Ahmad Syafi'i Ma'arif
Selasa, 26 Februari 2013, 07:06 WIB
Dalam pembendaraan lama, Nusantara
ini ternyata sangat kaya dengan butur-butir kearifan sebagai sari pati
sub-kultur dari ratusan suku yang kita miliki. Kearifan ini merupakan
puncak-puncak pengalaman manusia yang berasal dari pertarungan hidup yang panjang,
berliku, dan bahkan penuh kekerasan.
Pantun, bidal, sloka, pribasa, dan
sebutan lain sebangsanya itu, adalah di antara bentuk warisan lama yang masih
hidup di lingkungan sub-kultur Indonesia. Maka peribahasa “Meneguk air laut”
yang merupakan kependekan dari “Ibarat meneguk air laut, semakin diteguk
semakin haus” adalah kiasan yang dikemas dalam nuansa puitis yang masih hidup
dalam suku Melayu. Peribahasa ini masih sering diucapkan saat membaca
fenomena anomali dan kumuh dalam kehidupan seseorang atau dalam sistem
kekuasaan.
Bila kita pasangkan peribahasa ini
pada kelakuan seorang perwira tinggi Polri yang punya rumah sekian banyak, uang
simpanan ratusan miliar, bini yang bertebaran di berbagai kota, maka ungkapan
“meneguk air laut” sungguh tepat mengenai sasaran.
Air laut jika diminum tidak akan
menghilangkan dahaga. Bahkan semakin diminum, kerongkongan semakin terasa
kering, karena airnya asin. Jika seseorang tak punya visi moral yang jelas dan
tajam dalam hidup, nafsu memburu harta, kekuasaan, dan kesenangan duniawi tidak
akan pernah terpuaskan sampai malaikat maut merenggut nyawanya. Makna ungkapan
dalam ayat pertama dan kedua surat al-Takâstur: “Kamu telah dilengahkan
oleh [nafsu] bermegah-megah. Sampai kamu mendatangi kubur.” Bermegah-megah
dengan uang miliaran, rumah di berbagai kota, dan bini yang banyak, adalah di
antara sasaran strategis yang dibidik oleh firman itu.
Kasus perwira Polri di atas
hanyalah satu dari sekian ratus kelakuan busuk yang telah puluhan tahun
“dipelihara” oleh institusi polri ini.
Jika semuanya dibongkar dan dibuka
di pengadilan, maka seluruh penjara tidak akan bisa menampung jumlah nara
pidana yang biasa “meneguk air laut” ini.
Kasus-kasus serupa di dunia
APBN/APBD, perpajakan, pelabuhan, BUMN/BUMD, bea-cukai, dan di ranah basah
lainnya, sudah bukan berita lagi, karena demikian mewabahnya. Sebagian aparat
penegak hukum kita juga punya hobi “meneguk air laut” ini, untuk kemudian yang
ketahuan diadili dan masuk bui. Ada pun yang tidak ketahuan, kasusnya pasti
akan digelar di Mahkamah Akhirat tanpa didampingi pengacara yang biasa mahir
dalam mengakali fasal-fasal hukum dan UU. Tetapi di lingkungan kultur
pragmatisme tunamoral dan tunavisi, siapa yang masih mau percaya kepada doktrin
eskatologis yang menyangkut adanya kehidupan pasca kematian?
Situasinya menjadi semakin runyam
dan batas moral semakin kabur, ketika mereka yang berlagak suci juga berlomba
dalam “meneguk air laut” itu.
Inilah Indonesia kita yang perlu
secepatnya dibenahi dan diluruskan dengan menampilkan para pemimpin yang
berhati nurani, akal sehat, dan punya nyali luar biasa untuk menghentikan semua
anomali yang jelas menyengsarakan rakyat banyak ini. Bangsa ini pasti punya
tipe pemimpin serupa itu, tetapi perlu dicari dalam tempo dekat ini agar para
“peneguk air laut” itu dihentikan dalam pesta petualangan hitamnya yang biadab
itu.
0 komentar:
Posting Komentar