Para Rasul Pun Jadi Sasaran Dusta


Jika stamina spiritual bangsa ini tidak tahan banting menghadapi gempuran korupsi yang dahsyat dan kultur dusta liar tanpa kendali, rasanya masa depan kita sudah sangat gelap.

Imbauan moral berkali-kali dari tokoh-tokoh agama agar kita tidak terus berkubang dalam dosa dan dusta seperti tidak ada efeknya untuk perbaikan. Suara mereka dianggap tidak lebih dari angin lalu, tanpa kesan sama sekali.

Sebagai salah seorang yang aktif terlibat dalam gerakan moral lintas agama itu, terus terang saya tidak jarang merasa lelah, bahkan nyaris patah harapan, apakah gerakan serupa itu masih ada manfaatnya untuk diteruskan. Beban ini terasa semakin berat karena Indonesia selalu dikategorikan sebagai bangsa Muslim terbesar di muka bumi.

Pertanyaannya: mengapa kondisi moral bangsa ini demikian buruk dan busuk? Tetapi kemudian saya sadar bahwa kerja menegakkan kebenaran, kebersihan, dan kejujuran tidak pernah mengenal batas waktu. Sekalipun dilecehkan dan didustakan oleh berbagai pihak, stamina spiritual kita tidak boleh kendor, apalagi putus asa. Sepanjang sejarah peradaban umat manusia, upaya mulia itu pastilah sulit dan berat, tidak pernah berjalan mulus, apalagi di tengah kultur pragmatisme-hedonistik yang dipuja dan dirayakan banyak pihak. Jika kita kadang merasa sebagai orang terasing dan kesepian, jangan sampai larut dalam suasana semacam itu.

Bacalah Kita Suci, bacalah kisah para rasul yang didustakan oleh kaumnya yang tenggelam dalam suasana kekinian dan kedisinian, tanpa hirau akan sebuah kehidupan jauh di seberang sana, saat manusia harus mempertanggungjawabkan seluruh karier hidupnya di depan Zat Maha Pencipta. Setiap orang akan berhadapan langsung denganNya, tanpa ada kekuatan yang dapat membela, kecuali iman dan amal salih semata. Mengajak manusia ke jalan lurus ini selalu meminta pengorbanan. Demikianlah Alquran dalam dua surat Makkiyah mengisahkan perjuangan para rasul agar kaumnya mau beriman, membela kebenaran, kebersihan, dan kejujuran, tanpa henti, sekalipun kadang-kadang mereka sudah berada di ambang batas kehilangan asa. Kita kutip: “Sehingga apabila para rasul telah kehabisan asa, dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada mereka [para rasul] itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang yang Kami kehendaki. Dan siksa Kami tidak dapat ditolak dari para pendosa.” (S. YĆ»suf: 110).

Dengan redaksi yang berbeda, tetapi substansinya sama, terbaca dalam kutipan berikut ini: “Sesungguhnya para rasul sebelum engkau [Muhammad] pun telah didustakan, tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan [yang dilakukan] terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. Dan tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat [ketentuan] Allah. Dan sungguh telah sampai kepada engkau sebagian dari berita para rasul itu.” (S. Al-An'am: 34).

Di antara nama para rasul itu, tersebutlah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad. Semuanya didustakan dan dianiaya oleh kaumnya, tetapi sekalipun lelah, asa mereka tidak pernah padam, sehingga pertolongan Allah pada akhirnya datang kepada mereka sebagai bukti bahwa kebenaran dan kejujuran tidak mungkin dikalahkan oleh kekuatan siapa pun dan apa pun. Kisah-kisah serupa ini dapat diikuti dalam hampir semua kitab keagamaan sebagai cermin agar siapa pun yang telah memilih jalan kebenaran dan kejujuran tidak boleh berhenti di tengah jalan, betapa pun terjal, panjang, dan berkeloknya jalan itu.


Untuk Indonesia yang sedang berada dalam ancaman serius korupsi, dusta, dan dosa, tidak punya pilihan lain, kecuali agar tetap saja bergerak, berjuang, dan berjibaku, sampai penyakit-penyakit sosial yang kumuh dan merusak itu berhasil dihalau sampai ke batas-batas yang sangat jauh. Jangankan kita sebagai manusia biasa, para rasul pun yang diberi wahyu sering berada di simpang jalan, terus atau berhenti. Pilihan mereka: terus tanpa surut sedikit pun!

Ahmad Syafi'i Ma'arif
Selasa, 11 Desember 2012, 06:47 WIB

0 komentar:

Posting Komentar