A Mustofa Bisri
Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar
Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah
KOMPAS, 25 Oktober 2012
Akhirnya, setelah
sekian lama mendambakan dan tak kunjung mempunyai anak, permohonan Nabi Ibrahim
agar dianugerahi anak dikabulkan oleh Tuhannya.
Allah menganugerahinya seorang anak yang sabar. Ketika si anak sudah cukup dewasa untuk
membantu ayahnya bekerja, tiba-tiba sang ayah memberitahukan bahwa ada isyarat
Tuhan untuk menyembelih si anak. ”Bagaimana pendapatmu?” kata sang ayah.
Dengan tenang, si anak menjawab, ”Ayahku,
laksanakan saja apa yang diperintahkan kepada ayah. Insya Allah ayah akan
mendapatkan anakmu ini tabah.”
Ketika bapak-anak itu bertekad bulat berserah diri
sepenuhnya untuk melaksanakan perintah Allah dan Nabi Ibrahim telah merebahkan
anak kesayangannya itu di atas pelipisnya, ketika itu pula keduanya membuktikan
kepatuhan dan kebaktian mereka. Dan,
Allah pun mengganti si anak dengan kurban sembelihan berupa kambing yang besar.
Meskipun ritual kurban (dengan ”u”) konon sudah
dilakukan sejak putra-putra Nabi Adam, Habil dan Qabil, peristiwa yang
dituturkan dalam kitab suci Al Quran itulah yang jadi dasar persyaratan kurban
setiap Idul Adha (Hari Raya Kurban).
Nabi Ibrahim rela mengorbankan putranya dan putranya
ikhlas dijadikan kurban demi Tuhan mereka. Bagi Nabi Ibrahim dan putranya,
Tuhan adalah nomor satu. Allah adalah segalanya. Siapa pun dan apa pun tidak
ada artinya di hadapan-Nya. Demi dan untuk-Nya, apa pun ikhlas mereka
korbankan; sampai pun anak atau nyawa sendiri.
Inti Berkurban
Jadi, inti makna
kurban di Hari Raya Kurban memang berkorban. Namun, lihatlah, bahkan untuk
sekadar mengorbankan hewan, banyak orang mampu yang masih ”menawar-nawar” atau
menitipkan kepentingan sendiri sebagai ”kompensasi”.
Apakah mereka ini
mengira bahwa kurban (daging ternak) itu benar yang ”dituntut” Tuhan sebagai
bukti kecintaan dan kebaktian? Tidak. Sama sekali bukan
daging-daging dan darah-darah hewan itu yang mencapai Allah, melainkan
ketakwaan. Pengorbanan. ”Tidaklah
darah dan daging hewan kurban itu sampai kepada Allah, tetapi ketakwaanmu yang
sampai kepada-Nya” (Al Quran 22:37).
Pengorbanan tidak
hanya menyembelih kurban. Pengorbanan adalah atau mestinya merupakan pantulan
dari kecintaan dan kebaktian itu. Dari pengorbanan, bisa diukur seberapa dalam kecintaan dan seberapa
agung kebaktian seseorang.
Kita bisa saja mengaku cinta atau mengabdi kepada pujaan
kita. Kita bisa saja menyatakan hal yang mulia demi Tuhan, demi tanah air, demi
rakyat, demi siapa atau apa pun yang kita cintai. Namun, tanpa kesediaan kita
berkorban untuknya, pernyataan itu tidak ada artinya.
Bahkan, jika kita menawar-nawar di dalam pengorbanan
kita, kata ”demi”-”demi” itu hanyalah omong kosong belaka. Dalam pengorbanan,
tak ada perhitungan untung-rugi atau tuntutan kompensasi apa pun. Dalam
pengorbanan hanya ada ketulusan.
Hamba yang sungguh mencintai dan mengabdi kepada Allah,
seperti Nabi Ibrahim dan putranya, akan siap dan rela berkorban apa pun, yang
paling berharga atau yang remeh, termasuk ego dan kepentingan sendiri—bagi dan
demi Tuhannya. Demi melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, hamba yang
sungguh mencintai dan mengabdi Tuhannya siap dan rela mengalahkan egonya dan
mengesampingkan kepentingan sendiri.
Apabila Tuhan, misalnya, melarang perbuatan merusak,
hamba yang sungguh mencintai dan mengabdi Tuhannya akan menghindari perbuatan merusak
meski bertentangan dengan kehendak-Nya. Dia, misalnya, tak akan melakukan
perbuatan korupsi, tidak melakukan tindakan teror, tidak berurusan dengan
narkoba, dan tindakan merusak lainnya, meski dirinya merasa berkepentingan
untuk melakukan hal itu.
Pemimpin Berkorban
Warga negara yang
sungguh mencintai dan mengabdi tanah airnya akan dengan sendirinya siap dan
rela berkorban apa saja bagi dan demi tanah airnya, meski tidak pernah
menyatakannya. Sebaliknya,
mereka yang sering menyatakan cinta tanah air, tetapi tidak sudi mengorbankan
sedikit waktu dan pikiran untuk kepentingan tanah airnya, jelas mereka
pembohong besar.
Pemimpin yang selalu menyatakan diri sebagai abdi
rakyat, tetapi tidak pernah rela berkorban meski sekadar waktu dan perhatian
untuk rakyat, bahkan lebih sering mengorbankan rakyat, cepat atau lambat pasti
akan ketahuan palsunya dan rakyat akan mencampakkannya.
Akhirnya, Idul Adha
atau Hari Raya Kurban juga sering disebut Lebaran Haji.
Pada saat itu memang kaum Muslimin yang mampu sedang melaksanakan ibadah haji
di Tanah Suci.
Satu-satunya ibadah dan rukun Islam yang di negeri ini
ditangani secara ”serius” oleh pemerintah. Ibadah ini pun memerlukan
pengorbanan yang tidak kecil. Masih di Tanah Air, jemaah calon haji sudah harus
mengorbankan waktu, harta, tenaga, pikiran, dan sering kali juga perasaan.
Dalam ritual haji,
kaum Muslimin diingatkan dengan peragaan diri tentang kehambaan, kesetaraan,
dan kefanaan manusia; bahkan tentang hari kemudian. Dengan demikian, jika itu semua dihayati,
akan atau semestinya dapat mengubah sikap dan perilaku mereka. Konon
salah satu tanda haji mabrur, yang pahalanya tiada lain: surga, ialah perubahan
sikap perilaku.
Yang sebelum haji malas beribadah, misalnya, sesudahnya
menjadi rajin. Sebelumnya sangar, sesudahnya santun. Sebelumnya korup,
sesudahnya jujur. Demikian seterusnya. Bukan yang sebelum dan sesudah haji
tetap saja sikap perilakunya atau malahan lebih buruk lagi.
Wallahualam. Selamat Hari Raya Kurban, Selamat Lebaran
Haji!
0 komentar:
Posting Komentar