Dr Adian Husaini
Akhir-akhir ini seperti sudah menjadi keharusan opini di berbagai media massa, bahwa di zaman globalisasi, corak
keberislaman yang ‘baik’ adalah menjadi Muslim yang moderat. Dengan kata
lain, bukan menjadi Muslim yang liberal
atau yang radikal. Istilah “moderat” ini dimunculkan dan dipopulerkan
oleh berbagai kalangan, baik cendekiawan, kepala Negara/pemerintahan Muslim,
atau tokoh-tokoh agama. Apakah
sebenarnya makna “Islam moderat”, yang kadang-kadang disamakan dengan istilah
“ummatan wasatha”?
Istilah “moderat”
(moderate) berasal dari bahasa Latin ‘moderare’ yang artinya “mengurangi atau
mengontrol”. Kamus The American Heritage Dictionary
of the English Language mendefinisikan
moderate sebagai: (1) not excessive or extreme (2) temperate (3) average;
mediocre (4) opposed to radical views or measures.
Sebagai satu sistem ajaran dan nilai, sepanjang
sejarahnya, Islam tidak menafikan
kemungkinan mengambil istilah-istilah asing untuk diadopsi menjadi istilah baru
dalam khazanah Islam. Tetapi, istilah baru itu harus benar-benar diberi makna baru,
yang sesuai dengan Islam. Istilah itu tidak dibiarkan liar, seperti maknanya
yang asli dalam agama atau peradaban lain. Kita sudah banyak mengambil istilah
baru dalam Islam, seperti istilah “agama”, “pahala”, “dosa”, “sorga”, “neraka”,
yang berasal dari tradisi Hindu, tetapi kita berikan makna baru yang sesuai
dengan konsep Islam. Dari peradaban Barat saat ini, kita mengambil banyak
istilah, seperti istilah “worldview”, “ideologi”, dan sebagainya. Semua istilah
bisa diadopsi, asalkan sudah mengalami proses adapsi (penyesuaian makna) dengan
makna di dalam Islam, sehingga tidak menimbulkan kekacauan makna.
Sikap wasathiyah adalah karakter ajaran Islam itu
sendiri. Istilah wasathiyah, menurut Dr. Muhammad Imarah, termasuk yang sering
disalahartikan. Dalam bukunya, Ma’rakah
al-Mushthalahat bayna al-Gharb wa al-Islam (Di Indonesiakan oleh Musthalah
Maufur MA dengan judul “Perang Terminologi Islam versus Barat”), Imarah
menjelaskan dengan cukup panjang lebar makna konsep “al-wasathiyah” di dalam
Islam. Istilah al-wasathiyah dalam
pengertian Islam mencerminkan karakter dan jatidiri yang khusus dimiliki oleh
manhaj Islam dalam pemikiran dan kehidupan; dalam pandangan, pelaksanaan, dan penerapannya.
Di dalam istilah ini, tercermin karakter dasar Islam
yang terpenting yang membedakan manhaj Islam dari metodologi-metodologi yang
ada pada paham-paham, aliran-aliran, serta falsafah lain. Sikap wasathiyah Islam adalah satu sikap
penolakan terhadap ekstremitas dalam bentuk kezaliman dan kebathilan. Ia
tidak lain merupakan cerminan dari fithrah asli manusia yang suci yang belum
tercemar pengaruh-pengaruh negatif.
Allah berfirman (yang artinya): “Dan demikian (pula)
Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas manusia.” (al-Baqarah:143).
Umat yang adil dan
umat pilihan adalah ‘ummatan wasatha’ (umat pertengahan). Untuk
saat ini, terjemahan “umat pertengahan” atau “umat yang adil dan pilihan”
mungkin lebih tepat dari pada umat moderat, mengingat banyaknya kerancuan dalam
istilah moderat yang digunakan oleh Barat dan kaum sekular-liberal saat ini. Menjelaskan tentang makna ayat 143 surat
al-Baqarah tersebut, dalam Tafsir al-Azhar, Prof. Hamka menyatakan,
bahwa kehadiran Nabi Muhammad saw dan umat Islam adalah untuk menjadi jalan
tengah bagi ekstrimitas dua komunitas Yahudi dan Kristen; umat Yahudi yang
lebih condong kepada urusan dunia semata dan umat Nasrani yang condong kepada
kehidupan kerohanian semata, dengan memencilkan diri di biara-biara dan tidak
kawin.
Umat Islam adalah umat
yang pertengahan, yang menjadikan urusan fisik sebagai hal penting dan
menjadikan urusan batin sebagai hal yang penting pula.
Ayat ini berkaitan dengan masalah shalat, yang dijadikan contoh sebagai
ibadah yang menggabungkan antara urusan fisik dan batin. Dalam shalat, jelas
sekali pertemuan tersebut. Shalat dikerjakan dengan badan, melakukan sujud dan
ruku’, menghadap kiblat, berpakaian yang bersih dan bebas najis, dan
sebagainya. Tetapi semuanya itu juga harus dikerjakan dengan hati yang khusyu’.
Tampak pula sikap wastahiyah Islam itu pada aturan
tentang zakat, yang hanya bisa dikerjakan oleh orang yang berharta sesuai
dengan aturan nishab. Artinya, umat Islam diperintahkan mencari harta
sebanyak-banyaknya, untuk menegakkan amal salih dan setelah itu bagikan kepada
orang yang membutuhkan. Begitu juag dengan aturan puasa, haji, dan sebagainya.
Semua itu adalah watak ajaran Islam, yang mementingkan urusan badan dan urusan
batin. Sikap wasathiyah Islam itu berbeda dengan sikap umat-umat lainnya, baik
kaum Yahudi, Kristen, Hindu, dan sebagainya.
Kata Hamka: “Bangkitnya Nabi Muhammmad saw di padang pasir Arabia itu, adalah
membawa ajaran bagi membangunkan ummatan wasathan, suatu ummat yang menempuh
jalan tengah, menerima hidup di dalam kenyataannya. Percaya kepada akhirat lalu
beramal di dalam dunia ini. Mencari kekayaan untuk membela keadilan,
mementingkan kesihatan rohani dan jasmani, karena kesihatan yang satu bertalian
dengan yang lain.
Mementingkan kecerdasan fikiran, tetapi dengan
menguatkan ibadat untuk menghaluskan perasaan. Mencari kekayaan
sebanyak-banyaknya, karena kekayaan adalah alat untuk berbuat baik. Menjadi
khalifah Allah di atas bumi, untuk bekal menuju akhirat. Karena kelak akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Selama ummat ini masih
menempuh shiratal mustaqim, jalan yang lurus, selama itu pula mereka akan tetap
menjadi ummat jalan tengah.” Dengan posisi sebagai ummatan wasathan itu,
maka umat Islam akan menjadi saksi atas umat yang lain.
Kata Hamka: “Umat Muhammad menjadi ummat tengah dan menjadi saksi untuk ummat
yang lain, dan Nabi Muhammad saw menjadi saksi pula atas ummatnya itu, adakah
mereka jalankan pula tugas yang berat tetapi suci ini dengan baik?” Itulah makna “ummatan wasathan”, umat pertengahan,
umat yang adil, umat yang menjadi saksi atas ummat yang lain, dengan
menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia. Dengan pandangan dan
sikap ‘wasatha’, setiap Muslim dilarang melakukan tindakan ‘tatharruf’ atau
ekstrim dalam menjalankan ajaran agama.
Umat Islam merupakan umat penyeimbang dari umat umat-umat agama lain.
Umat Islam mampu menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat, tidak
terlalu materialis duniawi, seperti kaum Yahudi atau meninggalkan kehidupan
dunia seperti berbagai pemeluk agama lainnya. Umat Islam menyeimbangkan antara
aspek jasmani dan ruhani. Itulah makna umat wasathan, umat pertengahan.
Tetapi, konsep ‘al-wasathiyyah’ bukan berarti sikap yang tidak berpihak
kepada kebenaran, tidak memiliki pendirian untuk menentukan mana yang haq dan
mana yang bathil. Al-Wasathiyyah juga tidak bermakna sikap ‘plin-plan’, dengan
mengorbankan kebenaran demi untuk mencapai tujuan keduniawian.
Saat ini, ada
kecenderungan pengaburan sikap al-Wasathiyyah pada beberapa kalangan, dan
menyamakannya dengan konsep moderatisme Islam yang kabur maknanya. Malah, ada yang menggunakan istilah “Islam moderat” dengan makna
yang sama dengan istilah “Islam
Inklusif” atau “Islam Pluralis”. Melalui konsep dan kedok istilah “Islam
Moderat” itu pula, kemudian disebarkan paham “Pluralisme Agama”
(At-Ta’addudiyah al-Diniyyah), yang menyatakan semua agama itu adalah sama dan
benar.
Karena munculnya berbagai kerancuan makna konsep
“pertengahan” (al-wastahiyyah) atau “moderatisme” di kalangan masyarakat Muslim
Indonesia saat ini, maka sudah sangat mendesak dilakukannya suatu pengkajian
yang serius dan ilmiah terhadap konsep “al-wasathiyyah” dalam Islam, agar tidak
terjadi kerancuan dan pengaburan makna.
Kita mengimbau, para cendekiawan dan tokoh-tokoh umat
agar sangat berhati-hati dalam menggunakan istilah “Islam moderat”, dan tidak
begitu saja menyamakannya dengan istilah “ummatan wasathan”. Jika terpaksa
menggunakannya, berikanlah definisi yang jelas, yang berbeda dengan definisi
yang dipopulerkan oleh kaum liberal dan pluralis saat ini. Sebab, “moderatisme Islam” saat ini juga sedang
dijadikan sebagai bahan kampanye untuk meliberalkan Islam di Indonesia,
sebagaimana diprogramkan oleh LSM-LSM asing yang beroperasi di Indonesia,
seperti The Asia Foundation dan sebagainya. Lebih baik dan lebih aman
jika saat ini kita tidak ikut-ikutan menambah daftar panjang predikat Islam, seperti
“Islam modernis”, “Islam tradisionalis”, “Islam liberal”, “Islam
fundamentalis”, “Islam radikal”, “Islam salafi”, “Islam rasional”, “Islam
militan”, “Islam konservatif”, “Islam kanan”, “Islam kiri”, “Islam garis
keras”, “Islam kultural”, “Islam struktural”, dan sebagainya. Lebih baik kita
menyebut “Islam” saja. Islam yang satu, dan tidak memecah belah menjadi
berbagai jenis Islam, yang maknanya kabur dan tidak jelas.
David E. Kaplan menulis dalam artikelnya, Hearts, Minds,
and Dollars, (www.usnews.com, 4-25-2005), bahwa saat ini, AS menggelontorkan
dana puluhan juta dollar dalam rangka kampenye untuk – bukan hanya mengubah
masyarakat Muslim – tetapi juga untuk mengubah Islam itu sendiri. Menurut
Kaplan, Gedung Putih telah menyetujui strategi rahasia, yang untuk pertama
kalinya AS memiliki kepentingan nasional untuk mempengaruhi apa yang terjadi di
dalam Islam.
Sekurangnya di 24
negara Muslim, AS secara diam-diam telah mendanai radio Islam, acara-acara TV,
kursus-kursus di sekolah Islam, pusat-pusat kajian, workshop politik, dan
program-program lain yang mempromosikan Islam moderat.
AS dan kawan-kawannya memang berkehendak agar kaum
Muslim tidak menjadi ancaman bagi hegemoni peradaban mereka. Karena itu, mereka
ingin agar umat Islam menjadi umat yang moderat (versi mereka). Mereka biayai
begitu banyak lembaga Islam dan mahasiswa Islam agar memiliki pemikiran dan sikap
hidup yang sesuai dengan kehendak mereka. Di dalam konsep mereka, Islam moderat adalah Islam yang tidak meyakini
kebenaran agamanya sendiri, Islam yang ‘jinak’, tidak peduli dengan penderitaan
dan penindasan yang dialami oleh saudara-saudaranya sesama Muslim.
Mereka ciptakan istilah-istilah yang indah dan yang buruk, untuk memecah belah
umat Islam. Istilah “Islam moderat” dibenturkan dengan istilah “Islam radikal”,
“Islam militan”, “Islam fundamentalis”, dan sebagainya, yang maknanya tidak
didefinisikan dengan jelas.
Kita berharap, para
tokoh dan cendekiawan Muslim dapat lebih berhati-hati dalam mengadopsi satu
istilah yang bukan berasal dari khazanah Islam. Jangan
sampai mereka hanya mengadopsi istilah tanpa diberikan definisi (ta’rif) yang
jelas. Jangan sampai pula, mereka hanya menjadi corong untuk mempopulerkan satu
istilah yang maknanya sudah dikendalikan dan diatur sesuai dengan agenda untuk
memecah belah umat. Di zaman yang penuh dengan ‘fitnah’ seperti sekarang ini,
kita perlu lebih berhati-hati lagi dalam menyebarkan informasi, jangan asal
bunyi, karena kita yakin, segala amal perbuatan dan ilmu kita akan dimintai
pertanggungjawaban di Hari Akhir kelak.
Kita tidak perlu mengikuti sikap sebagian kalangan yang
tidak peduli akan Hari Akhir, tidak peduli dosa dan pahala, dan semaunya
sendiri merusak istilah-istilah dan ajaran Islam, dengan mengharapkan imbalan keuntungan
duniawi yang teramat remeh. Mereka akan mendapatkan bahagiannya di dunia ini,
tetapi pasti akan menyesal di Akhirat nanti.
Wallahu a’lam. (Depok, 30 Juni 2006).
0 komentar:
Posting Komentar