KOMPAS, 7 Februari 2011
Kultur buram menyandera kita. Peribahasa Melayu itu
selengkapnya berbunyi: “Main api terbakar, main air basah”. Artinya, setiap
perbuatan yang menyerempet bahaya atau perbuatan kotor, si pelaku harus berani
menanggung risikonya, jangan dipikulkan ke atas pundak orang lain.
Peribahasa ini akan saya pakai sebagai pisau pembedah
tentang karut-marutnya kultur Indonesia mutakhir di ranah politik kekuasaan,
ekonomi, hukum, dan moral. Keempat ranah ini sudah bertali berkelindan sehingga
amat sulit memisahkannya. Satu sama lain saling menempel dan mungkin sudah
saling berselingkuh. Politik punya tujuan ekonomi, sebaliknya ekonomi perlu
payung politik. Di antara keduanya posisi hukum diperlemah dan diperdagangkan.
Pertimbangan moral sudah lama menguap, entah ke mana.
Harus Ada Jalan
Keluar
Karena kondisi moral bangsa sudah demikian rapuh dan pengap,
kelakuan mereka yang mengaku beragama atau yang tak hirau dengan agama sudah
tidak bisa dibedakan lagi. Itulah kultur buram Indonesia sekarang yang dapat
kita amati dengan gampang siang dan malam melalui berbagai media cetak,
elektronik, dan dalam pembicaraan di mana-mana, di kota dan di kampung.
Di warung-warung kopi di seluruh Nusantara, Anda dapat
menyaksikan dan merasakan betapa dalamnya guncangan kultural yang tengah
menyandera publik dalam rentangan radius yang sangat luas. Dalam perspektif
fenomenologi semuanya ini tentu menarik untuk diteropong, sekalipun benang
kusutnya tidak mudah diurai dan dibongkar karena menyangkut sistem kekuasaan
yang sedang berlaku.
Di tengah kultur yang menyesakkan napas itu, siapa sebenarnya
yang tega main api? Apakah aktor intelektualnya berupa sosok perorangan atau
berupa kekuatan massif, kita belum bisa memastikan.
Selama aktornya tetap bersembunyi, publik akan terus
meraba-raba secara spekulatif, dengan maksud baik dan damai, atau karena ingin
perubahan radikal dengan segala akibatnya. Kelompok terakhir ini mewakili arus
kecil dalam masyarakat yang tidak peduli lagi apakah perubahan yang dibayangkan
itu akan berdarah-darah dan merusak bangunan milik publik.
Bagi mereka, itu semua risiko setiap perjuangan. Saya
sendiri memang ingin perubahan, tetapi harus tetap damai, konstitusional, dan
haram berdarah-darah. Kita jangan lagi membebani bahu bangsa yang sudah sarat
beban yang nyaris tak terpikul. Dalam bacaan saya, semua sisi gelap di atas
adalah akibat logis syahwat kekuasaan mereka yang tunamoral yang telah lama
mengubur dan menjungkirbalikkan nilai-nilai luhur Pancasila.
Syahwat yang tak terkendali pasti membutakan mata, membunuh
kesadaran nurani, dan di ujungnya sedang menunggu tragedi ini: bangsa dan
negara akan digiring ke posisi kehilangan kedaulatan di tengah-tengah lautan
kemiskinan sebagian rakyat kita. Dari sudut pandang inilah saya sangat berharap
dalam tempo tak terlalu lama mereka yang telah main api cepat siuman dan tak
meneruskan petualangan syahwat yang merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara
yang susah payah dibangun selama ini. Pemain api adalah pengkhianat. Titik!
Titik-titik api yang mendesak untuk dipadamkan.
Kita ambil masalah-masalah besar saja sejak tiga tahun
terakhir. Dari sumber-sumber yang punya otoritas, saya mendapatkan info cukup
mengerikan tentang siapa sebenarnya yang bermain api itu. Namun, untuk
pengungkapannya lebih jauh sekarang, biarlah waktu yang akan memberi tahu
publik pada saatnya.
Yang perlu dijaga adalah agar bangsa dan negara ini tetap
utuh dan damai, tidak semakin oleng dan terkoyak-koyak. Masa depan Tanah Air
yang elok ini masih bisa diselamatkan dengan syarat kita tak membiarkannya
terus meluncur menjadi bangsa paria, tempat pihak neoimperialis, dan agen-agen
domestiknya sedang bekerja untuk itu, sadar atau tidak sadar.
Mesir di bawah Hosni Mubarak adalah contoh telanjang tentang
betapa jauhnya cakar neoimperialis itu telah membius Mesir. Anda tentu sudah
tidak sabar menunggu apa yang saya maksud dengan permainan api itu, bukan?
Sebenarnya publik sudah tahu masalah-masalah besar itu, tetapi siapa pemain
yang sebenarnya masih gaib oleh sebagian besar publik kita.
Serangkaian Drama
Saya sendiri masih terus mengumpulkan data valid tentang
semuanya itu. Ada beberapa kasus aneh yang perlu dibicarakan di sini. Misteri
pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen yang kemudian menyeret Antasari Azhar sebagai
Ketua KPK ketika itu ke meja hijau bukan perkara sederhana. Kesaksian ilmiah
ahli forensik kenamaan, Dr Mun’im Idris, yang membantah rekayasa pihak kepolisian
tentang penyebab kematiannya masih dibiarkan menggantung di awang-awang. Juga
kesenjangan yang sangat jauh antara tuntutan jaksa dan keputusan hakim terhadap
Antasari kian menghilangkan kepercayaan publik kepada institusi penegak hukum.
Pada saatnya, drama ini harus dibongkar lagi. Jika tidak
oleh penguasa sekarang, penguasa berikutnya tidak punya pilihan lain kecuali
membukanya untuk publik. Pembongkaran ini akan memberi tahu kita siapa yang
main api di belakang panggung politik ini. Apa kaitannya dengan perhitungan
suara dalam Pemilu 2009 di tangan KPU-nya yang tidak profesional.
Drama kedua yang tidak kurang mengganggu adalah rekayasa
terhadap Bibit-Chandra yang pernah ditahan dan sampai hari ini Komisi III DPR
masih bersilat lidah untuk mempersoalkan kehadiran mereka di DPR. Tampak jelas
di sini bahwa politik kepentingan pragmatis anggota DPR tidak bisa
disembunyikan lagi.
Masih bertalian dengan kasus Bibit-Chandra, pemberhentian
Susno Duadji sebagai Kabareskrim dan kemudian memperkarakannya juga tak boleh
dipandang enteng. Susno adalah saksi dan sumber kunci tentang banyak hal,
seperti Daftar Pemilih Tetap pemilu, skandal Bank Century, dan tentu masih
banyak yang lain. Pembungkamannya—karena disumbat mulutnya untuk berbicara
kepada publik—hanya akan kian mengeruhkan kondisi politik yang memang sudah
keruh. Pada saatnya, kita mungkin akan tahu peta politik sebenarnya tentang
siapa bermain api di belakang penangkapan Susno ini.
Drama ketiga adalah kasus Gayus Tambunan yang nyaris
mengalahkan negara. Di belakang mafia pajak ini pasti berkomplot para pejabat
yang merangkap penjahat penting yang telah pula main api untuk membakar Republik
tercinta ini. Kasihan Indonesia yang telah dijadikan panggung bulan-bulanan
oleh anak-anaknya sendiri yang sarat dusta (baca: bohong) dan dosa melalui
perbuatan hitam, sementara kepemimpinan nasional terasa kian lemah dan
kehilangan perspektif.
Akhirnya, Anda jangan terlalu risau. Masih ada optimisme di
sini. Sekali nilai-nilai luhur Pancasila ditegakkan di ranah politik, ekonomi,
hukum, dan moral; pasti akan segera ketahuan siapa yang main api selama ini dan
pasti akan terbakar. Dibakar oleh kesadaran tulus dan dalam warga negara
tentang perlunya pembelaan terhadap bangsa dan negara agar tidak tiarap di
depan kekuatan mana pun dan di depan siapa pun. Negeri milik kita ini bukanlah
negeri tempe yang tidak mampu bangkit serentak bagi suatu langkah besar ke
depan secara kolektif.
Oleh: Ahmad Syafi'i Ma'arif
0 komentar:
Posting Komentar