalat fi Aghradh ma ba’d al-Tabi’at, dll.
Al-Farabi berkeyakinan bahwa aliran filsafat yang bermacam-macam itu hakikatnya adalah hanya satu, yaitu sama-sama mencari kebenaran, sedangkan kebenaran hanya satu macam dan serupa pada hakikatnya. Justru itu semua aliran filsafat pada prinsipnya tidak ada perbedaan.







DAFTAR PUSTAKA
Hasyimsah, Nasution. Filsafat Islam. Cet. Ke-3. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002
Poerwantana, dk. Seluk beluk Filsafat Islam. Cet. Ke-1. Bandung: Rosdakarya. 1988
Natsir, Arsyad. Ilmuwan Muslim, Bandung: Mizan, 1989
Khudori, Soleh. Integrasi Agama dan Filsafat. Malang: UIN Maliki Press. 2010
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Rajawali Press. 2012



[1]  Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 32
[2]  Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, Cet. Ke-1, (Bandung: Rosdakarya, 1988), hlm.133
[3] M. Natsir Arsyad, Ilmuwan Muslim, (Bandung: Mizan, 1989), hlm 98
[4] Prof, Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, Filsafat Islam, (Jakarta, Rajawali Press, 2012), hlm 67
[5] Ibid, hlm 68
[6] Dr. A. Khudori Soleh, M. Ag, Integrasi Agama dan Filsafat, (Malang, UIN Maliki Press, 2010), hlm 57
[7] Prof, Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, Filsafat Islam, (Jakarta, Rajawali Press, 2012), hlm 74
[8] Dr. A. Khudori Soleh, M. Ag, Integrasi Agama dan Filsafat, (Malang, UIN Maliki Press, 2010), hlm 58

0 komentar:

Posting Komentar