Perasaan adalah hal yang abstrak, agaknya benar. Tetapi, apakah karenanya lantas
tidak bisa diukur? Eh, kayaknya nanti dulu. Karena, upaya untuk mengukur
perasaan itu kini semakin menunjukkan hasil. Meskipun upaya itu masih terus
berproses menuju kualitas yang lebih baik.
Bagaimana cara mengukur perasaan? Tentu saja tidak bisa langsung. Melainkan harus diterjemahkan dulu ke
bahasa alat. Mirip dengan mengukur gelombang radio atau televisi misalnya.
Kita tidak pernah bisa ’melihat’ gelombang radio dan televisi itu dalam bentuk
yang sesungguhnya dengan mata dan telinga. Tetapi, kita lantas bisa melihat
dan mendengarnya ketika sudah dilewatkan alat terlebih dahulu.
Tenyata, penelitian mutakhir semakin mengarah kepada kemampuan untuk
mengukur perasaan itu. Asal muasalnya, disebabkan oleh munculnya zat-zat
biokimiawi yang diproduksi oleh otak seiring dengan berubahnya perasaan
seseorang. Namanya neurotransmitter. Ada sangat banyak jenis
neurotransmitter, yang ternyata sangat khas terkait dengan jenis-jenis perasaan
yang terjadi. Neurotransmitter untuk kemarahan berbeda dengan kesedihan,
berbeda dengan kegembiraan, berbeda dengan kemalasan, berbeda dengan kecemasan
dan sebagainya.
Nah dengan memanfaatkan zat-zat yang diproduksi oleh sel-sel otak itu, kini
’perasaan’ semakin bisa didefinisikan, dan bahkan kemudian diukur kualitas
maupun besarnya. Perasaan gembira misalnya, ternyata adalah identik dengan
diproduksinya neurotransmitter bernama enkefalin oleh sel-sel otak.
Sedangkan rasa cemas, identik dengan keluarnya adrenalin yang membuat
jantung berdebar-debar dan berkeringat dingin. Dan, perasaan malas disebabkan
oleh munculnya neurotransmitter GABA dan Serotonin.
Proses ini bisa berlaku sebaliknya. Yakni, jika seseorang diinjeksi dengan
zat-zat tersebut, yang tadinya tidak gembira bisa menjadi gembira. Yang tadinya
tidak cemas bisa menjadi cemas. Yang tadinya tidak malas bisa menjadi malas. Yang tadinya penakut, bisa
menjadi pemberani. Yang tadinya sedih bisa menjadi tertawa terus menerus. Dan
seterusnya. Wah, ternyata ’perasaan’ mulai bisa dikuantifikasi dengan
peralatan...
Sebagian zat itu terkandung di dalam Narkoba. Karena itu, para pemakai
narkoba bisa menjadi seperti orang gila dan berperilaku ’aneh’ dikarenakan
zat-zat yang terkandung di dalamnya mempengaruhi kerja otaknya. Ada yang terus menerus tertawa,
padahal tidak ada yang lucu dari apa yang dilihatnya. Ada yang menjadi tidak
punya rasa takut. Ada yang menjadi ’tenang’ berlebihan. Ada pula yang menjadi
beringas. Dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, ternyata ’perasaan’ bisa dikonversi menjadi zat-zat
neurotransmitter. Dan sebaliknya, zat-zat tersebut bisa dikonversi kembali
menjadi perasaan. Dengan demikian, ini bisa dijadikan sebagai media untuk mengukur perasaan.
Bukan hanya pada kualitasnya, melainkan juga pada ’dosis’nya secara
kuantitatif.
Pengukuran yang lebih maju adalah yang dilakukan secara elektromagnetik. Saya termasuk yang melakukan
pengukuran dengan alat semacam itu, yakni menggunakan kamera aura. Dengan
mengobservasi getaran tubuh seseorang, ternyata kita bisa mengukur ’suasana
hati’ alias perasaannya. Yaitu, setelah diterjemahkan terlebih dahulu menjadi
warna-warna cahaya. Tinggi rendahnya frekuensi pada diri seseorang ternyata
menggambarkan seberapa besar tingkat emosinya.
Jika emosinya sedang tinggi, maka jantung sebagai ’Hati Luar’ akan
bergejolak, berdegup-degup tidak beraturan. Getaran jantung itu merembet ke seluruh tubuh,
bisa sampai menyebabkan tangan seseorang gemetaran, bibirnya juga bergetar,
dan seluruh tubuhnya menggeletar. Jika dalam kondisi demikian, badan orang
itu dihubungkan ke sensor kamera aura, maka bisa dipastikan warna auranya
akan merah.
Derajat warna merah itu bermacam-macam, mulai dari yang gelapsampai yang
terang. Dan bisa
menunjukkan seberapa besar tingkat kemarahannya. Bahkan alat di klinik aura
kami, di Surabaya, bisa merekam secara video dalam kurun waktu tertentu.
Sehingga akan terlihat perubahan warnanya secara realtime. Pada saat
orang tersebut bisa mengendalikan emosinya, warna merahnya memudar, kemudian
berganti menjadi warna-warna yang lebih sejuk. Misalnya, hijau, biru, nila,
ungu, sampai putih.
Getaran jantung, getaran perasaan di Otak, dan warna-warna aura yang
dihasilkan selalu sinkron secara konsisten. Ini menunjukkan, bahwa perasaan di otak yang
sangat abstrak itu setelah ditransfer ke jantung menjadi desiran
elektromagnetik yang bisa diukur kualitas dan besarnya. Dengan memahami
ilmu warna aura, kita lantas bisa menerjemahkan makna warna itu secara
psikologis kembali, bahwa seseorang itu sedang berada dalam pengaruh perasaan
tertentu.
Sebagai perbandingan, Anda bisa melihat hasil penelitian yang dilakukan
oleh pakar-pakar Brain-Heart dari Institute of HeartMath. Bahwa gelombang
jantung dan otak itu ternyata sangat riil hubungannya sehingga bisa diukur
langsung dengan menggunakan Electro Cardio Graph (ECG) dan Electro Encephalog
Graph (EEG).
Pancaran gelombang perasaan yang berasal dari otak yang masih lemah, akan
menjadi berlipat kali lebih kuat ketika getarannya sudah diresonansikan ke
jantung. Ini karena kuat medan jantung berlipat-lipat kali lebih besar
dibandingkan otak. Sehingga seperti masuk ke dalam amplifier saja
layaknya. Dan kemudian bisa menebar keluar dirinya.
Dalam penelitian itu bisa digambarkan Kuat Medan Elektromagnetik yang
muncul dari getaran jantung seseorang. Radiasinya bisa diukur sampai jarak 1
meter lebih dari tubuhnya. Sehingga, bisa mengimbas kepada orang-orang yang berada di dekatnya. Inilah
penjelasannya, kenapa berdekatan dengan orang yang emosional, Anda akan
ikut-ikutan emosional. Dan berdekatan dengan orang-orang yang sabar, Anda akan
terimbas menjadi sabar pula. Ternyata getaran jantung (Qalb)
Anda teresonansi oleh getaran jantung (Qalb) seseorang yang ada di dekat
Anda itu.
Bukan hanya kuat medannya, ternyata pola gelombangnya pun bisa menjadi
sinkron ketika perasaan kita dengan seseorang itu sepaham dan saling mengerti. Disana
juga digambarkan gelombang otak dan gelombang jantung orang yang bersalaman.
Ketika belum bersalaman, gelombang otak si A berbeda dengan gelombang jantung
si B (tentu saja). Tetapi, ketika bersalaman, gelombang otak si A
sinkron dengan gelombang jantung si B, dalam bentuk gelombang yang
harmonis.
Maka, apa kesimpulannya…?
Ternyata, manusia memancar-mancarkan gelombang elektromagnetik yang
berporos pada mekanisme Otak-Jantung yang kita kenal sebagai bahasa Qalbu.
Pancaran itu bisa bersifat internal ~ dalam diri sendiri antara dada & kepala ~ maupun eksternal
yang mengimbas orang lain di sekitarnya. Perasaan lembut akan menularkan
kelembutan, perasaan kasar akan menularkan suasana emosional yang membuat orang
di sekitarnya tidak betah, dan kemudian pergi menjauhinya..!
QS. Ali Imran (3): 159
Maka disebabkan perasaan penuh kasih (rahmat) dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu...
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~
Agus Mustofa
0 komentar:
Posting Komentar