KEBANGKITAN ISLAM ERA MODERN
Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas Sejarah Kebudayaan Islam
Dosen Pengampu : Siti
Johariyah
Disusun oleh :
Ahmad Rifai (11470085)
JURUSAN
KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN
SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Periode modern dapat dikatakan sebagai masa kemajuan
dunia Barat. Mereka telah menemukan berbagai penemuan-penemuan yang canggih
yang diterapkan dalam kebutuhan mereka, sehingga mereka dapat menemukan
kehidupan yang efektif dan efisien. Seperti menulis menggunakan kertas yang
dibarengi dengan penemuan mesin cetak, lebih efisien dari pada menggunakan kayu
atau kulit yang diterapkan oleh umat islam. kemudian dalam bidang pabrik mereka
telah maju dengan dikeluarkannya mesin uap, telegrap, kereta api yang efektif
umtuk melakukan perdagangan, sedangkan umat islam belum dapat membuatnya.
Malahan masih berselisih pada kekuasaan, bagaimana mempertahankan dan
menyebarkan kekuasaanya, dsb.
Dari kemajuan-kemajuan
Eropa tersebut, mereka mencoba melakukan ekspedisi ke wilayah timur. Dimulai
dari Napoleon berekspedisi ke Mesir, kemudian mengakar bangsa Belanda menguasai
Asia Tenggara, Rusia di Asia Tengah, sedangkan Inggris menggengam India dan
Afrika. Sehingga dapat dikatakan hampir semua wilayah islam dikuasai oleh kolonial
Barat.
Dari belenggu permasalah tersebut, jelas sekali perlu
adanya suatu kebangkitan dalam diri umat Islam dan kembali menguasai dunia.
Kebangkitan-kenagkitan Islam diwarnai dengan kemerdekaan negara-negara Islam,
munculnya para tokoh-tokoh pemikir pembaharuan Islam, dan lain sebagainya yang
akan dibahas dalam pembahasan makalah..
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Agresi kolonial Barat terhadap Islam?
2.
Bagaimana
pemikiran islam modern (menyikapi kolonial Barat)?
3.
Apa factor
kebangkitan umat Islam?
4. Apa usaha
yang dilakukan untuk mencapai kemerdekaan dari bangsa barat?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Agresi Kolonial Barat
Masa ini
dimulai pada awal abad kesembilanbelas ketika Eropa mendominasi dunia. Dalam
abad ke 19 dan 20, didorong oleh kebutuhan ekonomi industri terhadap
bahan-bahan buku dan pemasarannya, dan juga oleh kompetisi politik dan ekonomi
satu sama lain, negara eropa menegakkan kerajaan teritorial dunia. Belanda
menjajah Indonesia, Rusia mengambil Asia Dalam, Inggris mengkonsolidasi
kerajaan mereka di India dan Afrika, dan mengontrol sebagian Timur Tengah,
Afrika Timur, Nigeria, dan Sebagian Afrika Barat. Pada permulaan abad ke-20
kekuatan Eropa hampir menguasai seluruh dunia Islam.[1]
Dengan
didukung oleh pertumbuhan produksi pabrik dalam skala dan perubahan yang besar
serta dengan metode komuniksi ditandai dengan ditemukannya kapal uap, kereta
api, dan telegrap, Eropa telah siap untuk melakukan ekspansi perdagangan.
Kesemuanya ini diiringi dengan peningkatan kekuatan angkatan bersenjata dari
negara-negara besar Eropa. Akibatnya Aljazair menjadi negara Arab pertama yang
ditaklukkan oleh Perancis (1830-1847 M). Negeri-negeri Islam dan masyarakatnya pada
waktu itu tidak lagi hidup dalam keadaan stabil serta tidak mapan sistem
kebudayaannya, sehingga keperluan mereka yang mendesak adalah bagaimana
menggerakan kekauatan agar selamat dari dominasi bangsa lain. Kerajaan
Utsmaniyah misalnya, harus mengadopsi metode-metode baru dalam pengorganisasian
militer, administrasi dan kode-kode hukum pola Eropa, dan begitu juga yang
dilakukan oleh dua penguasa otonomi dari propinsi kerajaan tersebut, Mesir dan
Tunisia.[2]
Di berbagai
ibukota dari pemerintahan yang melakukan reformasi ini, serta di berbagai
pelabuhan yang tumbuh sebagai akibat dari ekspansi perdagangan Eropa, aliansi
baru dari pihak-pihak yang berkepentingan dibentuk antara pemerintahan dan para
pedagang asing dan juga terjadi perdagangan Eropa oleh tuan-tuan tanah dan para
pedagang lokal. Namun, itu merupakan yang tidak seimbang, ditambah lagi dengan
jatuhnya Mesir dan Tunisia dibawah kontrol Eropa kemudian diakui oleh Maroko
dan Libya. Kerajaan Utsmaniyah juga kehilangan hampir seluruh propinsi yang ada
di Eropa, dan menjadi negeri yang lebih mirip dengan Turki Arab.
Sementara
agama dan kebudayaan hukum Islam terus dipertahankan, pemikiran-pemikiran baru
mulai bermunculan yang mencoba untuk menjelaskan sebab-sebab kekuatan Eropa dan
mengusulkan negeri-negeri Islam agar dapat mengadopsi ide-ide Eropa tanpa
kehilangan identitas dan kepercayaan diri. Sebagian besar dari mereka adalah
para lulusan sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah baru tersebut atau oleh
para misionnaris asing.[3]
B.
Pemikiran
Islam Modern
Berawal dari kegelisahan umat Islam
pada saat itu, yaitu banyaknya muncul penyelewengan-penyelewengan ajaran Islam,
baik di kalangan masyarakat biasa, maupun dalam tingkatan politik dan
pendidikan. Maka diperlukan adanya proses modernisasi maupun pembaharuan baik
di bidang politik, pendidikan dan akidah.
Selain itu,
salah satu sebab perlunya perkembangan modern dalam Islam adalah karena dalam
agama terdapat ajaran-ajaran absolute mutlak benar, kekal tidak berubah dan
tidak bisa diubah. Ajaran-ajaran itu diyakini sebagai dogma dan sebagai
akibatnya timbulllah sikap dogmatis agama. Sikap dogmatis membuat orang
tertutup dan tak bisa menerima pendapat yang bertentangan dengan dogma-dogma
yang dianutnya. Dogmatisme membuat orang bersikap tradisional, emosional dan
tidak rasional.[4]
Pembaharuan
dalam hal apapun, termasuk dalam konteks keagamaan (pemahaman terhadap ajaran
agama) akan terus dan selalu terjadi sebab cara dan pola berpikir manusia serta
kondisi social masyarakat selalu berubah seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan di segala bidang yang akhirnya membuahkan tekhnologi yang semakin
canggih. Lain dari pada itu kemunduran dan stagnasi berpikir umat sebagai buah
dari fanatisme serta adanya "pihak luar" yang ingin merekomendasi dan
menguasai, mendorong sebagian pemikir untuk mengadakan pembaharuan.
Upaya
pembaharuan dalam Islam mempunyai alur yang panjang khususnya sejak bersentuhan
dengan dunia Barat, untuk memahami makna dan hakekat pembaharuan. Dan yang
masih menjadi pertanyaan besar adalah mengapa umat Islam masih tertinggal dari
dunia Barat (setelah dahulu mengalami masa keemasan).
Penjajahan
oleh bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Islam semakin memperjelas ketinggalan
dunia Islam akan segala hal. Bangsa yang pertama kali merasakan ketertinggalan
itu adalah Turki Usmani. Disebabkan karena bangsa ini yang pertama dan yang
utama menghadapi kekuatan Barat.
Pembaharuan yang dilakukan Turki Usmani
diutamakan dalam pranata social, politik, dan militer. Kerja keras para
penguasa dalam upaya memodernisasi kerajaan Turki Usmani membawa dampak yang
baik bagi gerakan modern di Negara-negara Islam lainnya seperti Mesir.
Pada
dasarnya kelemahan dunia Islam itu terletak pada bidang akidah yang sudah
tercemari oleh berbagai khurafat dan bid'ah, juga kelemahan dan
ketertinggalan dalam bidang sains dan tekhnologi. Kemudian kehadiran para tokoh
modernis (pembaharu) itu pada umumnya untuk membangkitkan kesadaran umat Islam.
Ada 3 penggolongan pembaharu dalam
Islam, yang meliputi
1)
Pembaharu dalam bidang akidah,
tokoh-tokohnya adalah Muhammad ibn Abdul Wahhab yang dikenal dengan ajaran
wahhabi-nya, Muhammad Abduh dengan ide-ide pemikiran-nya pembukaan pintu
ijtihad / penghargaan terhadap 'akal' (Rasionalitas), kekuasaan Negara harus
dibatasi oleh konstitusi dalam pengelolaan negara, memodernisasikan sistem
pendidikan Islam di al Azhar.[5]
Kemudian Muhammad Rasyid Ridho dengan ide-ide pembaharuannya adalah:
menumbuhkan sikap aktif dan dinamis di kalangan umat, mengajak untuk
meninggalkan sikap fatalisme (jabariyah), rasionalitas dalam penafsiran al
Qur'an dan Hadis, penguasaan sains dan tekhnologi, pemberantasan khurafat dan
bid'ah, serta pemerintahan yang bersistem khalifah.
2)
Pembaharu dalam bidang Politik,
Tokoh-tokoh didalamnya meliputi Jamaluddin al-Afghani yang mencetuskanide
orisianal darinya, yang dikenal dengan Pan Islamisme, persaudaraan sesame umat
Islam sedunia.[6]
Muhammad Ali Pasha merupakan orang pertama yang membuka jalan pembaharuan di
Mesir, kemudian beberapa tahun diakui sebagai the founder of modern
egypte.
3)
Pembaharu dalam bidang Pendidikan,
tokoh-tokohnya meliputi Al Tahtawi (1801-1873 M). Tujuan dari pendidikan
menurutnya adalah membentuk manusia berkepribadian patriotic dengan istilah hubbul
wathon yaitu mencintai tanah air. Perasaan patriotic itu akan menimbulkan
rasa kebangsaan, persatuan, tunduk dan mematuhi undang-undang, serta bersedia
mengorbankan jiwa dan harta untuk mempertahankan kemerdekaan. Dalam hal agama
dan peranan ulama, al Tahtawi menghendaki agar para ulama selalu mengikuti
perkembangan dunia modern dan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan modern.
C.
Faktor
Kebangkitan Umat Islam
Pada abad
ke-19 dan 20, era modern diwarnai dengan kemerdekaan negara-negara Islam. Dalam
tahun-tahun terakhir ini banyak Negara muslim yang telah merdeka khususnya di
Asia dan Afrika, bersamaan dengan itu muncul pula organisasi-organisasi dan
partai-partai nasional yang mendasarkan bentuk-bentuk pemerintahan pada
prinsip-prinsip syari'at Islam.[7]
Kemerdekaan Negara Islam tentunya
melalui proses yang cukup panjang dalam memperoleh kemerdekaannya kembali, oleh
karena itu adanya faktor-faktor yang mendorong masyarakat di Negara muslim
sangat memungkinkan, di antaranya adalah:
1.
Benturan antara Islam dan kekuatan
Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa mereka memang jauh tertinggal dari
Eropa.[8]
Turki Usmani adalah yang pertama merasakan itu sehingga memaksa penguasa dan
pejuang Turki untuk belajar di Eropa.
2.
Dorongan gagasan dua factor yang
saling mendukung dalam gerakan pembaharuan Is;am, pertama, pemurnian
ajaran Islam dari unsure-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran
Islam. Kedua, gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari
Barat, seperti gerakan Wahabiyah dan Sanusiyah di Saudi Arabia dan Afrika
Utara.
3.
Bangkitnya gagasan Nasionalisme di
dunia Islam yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan
modal umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan Negara nerdeka yang lepas
dari pengaruh Barat.
D.
Usaha yang
Dilakukan untuk Mencapai Kemerdekaan dari Bangsa Barat
Benturan-benturan antara Islam dan kekuatan
Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa, mereka memang jauh tertinggal dari
Eropa. Hal ini dirasakan dan disadari
pertama kali oleh Turki, karena kerajaan inilah yang pertama dan utama dalam
usaha menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan
pejuang-pejuang Turki untuk banyak belajar dari Eropa.
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya didorong oleh
dua faktor, yakni pertama: permurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang
dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam, seperti gerakan Wahabiyah yang
dipelopori oleh Muhammad bin Abd al-Wahhab di Saudi Arabia, Syah Waliyullah di
India dan gerakan Sanusiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Said Muhammad
Sanusi dari Aljazair. Kedua: Menimba gagasan-gagasan pembaruan dan ilmu
pengetahuan dari Barat. Hal ini tercermin dalam pengiriman para pelajar muslim
oleh penguasa Turki dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu
pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke
dalam bahasa mereka. Pelajar-pelajar India juga banyak yang menuntut ilmu ke
Inggris.
Gerakan pembaharuan itu, dengan segera juga memasuki dunia politik, karena
Islam memang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama
kali muncul adalah gagasan Pan-Islamisme (Persatuan umat Islam Sedunia) yang
pada awalnya didengungkan oleh gerakan Wahhabiyah dan Sanusiyah. Namun, gagasan
ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaludin
al-Afghani.[9]
Al-Afghani-lah orang pertama yang menyadari sepenuhnya akan dominasi Barat dan
bahayanya. Oleh karena itu, dia mengabdikan dirinya untuk memperingatkan dunia
Islam akan hal tersebut dan melakukan usaha-usaha untuk pertahanan. Umat Islam
menurutnya, harus meninggalkan perselisihan-perselisihan dan berjuang di bawah
panji bersama. Ia juga berusaha membangkitkan semangat lokal dan nasional
negeri-negeri Islam. Karena itu, al-Afghani dikenal sebagai Bapak Nasionalisme
dalam Islam.
Semangat Pan-Islamisme yang bergelora itu mendorong Sultan Hamid II, untuk
mengundang al-Afghani ke Istanbul. Gagasan ini dengan cepat mendapat sambutan
hangat dari negeri-negeri Islam. Akan tetapi, semangat demokrasi al-Afghani
tersebut menjadi duri bagi kekuasaan sultan, sehingga al-Afghani tidak
diizinkan berbuat banyak di Istanbul. Setelah itu, gagasan Pan-Islamisme dengan
cepat redup, terutama setelah Turki Usmani bersama sekutunya Jerman, kalah
dalam Perang Dunia I dan kekhalifahan dihapuskan oleh Mustafa Kemal, tokoh yang
justru mendukung nasionalisme, rasa kesetiaan kepada negara kebangsaan. Gagasan
nasionalisme yang berasal dari Barat tersebut masuk ke negeri-negeri Islam
melalui persentuhan umat Islam dengan Barat yang menjajah mereka dan dipercepat
oleh banyaknya pelajar Islam yang menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga-lembaga
pendidikan barat yang didirikan di negeri mereka. Gagasan kebangsaan ini pada
mulanya banyak mendapat tantangan dari pemuka-pemuka Islam, karena dipandang
tidak sejalan dengan semangat uóuwaú al-Islamiyaú. Akan tetapi, gagasan ini
berkembang dengan cepat setalah gagasan Pan-Islamisme redup.
Sementara
di Indonesia, partai politik besar yang menentang penajajahan adalah Serikat
Islam (SI), idirikan pada tahun 1912 di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto.
Partai ini merupakan kelanjutan dari Serikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan
oleh H. Samanhudi pada tahun 1911. Tidak lama kemudian, partai-partai politik
lainnya berdiri seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Pendidikan Nasional
(PNI-Baru), Persatuan Muslim Indonesia (PERMI).[10]
Di Mesir, benih-benih nasionalisme tumbuh sejak masa al-Tahtawi dan
Jamludin al-Afghani. Tokoh pergerakan terkenal yang memperjuangkan gagasan ini
adalah Ahmad Urabi Pasha. Gagasan tersebut menyebar dan mendapat sambutan
hangat, sehingga nasionalisme tersebut terbentuk atas dasar kesamaan bahasa.
Hal itu terjadi di Mesir, Syiria, libanon, Palestina, Irak, Bahrain, dan
Kuwait. Semangat persatuan Arab tersebut diperkuat pula oleh usaha barat untuk
mendirikan negara Yahudi di tengah-tengah bangsa Arab.
Di India, sebagaimana di Turki dan Mesir, gagasan Pan-Islamisme yang
dikenal dengan gerakan óilafaú juga mendapat pengikut. Syed Amir Ali adalah
salah seorang pelopornya. Namun, gerakan ini pudar setelah usaha menghidupkan
kembali khilafah yang dihapuskan Mustafa Kemal tidak memungkinkan lagi. Yang
populer adalah gerakan nasionalisme, yang diwakili oleh Partai Kongres Nasional
India. Akan tetapi, gagasan nasionalisme itu segera pula ditinggalkan sebagian
besar tokoh-tokoh Islam, karena kaum muslim yang minoritas tertekan oleh
kelompok Hindu yang mayoritas. Persatuan antar kedua komunitas besar Hindu dan
Islam sulit diwujudkan. Oleh karena itu, umat Islam di anak benua India tidak
lagi semangat menganut nasionalisme, tetapi Islamisme, yang dalam masyarakat
India dikenal dengan nama komunalisme. Gagasan Komunalisme Islam disuarakan
oleh Liga Muslimin yang merupakan saingan bagi Partai Kongres Nasional.
Benih-benih gagasan Islamisme tersebut sebenarnya sudah ada sebelum Liga
Muslimin berdiri, yang disuarakan oleh Sayyid Ahmad Khan, kemudian mengkristal
pada masa Sir Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah.
E.
Kemerdekaan
Negara-Negara Islam dari Penjajahan Barat
Munculnya gagasan
nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan
modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka.
Dalam kenyataannya, partai-partai itulah yang berjuang melepaskan diri dari
kekuasaan penjajah. Perjuangan tersebut terwujud dalam beberapa bentuk kegiatan
antara lain:
1. Gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun
perjuangan bersenjata.
2. Pendidikan dan propaganda dalam rangka mempersiapkan
masyarakat menyambut dan mengisi kemerdekaan.
Negara
berpenduduk mayoritas Muslim yang pertama kali memproklamasikan kemerdekaannya
adalah Indonesia, yaitu tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia merdeka dari
pendudukan Jepang setelah Jepang dikalahkan oleh Sekutu. Disusul oleh Pakistan
tanggal 15 Agustus 1947, ketika Inggris menyerahkan kedaulatannya di India
kepada dua Dewan Konstitusi, satu untuk India dan satunya untuk Pakistan. Tahun 1922, Timur Tengah (Mesir) memperoleh
kemerdekaan dari Inggris, namun pada tanggal 23 Juli 1952, Mesir menganggap
dirinya benar-benar merdeka. Pada tahun 1951 di Afrika, tepatnya Luybia
merdeka, Sudan dan Maroko tahun 1956, Aljazair tahun 1962. Semuanya membebaskan
diri dari Prancis. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Yaman Utara, Yaman
selatan dan Uni Emirat Arab memperoleh kemerdekaannya pula. Di Asia tenggara,
Malaysia, yang saat itu termasuk Singapura mendapat kemerdekaan dari Inggris
tahun 1957, dan Brunai Darussalam tahun 1984 M.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masa ini dimulai pada awal abad kesembilanbelas ketika
Eropa mendominasi dunia. Dalam abad ke 19 dan 20, didorong oleh kebutuhan
ekonomi industri terhadap bahan-bahan buku dan pemasarannya, dan juga oleh
kompetisi politik dan ekonomi satu sama lain, negara eropa menegakkan kerajaan
teritorial dunia. Belanda menjajah Indonesia, Rusia mengambil Asia Dalam,
Inggris mengkonsolidasi kerajaan mereka di India dan Afrika, dan mengontrol
sebagian Timur Tengah, Afrika Timur, Nigeria, dan Sebagian Afrika Barat. Pada
permulaan abad ke-20 kekuatan Eropa hampir menguasai seluruh dunia Islam.
Begitu cepat kemajuan Bangsa Eropa, tentunya Islam
tidak tinggal diam ketika wilayah mereka dikuasai bangsa barat. Dari situ
muncullah tokoh pembaharuan Islam. Berbagai bidang masih mewarnai pemikiran
tokoh ini, diantaranya; bidang Akidah diprakarasai Muhammad ibn Abdul Wahhab
disusul oleh Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridho. Pembaharuan
lainnya disusul dari berbagai macam bidang. Baik itu politik, pendidikan.
Pembaharuan tersebut dipelopori oleh beberapa tokoh.. Semisal bidang politik
dipelopori oleh Muhammad Ali Pasya. Bidang Pendidikan, pelopornya al Tahtawi.
Dari situ muncullah pergerakan-pergerakan dalam dunia
Islam untuk membebaskan diri dari kolonial barat. Berbagai upaya dilakukan
untuk mensukseskan misinya. Dari pembentukan pan-Islamisme sampai pada
pergerakan organisasi-organisasi Islam kecil dalam suatu negara, mereka
melakukan pembebasan diri dari kolonial barat. Sampai akhirnya satu per satu
negara Islam memerdekakan diri dari bangsa Barat. Seperti Indonesia, kemudian
Pakistan, dsb.
DAFTAR
PUSTAKA
Karim,
Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher. 2007
Karim,
Abdul. Islam Nusantara. Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher. 2007
Nasution,
Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press. 1979
UIN, Pokja. Sejarah
Kebudayaan Islam. Yogyakarta : Pokja Akademik UIN-Suka. 2005
Yatim.,
Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003
Yusron, Asmuni.
Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada. 1995
Zainal Abidin, Ahmad. Sejarah Islam dan Umatnya
Sampai Sekarang: Perkembangannya dari Zaman ke Zaman. Jakarta:
Bulan Bintang. 1979
[1] Ira M.
Lapidus, A History of Islamic Societies. (Cambridge: Cambirdge Univerity
Press, 1988), hlm. 551
[2] Albert
Houroni, A History of the Arab People, (Massachusset: Belkap Press of
Harvard University, 1991), hlm. 263
[3] Pokja
Akademik, Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta, Pokja UIN, 2005), hlm.
182
[7] Salim Azzam,
Beberapa Pandangan Tentang Pembentukan Negara Islam, (Bandung: Mizan,
1990) cet. II, hlm. 45
[8] Riaz Hasan, Islam
dari Konservatisme sampai Fundamentalisme (Jakarta: Rajawali Press, 1985)
hlm. 185
[9]William I.
Cleveland, Islam Menghadapi Barat, Riwayat Syakib Arsalan dan Seruan
Nasionalisme Islam, penerjemah: Ahmad Niamullah Muiz, (jakarta: Pustaka
Firdaus, 1991), hlm. 92
[10] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,
(Yogyakarta, Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 358
0 komentar:
Posting Komentar