Pada suatu hari bulan November 2006 datanglah sebuah pesan
singkat dari seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di Poso menanyakan
tentang maksud ayat 62 surat al-Baqarah. Kata jenderal ini pengertian ayat ini
penting baginya untuk menghadapi beberapa tersangka kerusuhan yang ditangkap di
sana. Karena permintaan itu serius, maka saya tidak boleh asal menjawab saja,
apalagi ini menyangkut masalah besar yang di kalangan para mufasir sendiri
belum ada kesepakatan tentang maksud ayat itu. Ayat yang substansinya serupa
dapat pula ditemui dalam surat al-Maidah ayat 69 dengan sedikit perdedaan
redaksi. Beberapa tafsir saya buka, di antaranya Tafsir al-Azhar karya Hamka
yang monumental itu.
Sebenarnya saya cenderung untuk menerima penafsiran Buya
Hamka dari sekian tafsir yang pernah saya baca, baik yang klasik maupun yang
kontemporer. Dalam perkara ini Hamka bagi saya adalah fenomenal dan
revolusioner. Agar lebih runtut, saya kutip dulu makna kedua ayat itu menurut
tafsir Hamka.
Al-Baqarah 62:
“Sesungguhnya orang-orang beriman, dan orang-orang yang jadi Yahudi dan
Nasrani dan Shabi’in, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian
dan beramal yang shalih, maka untuk mereka adalah ganjaran dari sisi Tuhan
mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan
berdukacita.”
Kemudian al-Maidah
69: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang Yahudi
dan (begitu juga) orang Shabi’un, dan Nashara, barangsipa yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhirat, dan dia pun mengamalkan yang shalih. Maka tidaklah ada
ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita.”
Ikuti penafsiran
Hamka berikut: “Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh
manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merk apa yang
diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat
ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang
telah mereka kerjakan itu. ‘Dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah
mereka akan berdukacita (ujung ayat 62), hlm.211.
Yang menarik, Hamka
dengan santun menolak bahwa ayat itu telah dihapuskan (mansukh) oleh ayat 85
surat surat Ali ‘Imran yang artinya: “Dan barangsiapa yang mencari
selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya.
Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi.” (Hlm. 217). Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak
menghapuskan ayat 62 itu sebagai berikut: “Ayat ini bukanlah menghapuskan
(nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat
Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah,
artinya percaya kepada segala firmannya, segala Rasulnya dengan tidak
terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu
diikuti oleh amal yang shalih.” (Hlm 217).
“Kalau dikatakan bahwa ayat ini dinasikhkan oleh ayat 85
surat Ali ‘Imran itu, yang akan tumbuh ialah fanatik; mengakui diri Islam,
walaupun tidak pernah mengamalkannya. Dan surga itu hanya dijamin untuk kita
saja. Tetapi kalau kita pahamkan bahwa di antara kedua ayat ini adalah lengkap
melengkapi, maka pintu dakwah senantiasa terbuka, dan kedudukan Islam tetap
menjadi agama fitrah, tetap (tertulis tetapi) dalam kemurniannya, sesuai dengan
jiwa asli manusia.” (Hlm. 217).
Tentang neraka, Hamka
bertutur: “Dan neraka bukanlah lobang-lobang api yang disediakan di
dunia ini bagi siapa yang tidak mau masuk Islam, sebagaimana yang disediakan
oleh Dzi Nuwas Raja Yahudi di Yaman Selatan, yang memaksa penduduk Najran
memeluk agama Yahudi, padahal mereka telah memegang agama Tauhid. Neraka adalah
ancaman di Hari Akhirat esok, karena menolak kebenaran.” (Hlm. 218).
Sikap Hamka yang
menolak bahwa ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Maidah telah dimansukhkan oleh
ayat 85 surat Ali ‘Imran adalah sebuah keberanian seorang mufasir yang rindu
melihat dunia ini aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau
tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing.
Sepengetahuan saya tidak ada Kitab
Suci di muka bumi ini yang memiliki ayat toleransi seperti yang diajarkan
Alquran. Pemaksaan dalam agama adalah sikap yang anti Alquran (Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghu] dan
beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (al-Baqarah;
256); Dan
jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya ?(Yunus; 99)).
Terima kasih Buya Hamka, tafsir lain banyak yang sependirian
dengan Buya, tetapi keterangannya tidak seluas dan seberani yang Buya berikan.
Saya berharap agar siapa pun akan menghormati otoritas Buya Hamka, sekalipun
tidak sependirian.
Republika, edisi 21 November 2006
0 komentar:
Posting Komentar