KASUS PERTAMA: Substansi Materi.
Ribuan tahun para ahli Fisika mencoba memahami
eksistensi alam semesta. Mulai
dari eksistensi benda, eksistensi energi, eksistensi ruang, eksistensi waktu,
dan eksistensi informasi. Hasilnya, sampai sekarang masih jauh dari kata
‘final’.
Apakah yang disebut ‘benda’? Orang dulu menyebut benda sebagai
segala yang tampak oleh mata dan atau bisa dipegang oleh tangan kita.
Begitulah sederhana definisinya. Maka, kita bisa menyebut segala yang kita
namai benda itu, mulai dari bebatuan, pepohonan, pegunungan, air, udara, sampai
benda-benda langit nun jauh disana.
Seiring dengan kemajuan sains, manusia mulai
mempertanyakan, apakah substansi benda itu. Apakah ia berupa ‘gumpalan’ seperti yang kita
lihat, ataukah tersusun dari substansi yang lebih mendasar. Maka, mulailah berkembang berbagai
penelitian yang menghasilkan teori-teori ilmiah untuk mendefinisikan benda atau
materi secara lebih substansial.
Bahwa ternyata semua benda tersusun dari
gumpalan-gumpalan yang lebih kecil yang masih memiliki sifat sama dengan
gumpalan besarnya. Maka,
disebutlah ia sebagai molekul. Ada molekul air, molekul udara, molekul bebatuan, dan sebagainya.
Lebih jauh, molekul-molekul itu ternyata juga tersusun dari bagian lebih kecil, yang
lebih mendasar, yang disebut sebagai atom, berasal dari kata Yunani atomos yang bermakna
tidak bisa dibagi lagi. Di tingkat atom ini para peneliti menemukan sifat
lebih mendasar yang bisa berbeda dengan gumpalan benda asalnya. Bahwa benda alias materi itu ternyata tersusun dari kumpulan ‘sesuatu’
berbeda-beda yang membentuk sebuah komposisi khas. Air misalnya, ternyata adalah kumpulan atom
hidrogen dan oksigen dalam komposisi yang khas, yakni 2 atom Hidrogen dan 1
atom oksigen. Sehingga diformulasikan sebagai H2O.
Kumpulan
atom-atom itu membentuk benda-benda dalam berbagai skala, mulai dari yang
sederhana dalam bentuk molekul unsur seperti Hidrogen, Oksigen, Nitrogen, Besi,
Belerang, dan sebagainya sampai persenyawaan kompleks seperti molekul gula,
protein, lemak, kayu, bebatuan, minyak, berbagai macam mineral, dan sebagainya.
Dalam skala molekul, manusia kini sudah bisa
‘melihat’ dengan peralatan seperti mikroskop elektron atau teknik kristalografi
lainnya. Tetapi di skala
atomik yang lebih kecil, pemahaman atas realitas benda sudah sedemikian sulit,
sehingga harus menggunakan permodelan lewat cara-cara tak langsung. Meskipun
pengamatannya sudah lebih dari dua ratus tahun.
Bentuk benda
dalam skala atom hanyalah berupa kebolehjadian yang diteorikan belaka, dimana
setiap permodelan bisa menunjukkan hasil yang berbeda. Pendapat tentang bentuk atom itu berkembang terus mulai dari model Atom
Dalton (1803) yang menganggap atom sebagai bola pejal.
Lantas disempurnakan oleh JJ Thomson (1897) dengan
mengatakan, atom adalah bola pejal yang bermuatan positif, dan di dalamnya
tersebar muatan negatif elektron. Perkembangan selanjutnya diperoleh Rutherford (1911) yang
mengajukan model bahwa atom terdiri dari inti atom yang sangat kecil dan
bermuatan positif, dikelilingi oleh elektron yang bermuatan negatif.
Lebih jauh, Niels Bohr (1913) mengajukan model atom semacam tata surya, yang intinya
dikelilingi oleh elektron-elektron pada lintasan-lintasan tertentu sebagai
kulit atom atau tingkat energi.
Dan akhirnya, model atom modern diajukan oleh
Fisikawan Erwin Schrodinger (1926) berdasar teori kuantum. Ternyata model ini tetap tidak bisa
memberikan kepastian bentuk atom. Karena mesti dijelaskan dengan menggunakan
mekanika kuantum yang bertumpu pada ‘teori ketidakpastian’ Heisenberg.
Bahwa atom adalah penyusun benda paling kecil yang
berisi inti positif dengan dikelilingi oleh awan elektron bermuatan negatif,
dimana posisinya tidak bisa ditentukan secara tepat. Jadi, teori modern malah semakin mengukuhkan
ketidakpastian bentuk atom.
Dengan kata lain, manusia tidak bisa menentukan secara persis bentuk benda dalam skala atom. Apalagi di bagian-bagian yang lebih kecil
lagi, kondisinya menjadi sedemikian abstrak. Dan, kemudian hanya berkutat pada simbol-simbol
belaka, tanpa bisa menyaksikan sosoknya.
Jadi, kenyataannya, manusia tidak bisa melihat
atom. Juga tidak bisa
melihat inti maupun elektron yang berputaran di sekelilingnya itu. Tapi kenapa kita percaya akan keberadaannya? Ya, karena kita bisa melihat
efeknya. Bisa merasakan ‘hasil perbuatannya’. Sehingga, kita mengatakan ia
‘ada’.
Tetapi, kalau kemudian
ada yang meminta bukti dengan mengatakan, “Mana itu yang disebut atom? Tolong
tunjukkan bukti keberadaannya secara kasat mata kepada saya.” Seseorang mungkin hanya akan garuk-garuk
kepala. Karena dia tidak bisa menunjukkan langsung bendanya. Kecuali hanya
‘sifat-sifat’ yang terpantul dari berbagai peristiwa yang terjadi padanya.
Jadi, bagaimana
cara membuktikan keberadaan atom-atom yang tak bisa dijangkau oleh indera
manusia itu? Ya, selidiki dan simpulkan saja ‘bekas-bekas’ keberadaannya dalam
berbagai peristiwa. Karena, dijamin Anda tidak akan bisa melihatnya. Kalau
kemudian itu ditanggapi dengan skeptis bahkan tidak percaya bahwa jejak-jejak itu
mewakili ‘keberadaannya’, ya sudah. Mau diapakan lagi, wong pemahamannya memang
baru segitu.
Nah, yang
demikian ini semakin kritis pada wilayah yang semakin halus. Misalnya pada
tingkat partikel-partikel subatomik seperti elektron, proton, neutron, bahkan
neutrino, dimana jejak-jejaknya semakin samar untuk dilacak. Apalagi bentuknya.
Para ilmuwan, selain menggunakan perangkat ilmiah,
lantas menggunakan perangkat ‘keimanan’ dalam melacak keberadaan
partikel-partikel tersebut. Jika mereka skeptic(ragu) dan tidak percaya akan keberadaannya, mereka
bakal betul-betul tidak menemukannya. Asumsinya harus dimulai dari rasa percaya terlebih
dahulu. Dan ‘berharap’ bisa bertemu dengannya. Barulah dikerjakan penelitian
ilmiahnya.
Kalau kemudian
ada yang menyebut ini menyalahi metode ilmiah, dan tidak bisa menerima, ya
silakan saja. Bahwa proses ilmiah kok dimulai dengan ‘mempercayai’ sesuatu yang
belum terbukti. Dan, bahkan ‘berharap’. Ini sikap yang ‘diharamkan’ oleh para
penganut skeptisisme.
Tetapi itulah yang terjadi pada proses
penemuan-penemuan ilmiah selama ini. Bahwa asumsi ternyata seringkali dimulai
secara ‘tidak ilmiah’ terlebih dulu, agar memperoleh ‘kebenaran ilmiah’ di fase
selanjutnya. Bagaimana
bisa menemukan sesuatu, kalau ia tidak pernah percaya pada sesuatu itu? Mereka
hanya akan berputar-putar di dalam keragu-raguan dan skeptisisme. Para peneliti tidak pernah meletakkan dasar skeptisisme dalam hidupnya.
Mereka adalah orang yang selalu positive thinking dan open mind dalam memahami
dan menggali realitas.
Kenapa Stephen Hawking meragukan keberadaan Tuhan
sebagai pencipta alam semesta? Karena dia bukan peneliti. Dia hanya teoritisi yang tidak mengamati
langsung realitas ciptaan Tuhan yang membuat para peneliti terkagum-kagum.
Hawking hanya utak-atik simbol-simbol matematis di dalam benaknya sendiri,
di dalam persepsinya sendiri, yang sudah skeptis terhadap keberadaan Allah.
Tentu dia tak bisa merasakan kehadiran-Nya.
Pertanyaan
tentang substansi materi bukan hanya berhenti di level partikel subatomik,
tetapi telah menyentuh partikel penyusun yang disebut sebagai quark. Semakin
jelas, para peneliti tidak bisa ‘menangkap’ bentuknya kecuali hanya bemain-main
dengan ‘keimanan’ yang diilmiahkan.
Bahwa quark ini
adalah partikel paling dasar yang tidak bisa dipecah lagi. Bahwa ia berbentuk
seperti pilinan energi. Padahal kita semua tidak tahu bentuk energi itu seperti
apa. Karena, energi memang bukanlah kuantitas yang berbentuk, melainkan sebuah
kualitas. Jadi, bagaimana Anda bisa ‘percaya’ dengan keberadaan penyusun paling
dasar dari materi ini?
Hal itu mirip
dengan sifat dualitas elektron yang sangat ‘membingungkan’. Bahwa elektron
memiliki sifat materi dan gelombang sekaligus. Padahal, materi bukanlah
gelombang, dan sebaliknya gelombang bukan materi. Yang satu kuantitas, yang
lainnya kualitas. Ini fakta ataukah opini? Dan, kenapa Anda percaya saja? Para
ilmuwan akhirnya hanya bisa bersikap ‘beriman’ dengan mengatakan: ya sudah kita
terima saja realitas ini.
Pada level yang semakin halus dari sebuah
eksistensi, memang ‘fakta’ semakin tak bisa dibedakan dan dipisahkan dengan
‘kepercayaan’ atau ‘keimanan’. Kenapa? Karena kita tidak memiliki perangkat yang memadai untuk
membuktikannya. Kecuali harus mencampurnya dengan kepercayaan, bahkan harapan.
Orang-orang yang
tak punya ‘kepercayaan’, ‘keimanan’ dan ‘harapan’ tidak akan pernah bisa
‘merasakan’ kehadiran eksistensi yang sedemikian halus itu. Karena telah ada
mental block yang menghalangi kecerdasannya terhadap realitas.
Begitulah Al Qur’an mengajari kita untuk merasakan
kehadiran Allah, Tuhan yang Maha Halus. Orang-orang yang tidak memiliki kepercayaan dan
harapan untuk bertemu dengan-Nya, tidak akan pernah bisa membuktikan
keberadaan-Nya. Karena, mereka tidak memiliki perangkat yang cukup untuk
‘merasakan’ kehadiran-Nya. Karena eksistensi-Nya jauh lebih halus dari
eksistensi apa pun yang sudah sedemikian halus itu. Karena Dia memang Dzat yang
Maha Halus.
QS. Al An’aam (6): 103
Dia tidak
dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
penglihatan. Dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
~ wallahu a'lam
bishshawab ~
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar