MAKALAH KODIFIKASI HADITS

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hadis menurut bahasa berarti sesuatu yang baru ( (الجَدِيدُyang menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Selain itu hadis juga dapat berarti Berita ((الخبر yakni sesuatu yang dibicarakan, di perbincangkan dari satu orang ke orang yang lain. ! Sedangkan menurut istilah hadis menurut muhadditsun menunjuk kepada “makna atau sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perilaku, persetujuan beliau akan tindakan sahabat atau deskripsi tentang karakter dan sifatnya.” Sifat yang dimaksud di sini menunjuk kepada penampilan fisikal Beliau.
Keberadaan hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari zaman nabi, sahabat, tabi’in, hingga pembukuan hadis setelah abad ke-2 Hijriyah. Perkembangan Hadis dari masa awal lebih memfokuskan pada lisan, hal ini karena pada waktu itu Rosulullah khawatir akan tercampurnya antara Nash Al-Qur’an dengan Hadis. selain itu juga disebabkan karena Rosulullah lebih memfokuskan pada penulisan Al-Qur’an oleh para Sahabat. Periodisasi Pembukuan Hadis secara resmi baru dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu kodifikasi hadis?
2.      Mengapa kodifikasi hadis perlu dilakukan?
3.      Bagaimana sejarah perkembangan kodifikasi hadis?
4.      Apa saja kitab-kitab hadis yang terkenal hasil kodifikasinya?

C.    Tujuan
Adapun tujuan kami menyusun makalah ini, adalah:
1.      Mengetahui apa kodifikasian hadis dan tujuannya;
2.      Mengetahui proses perkembangan kodifikasi hadis (sejarah);
3.      Mengetahui hasil dari proses kodifikasi hadis (kitab-kitab).


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Kodifikasi berasal dari bahasa Arab yang dikenal dengan istilah Tadwîn. Yakni: pencatatan, penulisan atau pembukuan.1 Sedangkan kodifikasi hadis sendiri merupakan sebuah proses pencatatan atau pembukuan hadis Nabi Muhammad SAW.
Tadwin Al-Hadis atau kodifikasi Al-Hadis merupakan suatu kegiatan pengumpulan Al-Hadis dan penulisannya secara besar-besaran yang secara resmi disponsori atau diperintahkan oleh pemerintah (khalifah). Sedangkan penulisan hadis sendiri secara tidak resmi sebenarnya sudah di lakukan sejak pada masa Rasulullah SAW, saat beliau masih hidup.2
B.     Tujuan Kodifikasi Hadis
Proses kodifikasi hadis, Pada awalnya dilatarbelakangi oleh kekhawatiran Khalifah Umar bin Abdil Aziz terhadap berbagai persoalan di masa pemerintahannya.
Kekhawatiran tersebut didasarkan pada tiga hal, yaitu:
1.      Hilangnya hadis-hadis dikarenakan meninggalnya para ulama yang mengerti atau hafal hadis di medan perang;
2.      Bercampurnya antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis yang palsu;
3.      Meluasnya daerah kekuasaan islam.
Atau lebih singkatnya, tujuan dari kodifikasi hadis adalah untuk untuk menyelamat-kan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw dari kepunahan dan penyelewengan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.3
C.    Sejarah Kodifikasi Hadis
Dalam sejarah kodifikasi hadis, sejarahnya dapat dibagi menjadi dua bab. Yakni:
1.      Sejarah Hadis Pra-Kodifikasi, dan
2.      Sejarah dan Perkembangan Kodifikasi Hadis.4


 
 
1.      Sejarah Hadis Pra-Kodifikasi
a.      Hadis Pada Periode Rasul
Selama nabi masih hidup, beliaulah yang menjadi pembimbing agama dan politik satu-satunya bagi kaum muslimin, baik melalui wahyu Al-Qur’an maupun dengan ucapan-ucapan beliau sendiri di luar Al-Qur’an, termasuk juga melalui tingkah laku beliau. Paling tidak, ada tiga alasan mengapa nabi ditempatkan sebagai seorang pembimbing agama satu-satunya, yakni:  
1)      Sebagai seorang utusan Allah yang harus ditaati;
2)      Nabi merupakan teladan yang baik bagi seluruh umat manusia, khususnya umat muslim; dan
3)      Sebagai salah satu tokoh sentral di dunia arab saat itu.
Berpijak dari tiga alasan diatas, maka sangatlah wajar bila beliau merupakan pusat perhatian bagi semua masyarakat saat itu. Seluruh tindak tanduknya menjadi sorotan bagi setiap masyarakat muslim.perbincangan tentang diri dan pribadi beliau tidak dapat dihindarkan oleh masyarakat. Perbincangan tentang diri dan pribadi nabi adalah bagian dari peristiwa harian mereka, sehingga dalam pengertian sederhana, pengertian transfer informasi (hadis) yang disandarkan kepada beliau sudah mulai muncul.
Berdasarkan deskripsi tentang hubungan antara nabi dengan masyarakat pada saat itu, dapat diambil kesimpulan, yaitu:
1)      Telah terjadi pengajaran agama islam, baik yang didasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an ataupun selain Al-Qur’an (penjelasan dan tafsiran nabi terhadap Al-Qur’an); dan
2)      Secara tidak disengaja telah terjadi proses transformasi informasi yang berasal atau berkenaan dengan nabi, di mana informasi ini di kemudian hari dikenal dengan istilah sunah atau hadis nabi.
Dalam konteks penyebaran hadis maka penyebaran hadis pada saat nabi dapat di identikkan dengan proses pengajaran agama islam ((دين الإسلام oleh nabi kepada masyarakat saat itu.
Cara Periwayatan dalam memperoleh dan menyampaikan hadis pada periode rasul tentu saja berbeda dengan periode selainnya. Di samping penyebaran hadis pada periode rasul identik dengan pengajaran agama oleh beliau, cara periwayatan hadis pada saat itu lebih terbebas dari syarat-syarat tertentu bila dibandingkan dengan periode sesudahnya. Hal ini disebabkan karena di zaman nabi selain tidak ada bukti yang pasti tentang telah terjadinya pemalsuan hadis, juga karena pada zaman itu seseorang akan dengan mudah melakukan pemeriksaan sekiranya ada hadis yang diragukan kesahihannya.
Pada dasarnya, sifat penerimaan berita tentang tindakan, perkataan atau penetapan rasullah terhadap sesuatu oleh para sahabat nabi hanyalah terjadi dalam dua kemungkinan,yaitu secara langsung (mubasyarah) dan secara tidak langsung atau melalui pemberitaan sahabat nabi yang lain.
Sanad pada masa sahabat nabi belum memperoleh posisi yang sangat istimewa dan tidak mempunyai makna penting. Hal ini dikarenakan setiap sahabat nabi diyakini memiliki yang tinggi dan dapat dipercaya.
Adapun cara-cara para sahabat dalam memperoleh (menerima) dan meriwayatkan hadis pada zaman nabi adalah sebagai berikut :
1)      Melalui majelis-majelis kajian agama yang diselenggarakan oleh nabi baik secara langsung maupun tidak langsung;
2)      Peristiwa-peristiwa yang ditemui atau dialami oleh nabi sendiri, sehingga nabi memberikan penilaian(hukum) terhadap peristiwa tersebut;
3)      Peristiwa-peristiwa yang ditemui atau dialami para sahabat nabi, baik urusan pribadi ataupun  orang banyak yang kemudian ditanyakan pada nabi tentang hukumnya;
4)      Peristiwa atau kejadian yang disaksikan oleh para sahabat melalui contoh-contoh sikap nabi dalam merespon suatu peristiwa;
5)      Dikirimnya beberapa sahabat nabi untuk pergi ke berbagai daerah, baik khusus untuk berdakwah ataupun untuk memangku jabatan.

b.      Hadis pada periode sahabat
Di tangan para sahabat nabi, wilayah kekuasaan sudah mulai mulai berkembang hingga keluar jazirah Arab. Bersamaan dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam banyak sahabat yang kemudian dikirim dan menetap di daerah-daerah tersebut untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam (Al-Qur’an dan Al-sunnah) , hingga akhirnya daerah tersebut menjadi pusat-pusat ilmu pengetahuan Islam. Di antara  yang menjadi pusat-pusat ilmu pengetahuan adalah Madinah, Mekah, Kufah, Basyrah, Syiria, Mesir, Maghrib (Afrika selatan), Andalusia (Spanyol) , dan lain-lain.
            Melalui mereka, riwayat-riwayatan tentang tindakan nabi tersebar di berbagai wilayah kekuasaan Islam. Namun, sebagai mana diketahui bersama, tak ada satu pun sahabat nabi yang selalu mengetahui seluruh tindakan nabi. Karenanya, dalam rangka mendapatkan informasi tentang seluruh tindakan nabi, mereka melakukan tukar-menukar informasi. Sejak itu, fenomena perlawatan untuk mencari hadis ( al-rihlah fit thalib al-‘ilm) mulai berkembang, terutama oleh generasi pasca-sahabat, yakni al-tabi’in dan atba’ al-tabi’in.
            Perlawatan ini dilakukan dalam rangka mencari, memantapkan, dan menyebarkan pengetahuan. Termasuk adanya upaya cross refence dalam rangka pembuktian kebenaran suatu informasi yang pernah diterima mereka. Perkembangan hadis pada fase ini oleh Fazlur Rahman disebut fase perkembangan hadis secara semi formal.
            Meskipun pada masa sahabat nabi, sanad belum memperoleh posisi yang sangat istimewa dan tidak mempunyai makna yang penting, karena setiap sahabat nabi diyakini memiliki sifat kejujuran yang tinggi dan dapat dipercaya. Namun, para sahabat tetap berhati-hati dalam menerima atau meriwayatkan hadis.
            Adapun tolak ukur yang sering digunakan para sahabat sebagai acuan untuk saling koreksi/kritik atas periwayatan hadis, pada umumnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga tolak ukur yaitu :
1)      Metode perbandingan dengan Al-Qur’an ;
2)      Metode rujuk silang atau cross reference antar periwayatan hadis; dan
3)      Pendekatan rasional yang digunakan untuk menilai kelayakan isi hadis sebagai sebuah sabda nabi.
    
c.       Hadis pada periode tabi’in
Kondisi periwayatan hadis pada periode tabi’in sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi periwayatan hadis pada periode sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in sanad hadis sudah mulai mendapat perhatian yang cukup serius. Jika setiap sahabat nabi dapat dinilai adil, maka penilaian ini tidak lagi berlaku bagi setiap generasi tabi’in
Tata cara penyampaian dan penerimaan hadis yang mulai dikembangkan dan dibakukan adalah :
1)      Sima’(mendengar dari guru)
2)      Qira’ah ( membaca di hadapan  guru )
3)      Ijazah ( pelimpahan otoritas )
4)      Munawalah (pelimpahan otoritas dengan syarat)
5)      Kitabah (menulis untuk murid)
6)      Washiyyah (wasiat), dan
7)      Wijadah ( temuan ).
Pembakuan tata cara periwayatan ini sangat erat kaitannya dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadis nabi dari pemalsuan-pemalsuan hadis yang sedang berkembang.
            Mata rantai periwayat hadis (sanad) pun makin panjang di bandingkan dengan generasi sahabat, karena generasi pasca sahabat tidak hidup sezaman dengan nabi. Seorang mukharrij(periwayat hadis) bisa jadi memperoleh hadis dari periwayat yang :
1)      Dasar dari generasi sebelumnya, akan tetapi masih sempat sezaman;
2)      Berasal dari satu generasi dengannya;
3)      Berasal dari generasi sesudahnya yang masih sempat sezaman dengannya.

2.      Sejarah dan Perkembangan Kodifikasi Hadis
Hampir selama abad l H. Telah terjadi sikap ambivalensi dari sebagian besar sahabat nabi dan para tabi’in besar dalam memperhatikan persoalan penulisan hadis. Sikap ambivalensi tersebut tampak pada kenyataan bahwa di satu sisi, penulisan hadis adalah suat tindakan yang jelas-jelas akan memberikan banyak keuntungan (manfaat). Akan tetapi, di sisi lain, ternyata mereka juga khawatir bahwa penulisan hadis tersebut akan berdampak negatif, yakni terjadinya pencampur adukkan hadis dengan al-Qur’an. Akibatnya, masyarakat bisa menjadi bingung dalam membedakan mana yang Al-Qur’an dan mana yang selainnya.
Namun demikian, sebuah fakta sejarah menyebutkan bahwa ada sekitar 50 sahabat nabi yang ternyata mempunyai manuskrip-manuskrip yang belakangan dikenal dengan sebutan shuhuf (bentuk tunggalnya = shahifah), yakni suat karya di mana beberapa materi hadis nabi ditulis. Oleh karena itu, periode penulisan hadis dalam bentuk suhu ini diklasifikasikan sebagai sebuah gerakan pembukuan hadis yang sangat dini. Karena ciri khusus dari trend penulisan hadis saat itu adalah dalam bentuk shuhuf, maka periode tersebut dapat disebut sebagai periode gerakan penulisan hadis dalam bentuk shuhuf. Sayangnya, karya-karya asli yang dalam bentuk shuhuf tersebut sudah musnah, meskipun ada sejumlah salinannya yang dapat ditemukan saat ini.
a.      Pembukuan Hadis Abad ke II, III, dan Pertengahan Abad IV H
1)        Gerakan Penulisan Hadis dalam Bentuk Mushannaf
Selama abad pertama dan awal abad kedua hijriyah, kompilasi hadis dilakukan hanya terbatas kepada hadis-hadis yang beredar secara lisan. Berikutnya, para ulama mulai mengelompokkan hadis di bawah topik yang menunjukkan tema persoalannya. Pengelompokan hadis dalam bentuk ini disebut dengan istilah mushannaf, yakni kompilasi hadis yang sudah terklasifikasikan atau tersistematisasi. Oleh karena itu, gerakan penulisan hadis dalam bentuk tersebut disebut sebagai gerakan penulisan hadis dalam bentuk mushannaf.
Meskipun ibn Juraij dan ma’mar bin rasyid adalah penghimpun hadis dalam bentuk mushannaf, namun karya yang terkenal dari jenis penulisan hadis dalam bentuk ini adalah karya Al-Muwaththa’ yang disusun oleh imam malik bin anas, seorang pendiri madzhab fikih kedua.
2)      Gerakan penulisan hadis dalam bentuk musnad
Meskipun karya mushannaf dinilai sistematis dan secara akademik bermanfaat sekali, namun ia merupakan karya hadis yang di dalamnya telah ditambahkan pendapat-pendapat hukum. Ia bukanlah karya yang layak sebagai sebuah karya literatur hadis, di mana studi hadis hanyalah merupakan kajian yang di dalamnya telah diposisikan sebagai bagian dari kepentingan diskusi hukum. Oleh karena itu, trend gerakan penulisan mulai berubah dalam bentuk yang lain. Gerakan penulisan hadis pada fase berikutnya adalah gerakan penulisan hadis dalam bentuk musnad, yakni gaya hadis yang hanya disandarkan kepada rasullah saja.
Karya musnad adalah sebuah karya hadis yang di susun berdasarkan pengelompokan hadis hadis di bawah nama-nama periwayat hadis dari generasi sahabat. Pada umumnya, penyusunan tata urutan nama sahabat nabi tersebut didasarkan atas tingkat senioritas. Akan tetapi masing-masing hadis yang ada dalam setiap kelompok tidak di susun secara beraturan.
Adapun karya musnad yang paling populer adalah kitab musnad karya Ahmad  Bin .Hanbal, seorang pendiri mazhab fikih ke-4. Karya ini merupakan karya hadis terbaik dalam bentuk musnad.
3)      Gerakan penulisan hadis dalam bentuk himpunan hadis-hadis shahih
Gerakan penulisan hadis dalam bentuk musnad ternyata tidak membedakan materi-materi hadis yang otentik (shahih) dan yang lemah (dha’if). Penggunaannya pun juga sulit, karena hadis-hadisnya disusun tidak berdasarkan tema atau topik tertentu, melainkan tersebar di berbagai bagian kitab. Oleh karena itu, muncullah sebuah gerakan baru yang hampir sering dengan gerakan penulisan hadis dalam bentuk musnad tersebut di bawah panji-panji gerakan penulisan hadis yang didasarkan pada kategori hadis-hadis shahih. Beberapa penulis karya di bawah gerakan tersebut memasukkan hadis-hadis yang dinilai kurang kredibel untuk kepentingan-kepentingan agama dan hukum mereka, hanya saja mereka tetap menunjukkan kualitas hadis-hadis tersebut.

Di antara karya-karya kompilasi hadis yang dihasilkan melalui gerakan penulisan hadis dengan kategori himpunan hadis-hadis shahih adalah sebagai berikut :
a)     Al-jami’ al-shahih, karya Muhammad bin Abdullah al Bukhari (w.256 H)
b)    Al-jami’ al-shahih karya Muslim bin al-Hajjaj (w.261 H)
c)     Kitab Al-sunan karya Abu Dawud,Sulaiman bin Asy’as (w.275 H), dll.

b.      Pembukuan Hadis pada Pertengahan kedua abad ke IV H, ke V H dan Seterusnya.
Pembukuan atau kompilasi hadis nabi pada abad ke V H menunjukkan karakteristik yang sangat berbeda dari abad-abad sebelumnya. Bila pada abad-abad sebelumnya, dapat dikatakan sebagai kitab-kitab hadis yang asli, yakni suatu kompilasi hadis nabi yang didasarkan atas sanad penghimpun hadis yang diperolehnya dari perjalanan individu kepada guru-guru yang ada di berbagai daerah imperium Islam. Maka, karya-karya hadis pada abad ke V H (tepatnya sejak pertengahan abad ke IV) tidak semuanya dapat diklasifikasikan sebagai kitab-kitab hadis yang asli. Hal ini lebih dikarenakan karya-karya yang muncul semenjak pertengahan abad ke IV H lebih banyak disandarkan pada hasil karya ulama-ulama sebelumnya.
Secara umum, bentuk dari karya-karya yang muncul semenjak pertengahan abad ke IV H, bahkan hingga saat sekarang adalah dalam bentuk elaborasi (sharah) , kritisime, ringkasan (mukhtashar), pengembangan, komentar, revisi dan penseleksian atau pembuatan indek-indek untuk referensi secara mudah. Berikut ini adalah beberapa contoh dari model-model karya yang muncul semenjak pertengahan abad ke IV H tersebut :
1)  Kompilasi hadis dalam bentuk karya pelengkap (istidrakat)
Pertama: al- ilzamat ‘ala al-bukhari wa mislim karya Ali bin Umar al-daruqutni (w.385 H). Dan yang kedua : almustadrak ‘ala al-shahihain karya Muhammad bin Ali Al-hakim (w. 404 H).
2)  Kompilasi hadis dalam bentuk catatan-catatan kritis
a)  Ma’alim al-sunah karya Hammad bin Muhammad al-Khottobi, dikenal dengan al-Khottobi (w. 389 H). Karya ini merupakan karya tentang komentar terhadap karya kitab al-Sunan karya Abu Dawud. Di samping karya ini, al-Khottobo juga membuat karya komentar lainnya yang berjudul I’lam al-Sunan yang merupakan karya komentar terhadap al-Jami’ al-Shohih-nya al-Bukhari dan ditulis segera setelah al-Khottobi menyelesaikan Ma’alim al-Sunan.
b)  Kitab Qur’an wa al-Hadis karya Ahmad bin Muhammad Abu Ubaid al-Harawi, dikenal dengan al-Harawi (w. 401). Beliau mengkaji kosa kata yang ada di dalam al-Qur’an dan hadis tanpa disertai sanad dan sumber rujukan kitab hadisnya.
c)  Tafsir Gharib al-Shahihain karya Muhammad bin Abi Nasr al-Hamidi, dikenal dengan  al-Hamidi (w.488 H).
3)  Kompilasi hadis dalam bentuk ringkasan (mukhtashar)
a)  Al –Mulakhkhis li ma fi al-Muatha’ min al hadis al musnad karya Ali bin Muhammad bin Khallaf al-Qabisi, dikenal dengan al-Qabbisi (w.403 H). Karya ini berisi 525 hadis lengkap dengan sanadnya
b)  Al-tajrid al-sharih karya Abu al-Abbas Ahmad bin Ahmad al Zubaidi(w.893 H). Karya ini terdiri dari dua jilid dan merupakan sebuah karya populer yang menghimpunkan hadis-hadis yang terdapat di dalam al-Jami’ al-shahih karya al-Bukhari tanpa disertai sanad dan pengulangan hadis yang sering dijumpai dalam karya asli al-Bukhari.

D.   Kitab-Kitab Hasil dari Proses Kodifikasi Hadis
Adapun kitab-kitab hasil dari kodifikasi hadis yaitu :
1.      Al-Muwatha’ karya Ibnu Malik;
2.      Al-Musnad karya Ahmad Imam ahmad;
3.      Shahih al-bukhari penyusun Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim;
4.      Shahih Muslim penyusun Abu al husain Muslim;
5.      Sunan Abu Daud penyusun Abu Daud;
6.      Sunan Al-Nasa’i penyusun Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr;
7.      Sunan at-Turmidzi penyusun Imam Turmudzi;
8.      Sunan Ibnu Majah  penyusun Ibnu Majah;
9.      Dan lain-lain.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tadwin Al-Hadis atau kodifikasi Al-Hadis merupakan suatu kegiatan pengumpulan Al-Hadis dan penulisannya secara besar-besaran yang secara resmi disponsori atau diperintahkan oleh pemerintah (khalifah). Sedangkan penulisan hadis sendiri secara tidak resmi sebenarnya sudah di lakukan sejak pada masa Rasulullah SAW, saat beliau masih hidup.
Selanjutnya proses kodifikasi hadis, yang pada awalnya dilatar belakangi oleh kekhawatiran Khalifah Umar bin Abdul Aziz terhadap berbagai persoalan di masa pemerintahannya. Kekhawatiran tersebut didasarkan pada tiga hal, yaitu: Hilangnya hadis-hadis dikarenakan meninggalnya para ulama yang mengerti atau hafal hadis di medan perang, Bercampurnya antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis yang palsu, Meluasnya daerah kekuasaan islam. Atau lebih singkatnya, tujuan dari kodifikasi hadis adalah untuk untuk menyelamat-kan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw dari kepunahan dan penyelewengan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Kemudian sejarah pengkodifikasian hadis dibagi menjadi dua bab yaitu :
1.  Sejarah pra-kodifikasi hadis, yaitu sebelum adanya perintah untuk mengumpulkan hadis yang terdori dari beberapa periode yakni : periode pada masa rasul,periode masa sahabat dan periode pada masa tabi’in.
2.  Sejarah perkembangan kodifikasi hadis, yaitu mulai diperintahkan untuk mengumpulkan hadis-hadis yang masih berada dimana-mana belum menjadi satu mushaf.
Kitab-kitab hadis yang terkenal hasil kodifikasi yaitu :
1.        Al-Muwatha’ karya Ibnu Malik,
2.        Al-Musnad karya Ahmad Imam ahmad,
3.        Shahih al-bukhari penyusun Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim,
4.        Shahih Muslim penyusun Abu al husain Muslim,
5.        Sunan Abu Daud penyusun Abu Daud,
6.        Sunan Al-Nasa’i penyusun Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr,

7.        Sunan at-Turmidzi penyusun Imam Turmudzi,
8.        Sunan Ibnu Majah  penyusun Ibnu Majah.
Dan lain-lain.
                                         
B.     Saran
Dalam penyusunan makalah ini tak luput penulisan dari kesalahan atau kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kepada para pembaca untuk kritik dan sarannya yang konstruktif bagi penulis khususnya, guna kesempurnaan penyusunan makalah ini.

















DAFTAR PUSTAKA
Nizar, Ali. 2009. File: Kodifikasi Hadis.ppt.
Nizar, Ali. 2011. Artikel: Sejarah Kodifikasi Hadis.
Muhsin, Imam dkk. 2005. Al-Hadis. Yogyakarta: Pokja UIN Sunan Kalijaga.
Sambas, Aceng dkk. 2010. Ebook: Sejarah Hadis Pra-Kodifikasi. Bandung: UIN Sunan Gunung Djati.
El-Rasheed, Brilly. 2010. Makalah: Catatan Historis Kronologis Kodifikasi Hadits.
Rasyid, Daud. 2007. Makalah: Hadis Tidak Ditulis pada Masa Rosul.
Abdul, Amr. 1997. Ebook: Taysir Ulum al-Hadits lil Mubtadi'in (Edisi Terjemahan oleh Abah Zacky).
Abdul, Amr. 1997. Ebook: Mudzakkirat Ushul al-Hadits lil Mubtadi'in (Edisi Terjemahan oleh Abah Zacky).
Foto copy buku tentang Hadis, tanpa Judul dan Pengarang didalamnya.
Yaqin, Ainul. 2007. Artikel: Sejarah Kodifikasi Hadis Nabi.
Nugraheni, Aninditya Sri dan Suyadi. 2011. Cerdas Menulis Karya Ilmiah Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Metamorfosa Press.
Internet:
Dll.

0 komentar:

Posting Komentar