BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadis menurut bahasa berarti sesuatu yang baru (
(الجَدِيدُyang menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat.
Selain itu hadis juga dapat berarti Berita ((الخبر
yakni sesuatu yang dibicarakan, di perbincangkan dari satu orang ke orang yang
lain. ! Sedangkan menurut istilah hadis menurut muhadditsun menunjuk kepada
“makna atau sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik berupa
perkataan, perilaku, persetujuan beliau akan tindakan sahabat atau deskripsi
tentang karakter dan sifatnya.” Sifat yang dimaksud di sini menunjuk kepada
penampilan fisikal Beliau.
Keberadaan hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an
memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari zaman
nabi, sahabat, tabi’in, hingga pembukuan hadis setelah abad ke-2 Hijriyah. Perkembangan
Hadis dari masa awal lebih memfokuskan pada lisan, hal ini karena pada waktu
itu Rosulullah khawatir akan tercampurnya antara Nash Al-Qur’an dengan Hadis.
selain itu juga disebabkan karena Rosulullah lebih memfokuskan pada penulisan
Al-Qur’an oleh para Sahabat. Periodisasi Pembukuan Hadis secara resmi baru
dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu
kodifikasi hadis?
2.
Mengapa kodifikasi
hadis perlu dilakukan?
3.
Bagaimana sejarah
perkembangan kodifikasi hadis?
4.
Apa saja
kitab-kitab hadis yang terkenal hasil kodifikasinya?
C.
Tujuan
Adapun tujuan kami menyusun makalah ini, adalah:
1.
Mengetahui apa
kodifikasian hadis dan tujuannya;
2.
Mengetahui
proses perkembangan kodifikasi hadis (sejarah);
3.
Mengetahui hasil
dari proses kodifikasi hadis (kitab-kitab).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kodifikasi berasal dari bahasa Arab yang dikenal dengan istilah
Tadwîn. Yakni: pencatatan, penulisan atau pembukuan.1 Sedangkan
kodifikasi hadis sendiri merupakan sebuah proses pencatatan atau pembukuan hadis
Nabi Muhammad SAW.
Tadwin Al-Hadis atau kodifikasi Al-Hadis merupakan suatu kegiatan
pengumpulan Al-Hadis dan penulisannya secara besar-besaran yang secara resmi
disponsori atau diperintahkan oleh pemerintah (khalifah). Sedangkan penulisan hadis
sendiri secara tidak resmi sebenarnya sudah di lakukan sejak pada masa
Rasulullah SAW, saat beliau masih hidup.2
B.
Tujuan
Kodifikasi Hadis
Proses
kodifikasi hadis, Pada awalnya dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Khalifah Umar
bin Abdil Aziz terhadap berbagai persoalan di masa pemerintahannya.
Kekhawatiran tersebut didasarkan pada tiga hal, yaitu:
1.
Hilangnya hadis-hadis
dikarenakan meninggalnya para ulama yang mengerti atau hafal hadis di medan
perang;
2.
Bercampurnya
antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis yang palsu;
3.
Meluasnya
daerah kekuasaan islam.
Atau lebih singkatnya, tujuan dari kodifikasi hadis adalah untuk
untuk menyelamat-kan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw dari kepunahan dan
penyelewengan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.3
C.
Sejarah
Kodifikasi Hadis
Dalam sejarah kodifikasi hadis, sejarahnya dapat dibagi menjadi dua
bab. Yakni:
1.
Sejarah Hadis
Pra-Kodifikasi, dan
2.
Sejarah dan
Perkembangan Kodifikasi Hadis.4
1.
Sejarah Hadis
Pra-Kodifikasi
a.
Hadis Pada
Periode Rasul
Selama nabi masih hidup, beliaulah yang menjadi pembimbing agama
dan politik satu-satunya bagi kaum muslimin, baik melalui wahyu Al-Qur’an
maupun dengan ucapan-ucapan beliau sendiri di luar Al-Qur’an, termasuk juga
melalui tingkah laku beliau. Paling tidak, ada tiga alasan mengapa nabi
ditempatkan sebagai seorang pembimbing agama satu-satunya, yakni:
1)
Sebagai seorang
utusan Allah yang harus ditaati;
2)
Nabi merupakan
teladan yang baik bagi seluruh umat manusia, khususnya umat muslim; dan
3)
Sebagai salah
satu tokoh sentral di dunia arab saat itu.
Berpijak dari tiga alasan diatas, maka sangatlah wajar bila beliau
merupakan pusat perhatian bagi semua masyarakat saat itu. Seluruh tindak
tanduknya menjadi sorotan bagi setiap masyarakat muslim.perbincangan tentang
diri dan pribadi beliau tidak dapat dihindarkan oleh masyarakat. Perbincangan
tentang diri dan pribadi nabi adalah bagian dari peristiwa harian mereka,
sehingga dalam pengertian sederhana, pengertian transfer informasi (hadis) yang
disandarkan kepada beliau sudah mulai muncul.
Berdasarkan deskripsi tentang hubungan antara nabi dengan
masyarakat pada saat itu, dapat diambil kesimpulan, yaitu:
1)
Telah terjadi
pengajaran agama islam, baik yang didasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an ataupun
selain Al-Qur’an (penjelasan dan tafsiran nabi terhadap Al-Qur’an); dan
2)
Secara tidak
disengaja telah terjadi proses transformasi informasi yang berasal atau berkenaan
dengan nabi, di mana informasi ini di kemudian hari dikenal dengan istilah
sunah atau hadis nabi.
Dalam konteks penyebaran hadis maka penyebaran hadis pada saat nabi
dapat di identikkan dengan proses pengajaran agama islam ((دين
الإسلام oleh nabi kepada masyarakat saat itu.
Cara Periwayatan dalam memperoleh dan menyampaikan hadis pada
periode rasul tentu saja berbeda dengan periode selainnya. Di samping
penyebaran hadis pada periode rasul identik dengan pengajaran agama oleh
beliau, cara periwayatan hadis pada saat itu lebih terbebas dari syarat-syarat
tertentu bila dibandingkan dengan periode sesudahnya. Hal ini disebabkan karena
di zaman nabi selain tidak ada bukti yang pasti tentang telah terjadinya
pemalsuan hadis, juga karena pada zaman itu seseorang akan dengan mudah
melakukan pemeriksaan sekiranya ada hadis yang diragukan kesahihannya.
Pada dasarnya, sifat penerimaan berita tentang tindakan, perkataan
atau penetapan rasullah terhadap sesuatu oleh para sahabat nabi hanyalah
terjadi dalam dua kemungkinan,yaitu secara langsung (mubasyarah) dan secara
tidak langsung atau melalui pemberitaan sahabat nabi yang lain.
Sanad pada masa sahabat nabi belum memperoleh posisi yang sangat
istimewa dan tidak mempunyai makna penting. Hal ini dikarenakan setiap sahabat
nabi diyakini memiliki yang tinggi dan dapat dipercaya.
Adapun cara-cara para sahabat dalam memperoleh (menerima) dan meriwayatkan
hadis pada zaman nabi adalah sebagai berikut :
1)
Melalui
majelis-majelis kajian agama yang diselenggarakan oleh nabi baik secara
langsung maupun tidak langsung;
2)
Peristiwa-peristiwa
yang ditemui atau dialami oleh nabi sendiri, sehingga nabi memberikan
penilaian(hukum) terhadap peristiwa tersebut;
3)
Peristiwa-peristiwa
yang ditemui atau dialami para sahabat nabi, baik urusan pribadi ataupun orang banyak yang kemudian ditanyakan pada
nabi tentang hukumnya;
4)
Peristiwa atau
kejadian yang disaksikan oleh para sahabat melalui contoh-contoh sikap nabi
dalam merespon suatu peristiwa;
5)
Dikirimnya
beberapa sahabat nabi untuk pergi ke berbagai daerah, baik khusus untuk
berdakwah ataupun untuk memangku jabatan.
b.
Hadis pada
periode sahabat
Di tangan para sahabat nabi, wilayah kekuasaan sudah mulai mulai
berkembang hingga keluar jazirah Arab. Bersamaan dengan meluasnya wilayah
kekuasaan Islam banyak sahabat yang kemudian dikirim dan menetap di
daerah-daerah tersebut untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam (Al-Qur’an dan
Al-sunnah) , hingga akhirnya daerah tersebut menjadi pusat-pusat ilmu
pengetahuan Islam. Di antara yang
menjadi pusat-pusat ilmu pengetahuan adalah Madinah, Mekah, Kufah, Basyrah,
Syiria, Mesir, Maghrib (Afrika selatan), Andalusia (Spanyol) , dan lain-lain.
Melalui mereka,
riwayat-riwayatan tentang tindakan nabi tersebar di berbagai wilayah kekuasaan
Islam. Namun, sebagai mana diketahui bersama, tak ada satu pun sahabat nabi
yang selalu mengetahui seluruh tindakan nabi. Karenanya, dalam rangka mendapatkan
informasi tentang seluruh tindakan nabi, mereka melakukan tukar-menukar
informasi. Sejak itu, fenomena perlawatan untuk mencari hadis ( al-rihlah fit
thalib al-‘ilm) mulai berkembang, terutama oleh generasi pasca-sahabat, yakni
al-tabi’in dan atba’ al-tabi’in.
Perlawatan ini
dilakukan dalam rangka mencari, memantapkan, dan menyebarkan pengetahuan.
Termasuk adanya upaya cross refence dalam rangka pembuktian kebenaran suatu
informasi yang pernah diterima mereka. Perkembangan hadis pada fase ini oleh
Fazlur Rahman disebut fase perkembangan hadis secara semi formal.
Meskipun pada masa
sahabat nabi, sanad belum memperoleh posisi yang sangat istimewa dan tidak
mempunyai makna yang penting, karena setiap sahabat nabi diyakini memiliki
sifat kejujuran yang tinggi dan dapat dipercaya. Namun, para sahabat tetap
berhati-hati dalam menerima atau meriwayatkan hadis.
Adapun tolak ukur
yang sering digunakan para sahabat sebagai acuan untuk saling koreksi/kritik
atas periwayatan hadis, pada umumnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga tolak
ukur yaitu :
1)
Metode
perbandingan dengan Al-Qur’an ;
2)
Metode rujuk
silang atau cross reference antar periwayatan hadis; dan
3)
Pendekatan
rasional yang digunakan untuk menilai kelayakan isi hadis sebagai sebuah sabda
nabi.
c.
Hadis pada
periode tabi’in
Kondisi periwayatan hadis pada periode tabi’in sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan kondisi periwayatan hadis pada periode sahabat. Hanya saja
pada masa tabi’in sanad hadis sudah mulai mendapat perhatian yang cukup serius.
Jika setiap sahabat nabi dapat dinilai adil, maka penilaian ini tidak lagi
berlaku bagi setiap generasi tabi’in
Tata cara penyampaian dan penerimaan hadis yang mulai dikembangkan
dan dibakukan adalah :
1)
Sima’(mendengar
dari guru)
2)
Qira’ah (
membaca di hadapan guru )
3)
Ijazah (
pelimpahan otoritas )
4)
Munawalah
(pelimpahan otoritas dengan syarat)
5)
Kitabah
(menulis untuk murid)
6)
Washiyyah
(wasiat), dan
7)
Wijadah (
temuan ).
Pembakuan tata cara periwayatan ini sangat erat kaitannya dengan
upaya ulama untuk menyelamatkan hadis nabi dari pemalsuan-pemalsuan hadis yang
sedang berkembang.
Mata rantai periwayat
hadis (sanad) pun makin panjang di bandingkan dengan generasi sahabat, karena
generasi pasca sahabat tidak hidup sezaman dengan nabi. Seorang
mukharrij(periwayat hadis) bisa jadi memperoleh hadis dari periwayat yang :
1)
Dasar dari
generasi sebelumnya, akan tetapi masih sempat sezaman;
2)
Berasal dari
satu generasi dengannya;
3)
Berasal dari
generasi sesudahnya yang masih sempat sezaman dengannya.
2.
Sejarah dan
Perkembangan Kodifikasi Hadis
Hampir selama abad l H. Telah terjadi sikap ambivalensi dari
sebagian besar sahabat nabi dan para tabi’in besar dalam memperhatikan
persoalan penulisan hadis. Sikap ambivalensi tersebut tampak pada kenyataan
bahwa di satu sisi, penulisan hadis adalah suat tindakan yang jelas-jelas akan
memberikan banyak keuntungan (manfaat). Akan tetapi, di sisi lain, ternyata
mereka juga khawatir bahwa penulisan hadis tersebut akan berdampak negatif,
yakni terjadinya pencampur adukkan hadis dengan al-Qur’an. Akibatnya,
masyarakat bisa menjadi bingung dalam membedakan mana yang Al-Qur’an dan mana
yang selainnya.
Namun demikian, sebuah fakta sejarah menyebutkan bahwa ada sekitar
50 sahabat nabi yang ternyata mempunyai manuskrip-manuskrip yang belakangan
dikenal dengan sebutan shuhuf (bentuk tunggalnya = shahifah), yakni suat karya
di mana beberapa materi hadis nabi ditulis. Oleh karena itu, periode penulisan
hadis dalam bentuk suhu ini diklasifikasikan sebagai sebuah gerakan pembukuan
hadis yang sangat dini. Karena ciri khusus dari trend penulisan hadis
saat itu adalah dalam bentuk shuhuf, maka periode tersebut dapat disebut
sebagai periode gerakan penulisan hadis dalam bentuk shuhuf. Sayangnya,
karya-karya asli yang dalam bentuk shuhuf tersebut sudah musnah, meskipun ada
sejumlah salinannya yang dapat ditemukan saat ini.
a.
Pembukuan Hadis
Abad ke II, III, dan Pertengahan Abad IV H
1)
Gerakan
Penulisan Hadis dalam Bentuk Mushannaf
Selama abad pertama dan awal abad kedua hijriyah, kompilasi hadis dilakukan
hanya terbatas kepada hadis-hadis yang beredar secara lisan. Berikutnya, para
ulama mulai mengelompokkan hadis di bawah topik yang menunjukkan tema
persoalannya. Pengelompokan hadis dalam bentuk ini disebut dengan istilah
mushannaf, yakni kompilasi hadis yang sudah terklasifikasikan atau
tersistematisasi. Oleh karena itu, gerakan penulisan hadis dalam bentuk
tersebut disebut sebagai gerakan penulisan hadis dalam bentuk mushannaf.
Meskipun ibn Juraij dan ma’mar bin rasyid adalah penghimpun hadis
dalam bentuk mushannaf, namun karya yang terkenal dari jenis penulisan hadis
dalam bentuk ini adalah karya Al-Muwaththa’ yang disusun oleh imam malik bin
anas, seorang pendiri madzhab fikih kedua.
2)
Gerakan
penulisan hadis dalam bentuk musnad
Meskipun karya mushannaf dinilai sistematis dan secara akademik
bermanfaat sekali, namun ia merupakan karya hadis yang di dalamnya telah
ditambahkan pendapat-pendapat hukum. Ia bukanlah karya yang layak sebagai
sebuah karya literatur hadis, di mana studi hadis hanyalah merupakan kajian
yang di dalamnya telah diposisikan sebagai bagian dari kepentingan diskusi
hukum. Oleh karena itu, trend gerakan penulisan mulai berubah dalam bentuk yang
lain. Gerakan penulisan hadis pada fase berikutnya adalah gerakan penulisan
hadis dalam bentuk musnad, yakni gaya hadis yang hanya disandarkan kepada
rasullah saja.
Karya musnad adalah sebuah karya hadis yang di susun berdasarkan
pengelompokan hadis hadis di bawah nama-nama periwayat hadis dari generasi
sahabat. Pada umumnya, penyusunan tata urutan nama sahabat nabi tersebut didasarkan
atas tingkat senioritas. Akan tetapi masing-masing hadis yang ada dalam setiap
kelompok tidak di susun secara beraturan.
Adapun karya musnad yang paling populer adalah kitab musnad karya
Ahmad Bin .Hanbal, seorang pendiri
mazhab fikih ke-4. Karya ini merupakan karya hadis terbaik dalam bentuk musnad.
3)
Gerakan
penulisan hadis dalam bentuk himpunan hadis-hadis shahih
Gerakan penulisan hadis dalam bentuk musnad ternyata tidak
membedakan materi-materi hadis yang otentik (shahih) dan yang lemah (dha’if).
Penggunaannya pun juga sulit, karena hadis-hadisnya disusun tidak berdasarkan
tema atau topik tertentu, melainkan tersebar di berbagai bagian kitab. Oleh
karena itu, muncullah sebuah gerakan baru yang hampir sering dengan gerakan
penulisan hadis dalam bentuk musnad tersebut di bawah panji-panji gerakan
penulisan hadis yang didasarkan pada kategori hadis-hadis shahih. Beberapa
penulis karya di bawah gerakan tersebut memasukkan hadis-hadis yang dinilai
kurang kredibel untuk kepentingan-kepentingan agama dan hukum mereka, hanya
saja mereka tetap menunjukkan kualitas hadis-hadis tersebut.
Di antara karya-karya kompilasi hadis yang dihasilkan melalui
gerakan penulisan hadis dengan kategori himpunan hadis-hadis shahih adalah
sebagai berikut :
a) Al-jami’ al-shahih,
karya Muhammad bin Abdullah al Bukhari (w.256 H)
b) Al-jami’ al-shahih karya
Muslim bin al-Hajjaj (w.261 H)
c) Kitab Al-sunan karya
Abu Dawud,Sulaiman bin Asy’as (w.275 H), dll.
b.
Pembukuan Hadis
pada Pertengahan kedua abad ke IV H, ke V H dan Seterusnya.
Pembukuan atau kompilasi hadis nabi pada abad ke V H menunjukkan
karakteristik yang sangat berbeda dari abad-abad sebelumnya. Bila pada
abad-abad sebelumnya, dapat dikatakan sebagai kitab-kitab hadis yang asli,
yakni suatu kompilasi hadis nabi yang didasarkan atas sanad penghimpun hadis
yang diperolehnya dari perjalanan individu kepada guru-guru yang ada di
berbagai daerah imperium Islam. Maka, karya-karya hadis pada abad ke V H
(tepatnya sejak pertengahan abad ke IV) tidak semuanya dapat diklasifikasikan
sebagai kitab-kitab hadis yang asli. Hal ini lebih dikarenakan karya-karya yang
muncul semenjak pertengahan abad ke IV H lebih banyak disandarkan pada hasil
karya ulama-ulama sebelumnya.
Secara umum, bentuk dari karya-karya yang muncul semenjak
pertengahan abad ke IV H, bahkan hingga saat sekarang adalah dalam bentuk
elaborasi (sharah) , kritisime, ringkasan (mukhtashar), pengembangan, komentar,
revisi dan penseleksian atau pembuatan indek-indek untuk referensi secara mudah.
Berikut ini adalah beberapa contoh dari model-model karya yang muncul semenjak
pertengahan abad ke IV H tersebut :
1) Kompilasi hadis dalam
bentuk karya pelengkap (istidrakat)
Pertama: al- ilzamat ‘ala al-bukhari wa mislim karya Ali bin Umar
al-daruqutni (w.385 H). Dan yang kedua : almustadrak ‘ala al-shahihain karya
Muhammad bin Ali Al-hakim (w. 404 H).
2) Kompilasi hadis dalam
bentuk catatan-catatan kritis
a) Ma’alim al-sunah karya Hammad bin Muhammad
al-Khottobi, dikenal dengan al-Khottobi (w. 389 H). Karya ini merupakan karya
tentang komentar terhadap karya kitab al-Sunan karya Abu Dawud. Di samping
karya ini, al-Khottobo juga membuat karya komentar lainnya yang berjudul I’lam
al-Sunan yang merupakan karya komentar terhadap al-Jami’ al-Shohih-nya al-Bukhari
dan ditulis segera setelah al-Khottobi menyelesaikan Ma’alim al-Sunan.
b) Kitab Qur’an wa al-Hadis karya Ahmad bin
Muhammad Abu Ubaid al-Harawi, dikenal dengan al-Harawi (w. 401). Beliau
mengkaji kosa kata yang ada di dalam al-Qur’an dan hadis tanpa disertai sanad
dan sumber rujukan kitab hadisnya.
c) Tafsir Gharib al-Shahihain karya Muhammad bin
Abi Nasr al-Hamidi, dikenal dengan
al-Hamidi (w.488 H).
3) Kompilasi hadis dalam
bentuk ringkasan (mukhtashar)
a) Al –Mulakhkhis li ma fi al-Muatha’ min al
hadis al musnad karya Ali bin Muhammad bin Khallaf al-Qabisi, dikenal dengan
al-Qabbisi (w.403 H). Karya ini berisi 525 hadis lengkap dengan sanadnya
b) Al-tajrid al-sharih karya Abu al-Abbas Ahmad
bin Ahmad al Zubaidi(w.893 H). Karya ini terdiri dari dua jilid dan merupakan
sebuah karya populer yang menghimpunkan hadis-hadis yang terdapat di dalam
al-Jami’ al-shahih karya al-Bukhari tanpa disertai sanad dan pengulangan hadis
yang sering dijumpai dalam karya asli al-Bukhari.
D. Kitab-Kitab Hasil dari Proses
Kodifikasi Hadis
Adapun kitab-kitab hasil dari kodifikasi hadis yaitu :
1.
Al-Muwatha’
karya Ibnu Malik;
2.
Al-Musnad karya
Ahmad Imam ahmad;
3.
Shahih
al-bukhari penyusun Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim;
4.
Shahih Muslim
penyusun Abu al husain Muslim;
5.
Sunan Abu Daud
penyusun Abu Daud;
6.
Sunan Al-Nasa’i
penyusun Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr;
7.
Sunan
at-Turmidzi penyusun Imam Turmudzi;
8.
Sunan Ibnu
Majah penyusun Ibnu Majah;
9.
Dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tadwin Al-Hadis atau kodifikasi Al-Hadis merupakan suatu kegiatan
pengumpulan Al-Hadis dan penulisannya secara besar-besaran yang secara resmi
disponsori atau diperintahkan oleh pemerintah (khalifah). Sedangkan penulisan
hadis sendiri secara tidak resmi sebenarnya sudah di lakukan sejak pada masa
Rasulullah SAW, saat beliau masih hidup.
Selanjutnya proses kodifikasi hadis, yang pada awalnya dilatar belakangi
oleh kekhawatiran Khalifah Umar bin Abdul Aziz terhadap berbagai persoalan di
masa pemerintahannya. Kekhawatiran tersebut didasarkan pada tiga hal, yaitu:
Hilangnya hadis-hadis dikarenakan meninggalnya para ulama yang mengerti atau
hafal hadis di medan perang, Bercampurnya antara hadis-hadis yang shahih dengan
hadis-hadis yang palsu, Meluasnya daerah kekuasaan islam. Atau lebih
singkatnya, tujuan dari kodifikasi hadis adalah untuk untuk menyelamat-kan
hadis-hadis Nabi Muhammad Saw dari kepunahan dan penyelewengan oleh orang-orang
yang tidak bertanggung jawab.
Kemudian sejarah pengkodifikasian hadis dibagi menjadi dua bab
yaitu :
1. Sejarah pra-kodifikasi hadis, yaitu sebelum
adanya perintah untuk mengumpulkan hadis yang terdori dari beberapa periode
yakni : periode pada masa rasul,periode masa sahabat dan periode pada masa
tabi’in.
2. Sejarah perkembangan kodifikasi hadis, yaitu
mulai diperintahkan untuk mengumpulkan hadis-hadis yang masih berada
dimana-mana belum menjadi satu mushaf.
Kitab-kitab hadis yang terkenal hasil kodifikasi yaitu :
1.
Al-Muwatha’
karya Ibnu Malik,
2.
Al-Musnad karya
Ahmad Imam ahmad,
3.
Shahih al-bukhari
penyusun Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim,
4.
Shahih Muslim
penyusun Abu al husain Muslim,
5.
Sunan Abu Daud
penyusun Abu Daud,
6.
Sunan Al-Nasa’i
penyusun Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr,
7.
Sunan
at-Turmidzi penyusun Imam Turmudzi,
8.
Sunan Ibnu
Majah penyusun Ibnu Majah.
Dan lain-lain.
B.
Saran
Dalam penyusunan makalah ini tak luput penulisan dari kesalahan
atau kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kepada para pembaca untuk
kritik dan sarannya yang konstruktif bagi penulis khususnya, guna kesempurnaan
penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Nizar, Ali. 2009. File: Kodifikasi Hadis.ppt.
Nizar, Ali. 2011. Artikel: Sejarah Kodifikasi Hadis.
Muhsin, Imam dkk. 2005. Al-Hadis. Yogyakarta: Pokja UIN Sunan
Kalijaga.
Sambas, Aceng dkk. 2010. Ebook: Sejarah Hadis Pra-Kodifikasi.
Bandung: UIN Sunan Gunung Djati.
El-Rasheed, Brilly. 2010. Makalah: Catatan Historis Kronologis Kodifikasi
Hadits.
Rasyid, Daud. 2007. Makalah: Hadis Tidak Ditulis pada Masa Rosul.
Abdul, Amr. 1997. Ebook: Taysir Ulum al-Hadits lil Mubtadi'in (Edisi
Terjemahan oleh Abah Zacky).
Abdul, Amr. 1997. Ebook: Mudzakkirat Ushul al-Hadits lil Mubtadi'in
(Edisi Terjemahan oleh Abah Zacky).
Foto copy buku tentang Hadis, tanpa Judul dan Pengarang didalamnya.
Yaqin, Ainul. 2007. Artikel: Sejarah Kodifikasi Hadis Nabi.
Nugraheni, Aninditya Sri dan Suyadi. 2011. Cerdas Menulis Karya
Ilmiah Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Metamorfosa Press.
Internet:
Dll.
0 komentar:
Posting Komentar