Oleh: Dr Adian Husaini
April 2010 lalu, saat mengunjungi kampus School of
Oriental and African Studies di London, saya menemukan sebuah buku berjudul Homosexuality
in Islam: Critical Reflection on Gay, Lesbian, and Transgender Muslims,
(Oxford: Oneworld Publications, 2010), karya
Scott Siraj al-Haqq Kugle.
Karena penasaran akan isinya, saya beli buku itu, dengan
harga £19,99. Buku setebal 355 halaman
ini ternyata berisi seruan untuk menghalalkan praktik homoseksual. Di
Indonesia, pemikiran semacam ini juga sudah mulai digulirkan, baik oleh
praktisi homo dan lesbi, maupun sejumlah cendekiawan dan akademisi di Perguruan
Tinggi.
Salah satu metode yang
digunakan dalam ”halalisasi” praktik homoseksual adalah dengan merumuskan model
penafsiran baru terhadap al-Quran. Ia tulis bab khusus
berjudul ”Liberating Qur’an: Islamic
Scripture”. Kisah Nabi Luth,
misalnya, ditafsirkan dengan model baru. Menurut penulis, para ahli hukum Islam
selama seribu tahun lebih telah salah paham dalam soal penafsiran kisah Luth
ini. ”Jurists who have interpreted the story to be about homosexual act
have missed the point,” tulisnya. Padahal, katanya, kaum Luth dihukum oleh Allah, bukan karena mereka homo, tetapi
karena mereka kafir dan membangkang.
Sebenarnya soal
praktik homoseksual ini sudah jelas statusnya dalam agama Yahudi, Kristen, dan
Islam. Selama ribuan tahun, status pelaku homoseksual juga
jelas. Dalam Kitab Imamat (Leviticus)
20:13, disebutkan: “Bila seorang
laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan
perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati
dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.”
Dalam Islam, hingga
kini, praktik homoseksual tetap dipandang sebagai tindakan bejat. Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa praktik homoseks merupakan satu dosa besar dan sanksinya
sangat berat. Rasulullah saw bersabda,
“Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya
tersebut.” (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan
al-Baihaki).
Namun, paham humanisme
telah menyihir banyak orang. Nilai-nilai Barat modern mulai menggusur nilai agama. Yang penting
adalah progresivitas, kemajuan.Semua harus tunduk pada kemajuan. Ajaran-ajaran agama yang bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan harus diubah. Dibuatlah istilah baru, seperti “Fiqih
Humanis”, “Fiqih yang lebih manusiawi”, dan sebagainya.
Pada akhirnya, seperti
penulis buku ini, kaum pembaru – yang bukan mujaddid – ini mendesak agar
syariat Islam diubah, sesuai dengan perkembangan zaman. Ia mengusulkan
perlunya ada syariat yang selalu berkembang (evolving shariah). Dengan itu,
syariat Islam bisa menerima praktik homoseksual.
Kata penulis lagi, “Just as building the shari’a was an
historical process, the creation of fallible human minds, hands, and hearts, so
the shari’a should be open to continual reform and re-creation. A renewed and
evolving shari’a is politically necessary project.”
Inilah contoh taghrib,
dan bukan tajdid. Yang haram jadi halal, yang halal dijadikan haram. Zina
disahkan; tidak dianggap kriminal; dianggap masalah
privat. Pezina dipuja sebagai idola. Tapi, menikah baik-baik dengan cara agama,
justru bisa terancam masuk penjara. (***)
0 komentar:
Posting Komentar