Oleh: Dr. Adian Husaini
“Soal akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah,
sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik.
Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan
syirik.”
(Prof.
Hamka, dalam Tafsir al-Azhar).
PERLU digarisbawahi, saat menonton film “?” (Tanda Tanya)
pada tayangan perdana, 6 April 2011 lalu, saya adalah seorang Muslim. Saat
memberikan komentar dan memberikan catatan kritis ini, saya juga tetap Muslim,
dan saya menggunakan perspektif Islam dalam menganalisis film “?”. Sebagai
Muslim, saya telah berikrar: Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah.
Dengan syahadat Islam itu, saya bersaksi, saya mengakui,
bahwa Tuhan saya adalah Allah. Tuhan saya bukan Yahweh, bukan Yesus, bukan
Syiwa. Tuhan saya Satu. Tuhan saya tidak beranak dan tidak diperanakkan. Saya
mengenal nama dan sifat Allah bukan dari budaya, bukan dari hasil konsensus,
tapi dari al-Quran yang saya yakini sebagai wahyu dari Allah kepada Nabi
Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم).
Karena itu, sejak dulu, dan sampai kiamat, saya dan semua orang Muslim
memanggil Tuhan dengan nama yang sama, Allah, yang jelas-jelas berasal dari
wahyu.
Sebagai Muslim, saya yakin, bahwa Nabi Muhammad
Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى
الله عليه و سلم) diutus oleh Allah sebagai nabi terakhir.
Sebagaimana para nabi sebelumnya – seperti Nabi Musa dan Nabi Isa a.s. – inti
ajaran Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) adalah Tauhid, yaitu mensatukan Allah. Nabi Muhammad saw
diutus untuk seluruh manusia (QS 34:28), bukan hanya untuk bangsa atau kurun
tertentu.
Itu artinya, kebenaran Islam, bukan hanya berlaku untuk
orang Islam, tetapi berlaku untuk semua manusia. Syariat Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi
Wasallam (صلى الله عليه و سلم) saat ini adalah satu-satunya syariat yang sah untuk seluruh
manusia. Cara beribadah kepada Allah –
satu-satunya – yang sah hanyalah dengan syariat Nabi Muhammad Shalallaahu
'Alaihi Wasallam. Jalan yang sah menuju Tuhan hanyalah jalan yang dibawa Nabi
Muhammad.
Akal saya tidak bisa menerima satu logika, yang
menyatakan, bahwa Allah telah menurunkan Nabi-Nya yang terakhir, dan kemudian
Allah SWT membebaskan manusia untuk memanggil nama-Nya dengan nama apa pun,
sesuai dengan selera manusia. Juga, tidak
masuk di akal saya, pendapat yang menyatakan, bahwa Allah SWT membebaskan
manusia untuk menyembah-Nya dengan cara apa pun, sesuai dengan kreativitas akal
dan hasrat nafsu manusia.
Saya yakin, sesuai
QS 3:19 dan 3:85, bahwa Allah hanya menurunkan satu agama untuk seluruh
Nabi-Nya, yakni agama yang mengajarkan Tauhid (QS 16:36). Jika satu agama tidak
mengajarkan Tauhid, pasti bukan agama yang diturunkan Allah untuk para Nabinya;
dan pasti merupakan agama budaya (cultural religion).
Itu keyakinan saya sebagai Muslim. Dan itu konsekuensi
logis dari syahadat yang saya ikrarkan!
*****
Alkisah, Rika, seorang
istri yang kecewa terhadap suami. Rika memutuskan pindah agama, dari Islam
menjadi Katolik. Ia berujar, bahwa kepindahan agamanya bukan berarti
mengkhianati Tuhan. Meskipun Katolik, Rika sangat toleran.
Anaknya , – masih kecil, bernama Abi –dibiarkannya tetap Muslim. Bahkan, ia
mengantarjemput anaknya ke masjid, belajar mengaji al-Quran. Di bulan puasa,
dia temani dan dia ajar Abi berdoa makan sahur.
Di Film “?” (Tanda
Tanya), Rika ditampilkan sebagai sosok ideal: murtad dari Islam, tapi toleran
dan suka kerukunan. Pada segmen lain, secara verbatim Rika
mengatakan, BAHWA agama-agama ibarat
jalan setapak yang berbeda-beda tetapi menuju tujuan yang sama, yaitu
Tuhan. Kata Rika mengutip ungkapan sebuah buku,
“… semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama; mencari satu hal yang sama
dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.”
Mulanya, kemurtadan Rika tidak direstui ibunya. Anaknya
yang Muslim pun awalnya menggugat. Tapi,
di ujung film, Rika sudah diterima sebagai “orang murtad” dari Islam. Bahkan,
ada juga yang memujinya telah mengambil langkah besar dalam hidupnya.
Kisah dan sosok Rika cukup mendominasi alur cerita dalam
film “?” garapan Hanung Bramantyo ini. Rika tidak dipersoalkan kemurtadannya. Padahal, dalam pandangan Islam, murtad adalah
kesalahan besar. Saat duduk di
bangku SMP, saya sudah menamatkan satu Kitab berjudul Sullamut Tawfiq karya
Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim. Kitab ini
termasuk yang mendapatkan perhatian serius dari Imam Nawawi al-Bantani,
sehingga beliau memberikan syarah atas kitab yang biasanya dipasangkan dengan
Kitab Safinatun Najah.
Dalam kitab inilah, sebenarnya umat Islam diingatkan
agar menjaga Islamnya dari hal-hal yang membatalkannya, yakni murtad (riddah).
Dijelaskan juga dalam kitab ini, bahwa ada tiga jenis riddah, yaitu murtad dengan I’tiqad, murtad dengan
lisan, dan murtad dengan perbuatan. Contoh murtad dari segi I’tiqad, misalnya,
ragu-ragu terhadap wujud Allah, atau ragu terhadap kenabian Muhammad saw, atau
ragu terhadap al-Quran, atau ragu terhadap Hari Akhir, sorga, neraka, pahala,
siksa, dan sejenisnya.
Masalah kemurtadan ini senantiasa mendapatkan perhatian
serius dari setiap Muslim, sebab ini sudah menyangkut aspek yang sangat
mendasar dalam pandangan Islam, yaitu masalah iman. Dalam pandangan Islam,
murtad (batalnya keimanan) seseorang, bukanlah hal yang kecil. Jika iman batal,
maka hilanglah pondasi keislamannya. Banyak ayat al-Quran yang menyebutkan
bahaya dan resiko pemurtadan bagi seorang Muslim.
”Barangsiapa yang
murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka
Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS 2:217).
“Dan orang-orang kafir
amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka
air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak
mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu
Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah
sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS 24:39).
Jadi, riddah/kemurtadan
adalah masalah besar dalam pandangan Islam. Entahlah dimata kaum
Pluralis! Tindakan murtad bukan untuk dipertontonkan dan dibangga-banggakan!
Dalam perspektif Islam, patutkah seorang bangga dengan kekafirannya?
*****
Masih menyorot sosok Rika dalam film “?”. Rika pindah
agama, dari Islam menjadi Katolik. Dalam konsepsi Islam, Rika bisa dikatakan
telah melakukan dosa syirik, karena mengakui Yesus sebagai Tuhan atau salah
satu Oknum dalam Trinitas. Padahal,
dalam al-Quran Nabi Isa a.s. jelas-jelas menegaskan dirinya sebagai Rasul Allah. Nabi Isa adalah manusia, dan
bukan Tuhan, atau anak Tuhan. Ini
pandangan Islam. Tentu, ini bukan pandangan Kristen.
Dalam perspektif
Islam, menurunkan derajat al-Khaliq ke derajat makhluk adalah tindakan
tidak beradab. Begitu juga sebaliknya, menaikkan derajat makhluk ke derajat
al-Khaliq juga tidak beradab. Itu musyrik namanya. Seorang presiden saja tidak
mau disamakan dengan rakyat biasa. Jika lewat, dia minta diistimewakan. Kita
diminta minggir. Binatang juga dibeda-bedakan tempat atau kandangnya. Adab -- dalam konsepsi Islam -- mewajibkan seorang Muslim meletakkan
segala sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang sebenarnya, sesuai
ketentuan Allah. Nabi Isa a.s. adalah utusan Allah.
Tugasnya menyampaikan kepada Bani Israel, siapa Tuhan
yang sebenarnya, dan bagaimana cara menyembah-Nya. Nabi Isa a.s. melanjutkan
syariat Nabi Musa a.s.
Menuduh Allah mempunyai anak – menurut al-Quran – adalah
sebuah kesalahan yang sangat serius. “Dan
mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.
Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar,
hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu dan bumi terbelah dan
gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.”
(QS Maryam(19):
88-91).
Islam memandang keimanan sebagai hal terpenting dan
mendasar dalam kehidupan. Iman akan dibawa mati. Iman lebih dari soal suku,
bangsa, bahkan hubungan darah. Iman bukan “baju”, yang bisa ditukar dan dilepas
kapan saja si empunya suka. Iman juga
tidak patut diperjualbelikan: ditukar dengan godaan-godaan duniawi. Ada
perbedaan prinsip antara mukmin dan kafir.
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik
(akan masuk) neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya.” (QS 98:6).
Demi mempertahankan iman, Nabi Ibrahim a.s. rela
berpisah dengan ayah dan kaumnya. Melihat tradisi penyembahan berhala pada
keluarga dan kaumnya, Ibrahim a.s. tidak berpikir sebagai seorang Pluralis yang
menyatakan, bahwa semua agama menyembah
Tuhan yang sama, dan punya tujuan yang sama. Tapi, Nabi Ibrahim berdiri kokoh
pada prinsip Tauhid, mengajak kaumnya untuk meningalkan tradisi syirik.
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya,
Azar, pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala ini sebagai tuhan-tuhan?
Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau dalam kesesatan yang nyata.”
(QS 6:74).
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku,
jadikan negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku dan anak
cucuku dari menyembah berhala-berhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala
itu telah menyesatkan kebanyakan dari manusia, maka barangsiapa yang
mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa
yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS 14:35-36)
“Ibrahim bukanlah
Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif dan lurus, dan dia bukanlah orang musyrik.”
(QS 3:67).
Dan kini, dalam setiap shalat, kaum Muslim membacakan
doa untuk Nabi Muhammad saw dan sekaligus dirangkaikan dengan doa untuk Nabi
Ibrahim a.s. Itu tentu karena kegigihan Nabi Ibrahim dalam menegakkan ajaran
Tauhid dan bukan karena Nabi Ibrahim seorang musyrik!
Maka, sebagai Muslim, saya tentu boleh merasa heran, dan
penuh Tanda Tanya, mengapa dalam film
“?” -- yang diproduksi dan digarap seorang yang beragama Islam -- soal ganti agama, soal keluar dari
Islam, soal pergantian mukmin menjadi
kafir, dianggap perkara kecil dan remeh?
*****
Syahdan, para pemikir
ateis, seperti Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, Jean Paul Sartre
dan sejenisnya, terkenal dengan gagasan-gagasan yang memandang agama dan Tuhan
sudah tidak diperlukan lagi di era zaman modern ini. Mereka beramai-ramai mempermainkan Tuhan.
Jean-Paul Sartre (1905-1980) menyatakan: “even if God existed, it will still
necessary to reject him, since the idea of God negates our freedom.” (Karem
Armstrong, History of God, 1993). Thomas J. Altizer, dalam “The Gospel of Christian Atheism”
(1966) menyatakan: “Only by accepting and even willing the death of God in our
experience can we be liberated from slavery…” (Karen Armstrong, History of God)
Friedrich Nietzsche,
dalam karyanya, Also Sprach Zarathustra, mengungkap gagasan bahwa “Tuhan sudah
mati”. Karena Tuhan sudah mati, dan tidak diperlukan lagi,
Nietzsche berpendapat, “Kepercayaan
adalah musuh yang lebih berbahaya bagi kebenaran, dibanding kebohongam.” Nietzsche
ingin bebas dari segala aturan moral, ingin bebas dari Tuhan. Ujungnya, pada 25
Agustus 1900, ia mati setelah menderita kelainan jiwa dan penyakit kelamin.
(Lihat, B.E. Matindas, Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern, 2010).
Jika direnungkan secara serius, Pluralisme
Agama sejatinya bisa begitu dekat dengan ateisme. Ketika orang menyatakan, “semua agama benar”,
sejatinya bersemayam juga satu ide dalam
dirinya, bahwa “semua agama salah”.
Sebab, “Tuhan” (God), yang dipersepsikan kaum Pluralis adalah Tuhan yang
abstrak. Tuhan kaum Pluralis adalah
Tuhan dalam angan-angan (abstrak), yang boleh diberi nama siapa saja, diberi
sifat apa saja, dan cara menyembahnya pun
boleh suka-suka. Kapan suka disembah, kapan-kapan tidak suka, bisa
diganti dengan Tuhan lain. Cara menyembah Tuhan, menurut mereka, juga
sesuka selera manusia. Bosan dengan cara satu, bisa diganti dengan cara lain.
Sebab, dalam konsep mereka, tidak ada satu cara yang pasti benar dalam ibadah,
sesuai petunjuk seorang Nabi.
Tuhan dalam Islam
mengharamkan babi. Pada saat yang sama, Tuhan dalam agama Kristen menghalalkan
babi. Tuhan, dalam
agama Bhairawa Tantra, memerintahkan
agar menyembelih wanita dan darahnya kemudian diminum bersama-sama. Tuhan dalam
agama Children of God menganjurkan seks bebas, sebagai wujud rasa kasih sayang
antar-sesama manusia. Kini, di daratan
Amerika dan Eropa bermunculan gereja-gereja nudis. Baik pendeta maupun
jemaatnya, semuanya telanjang bulat saat melakukan kebaktian. Jika
semua jenis “Tuhan” itu diangga sama saja, maka “Tuhan” yang mana yang disembah
kaum Pluralis?
Jadi, saat seorang yang mengaku Pluralis berkata, “Semua agama menyembah Tuhan yang
sama”, maka secara hakiki, dia telah
berdiri di luar Islam. Sebab, dia tidak
lagi menuhankan Allah. “Tuhan”, baginya,
bisa siapa saja, berupa apa saja, dan berwujud apa saja. Bisa
disebut Yehweh, bisa Allah, bisa Yesus, bisa Brahmin, dan bisa juga Iblis! Yang
penting dikatakan “Tuhan”, yang penting God!
Padahal, seorang Muslim sudah mengikrarkan syahadat: “Tidak ada Tuhan
selain Allah”.
Meskipun menyebut Tuhan mereka dengan “Allah”,
tetapi kaum Quraisy ketika itu dikatakan
sebagai “musyrik”, sebab mereka
menyekutukan Allah dengan Tuhan-tuhan lain.
Allah hanyalah salah satu dari Tuhan-tuhan mereka; bukan Tuhan
satu-satunya. Sebutan bisa sama, yakni “Allah”, tetapi konsepnya berbeda-beda.
Sebagian besar kaum Kristen di
Indonesia menyebut juga Tuhan mereka dengan sebutan “Allah”, tetapi konsepnya
berbeda dengan “Allah” dalam Islam.
Lain lagi dengan aliran
“Darmogandul” di Tanah Jawa, yang mengartikan Allah dengan “ala” (bahasa
Jawa, artinya jelek). Dalam salah satu
bait Pangkur-nya, Kitab Darmogandul,
menyatakan: “Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik,
mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut
nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya
saja, dalam hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.”
Jadi, Tuhan yang mana
yang disembah kaum Pluralis? Jika Tuhan
apa pun sama saja, lalu apa artinya Tuhan bagi mereka? Ujung-ujungnya bisa jadi: Tuhan tidak
penting! Sebab, dalam pandangan kaum ini, Tuhan yang sejati (Allah), atau
manusia, atau setan dianggap sama saja. Semua bisa menjadi
Tuhan dan dituhankan. Ujung-ujungnya,
Tuhan dianggap tidak penting. Bandingkan dengan sosok Sigmund Freud, psikolog dan salah satu perintis ateisme modern, yang
berteori bahwa “Bertuhan, hanyalah wujud gejala penyakit jiwa infantilisme
(penyakit kekanak-kanakan). (B.E. Matindas, ibid).
Ketidakjelasan posisi
teologis kaum Pluralis Agama, digambarkan oleh Dr. Stevri Lumintang, seorang
pendeta Kristen di Malang,
dalam bukunya, Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme
dalam Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004).
Dicatat dalam ilustrasi sampul buku ini, bahwa Teologi
Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis ; bahwa teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua
agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim
oleh masing-masing agama. Ditegaskan dalam buku ini: ‘’Inti Teologi Abu-Abu
(Pluralisme) merupakan penyangkalan terhadap intisari atau jatidiri semua agama
yang ada. Karena, perjuangan mereka membangun Teologi Abu-Abu atau teologi
agama-agama, harus dimulai dari usaha untuk menghancurkan batu sandungan yang
menghalangi perwujudan teologi mereka. Batu sandungan utama yang harus mereka
hancurkan atau paling tidak yang harus digulingkan ialah klaim kabsolutan dan
kefinalitas(an) kebenaran yang ada di masing-masing agama.’’
*****
Sosok lain yang secara
dominan ditampilkan dalam Film “?”
adalah seorang bernama Surya. Ia seorang
laki-laki Muslim, berprofesi sebagai aktor figuran. Dia berteman dengan Rika. Karena miskin, ia
terusir dari rumah kosnya. Lihatlah, dalam film ini, Ibu Kos yang “bakhil” itu
ditampilkan dalam sosok berjilbab, dan mengajari anak Rika agar membaca
buku-buku Islam!
Surya memuji-muji Rika telah melakukan sesuatu yang
berarti dalam hidupnya. Mereka berkawan akrab. Surya
ditampilkan sebagai sosok yang polos, kocak dan naif. Untuk
uang, dan mungkin untuk mempertontonkan fenomena “kerukunan umat
beragama”, Surya menerima tawaran Rika
agar berperan sebagai Yesus. Ia rela beradegan – seolah-olah -- dipaku
di tiang salib di sebuah Gereja Katolik saat perayaan Paskah. Pada kali lain,
ia berperan sebagai Santa Claus. Sebagian jemaat Gereja sempat memprotes sosok
Yesus diperankan seorang Muslim. Terjadi perdebatan. Muncul Pastor yang
menyetujui penunjukan Surya sebagai tokoh Yesus.
Seperti halnya Rika,
tampaknya sosok Surya ditampilkan sebagai representasi fenomena toleransi dan
“kerukunan”. Setelah merelakan dirinya berperan sebagai
Yesus, Surya kembali ke masjid membaca surat al-Ikhlas, sebuah surat dalam
al-Quran yang menegaskan kemurnian Tauhid. “Katakan, Allah itu satu.
Allah tempat meminta. Allah tidak beranak dan diperanakkan. Tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan-Nya.” Allah
itu satu! Allah tidak punya anak!
Ini gambaran dalam Film “?” karya Hanung ini.
Padahal, surat al-Ikhlas
seperti mengoreksi doktrin pokok dalam agama Kristen, yang dirumuskan sekitar
300 tahun sebelumnya, di Konsili Nicea (325 M), sebagaimana disebutkan dalam
Nicene Creed: “Kami
percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan
maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah,
Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah
dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi
tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa…” (Norman P. Tanner,
Konsili-konsili Gereja).
Padahal, al-Quran
sudah menjelaskan: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam
berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian,
yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar
gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (QS Ash Shaff (61):6). Dalam al-Quran, ada cerita Lukmanul Hakim yang
menesehati anaknya: “Syirik adalah kezaliman besar.” (QS 31:13).
Beratus tahun, sejak
kelahirannya, Islam membuktikan sebagai agama yang sangat toleran. Sejak awal,
Islam mengakui dan menghargai perbedaan, tanpa harus kehilangan keyakinan. Saat Nabi Muhammad s.a.w.
diutus, di wilayah Timur Tengah, sudah
eksis pemeluk Yahudi, Kristen, dan kaum musyrik Arab. Nabi Muhammad mengajak mereka
untuk memeluk Islam, mengakui Allah satu-satunya Tuhan dan dirinya adalah
utusan Allah. Nabi tidak menyatakan,
“Semua agama sama-sama jalan yang sah menuju Tuhan!” Bahkan, ada perintah al-Quran dalam surat al-Kafirun (109):
“Katakan, hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah! Dan
tidak pula kamu menyembah apa yang aku sembah! Dan aku bukanlah penyembah
sebagaimana kamu menyembah! Dan kamu bukanlah pula penyembah sebagaimana aku
menyembah!”
Dalam Tafsirnya, Al-Azhar, Prof. Hamka menjelaskan, asbabun nuzul surat al-Kafirun ini berkaitan
dengan tawaran damai empat tokoh kafir Quraisy yang resah dengan dakwah
Tauhid Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Mereka adalah al-Walid bin al-Mughirah, al-Ash bin Wail,
al-Aswad bin al-Muthalib dan Umaiyah bin Khalaf. Mereka mengajukan usulan: “Ya Muhammad! Mari kita berdamai. Kami bersedia
menyembah apa yang engkau sembah, tetapi engkau pun hendaknya bersedia pula
menyembah yang kami sembah….”
Buya Hamka
mencatat: “Soal akidah, diantara Tauhid
Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau
dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik,
artinya ialah kemenangan syirik.”
Lebih jauh Buya Hamka menjelaskan: “Surat ini memberi pedoman yang tegas bagi
kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah dapat diperdamaikan.
Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan. Kalau yang haq hendak dipersatukan
dengan yang batil, maka yang batil jualah yang menang.”
Itulah paparan Buya Hamka, ulama terkenal dan salah satu
Pahlawan Nasional di Indonesia. Kita bisa menyimpulkan, jika ada yang
menyatakan, bahwa “semua agama adalah
jalan kebenaran”, saat itu dikepalanya
telah hilang konsep iman dan kufur,
konsep tauhid dan syirik. Baginya, tiada
penting lagi, apakah seorang bertauhid atau musyrik; tak perlu dipersoalkan makan babi atau ayam,
minum khamr atau jus kurma; tidak
penting lagi berjilbab atau telanjang;
tiada beda antara nikah atau zina; yang penting – katanya – adalah mengasihi sesama manusia. Saat itu, sejatinya, agama-agama sudah tidak
ada; sudah diganti dengan SATU AGAMA: “agama global”, “agama universal”, “agama
kemanusiaan”, atau “agama cinta”.
Persaudaraan global antar-sesama tanpa memandang agama
menjadi misi terpenting dari kelompok lintas-agama semacam Theosofi dan
Freemason. Ketua Theosofische
Vereeniging Hindia Belanda, D. Van
Hinloopen Labberton pada majalah Teosofi bulan Desember 1912 menulis: "Kemajuan manusia itu dengan atau tidak
dengan agama? Saya kira bila beragama tanpa alasan, dan bila beragama tidak
dengan pengetahuan agama yang sejati, mustahil bisa maju batinnya. Tidak usah
peduli agama apa yang dianutnya. Sebab yang disebut agama itu sifatnya: cinta
pada sesama, ringan memberi pertolongan, dan sopan budinya. Jadi yang disebut
agama yang sejati itu bukannya perkara lahir, tetapi perkara dalam hati, batin.
Inikah yang dituju oleh Film “?” Jangan menuduh! Silakan
dicermati dan direnungkan!
*****
Masih ada sosok lain
yang diidolakan dalam film “?”. Namanya, Menuk.
Dia seorang muslimah, berjilbab pula.
Menuk bekerja di sebuah retoran Cina.
Bermacam makanan dijual di sana, termasuk babi. Dengan mencolok kepala babi ditampilkan. Kata
si empunya restoran, bahan babi dan bahan lain dipisahkan.
Menuk diterima bekerja dengan baik di restoran ini. Ia diberi kebebasan ibadah. Dalam salah satu
segmen, ditayangkan Menuk sedang shalat, disampingnya Nyonya pemilik restoran
juga sedang bersembahyang sesuai dengan agamanya.
Pesan dari pemunculan
sosok Menuk ini cukup jelas: inilah
contoh toleransi! Muslimah berjilbab rela bekerja di sebuah restoran yang
menjual babi.
Syukurlah, di akhir cerita, anak pemilik restoran
bersedia memeluk Islam. Ini tentu baik, dalam perspektif Islam. Tetapi, apakah perlu harus melalui
proses bekerja di sebuah restoran yang menjual babi? Tujuan baik tidak boleh menghalalkan segala cara. Tujuan memberi nafkah
keluarga adalah baik. Tetapi, cara yang ditempuh pun harus baik. Banyak
muslimah yang gigih membantu ekonomi keluarganya dengan bekerja keras dalam
berbagai bidang profesi, dan juga toleran dengan yang lain. Tapi, apakah Menuk
sosok Muslimah yang ideal untuk ditampilkan?
Walhasil, Film “?” karya Hanung Bramantyo ini membawa
pesan besar yang terlalu jelas: agama apa saja, sebenarnya sama saja!
Agama-agama dipandang sebagai jalan setapak menuju Tuhan yang sama. Juga, agama-agama dianggap barang remeh;
laksana baju, agama boleh ditukar dan -- kalau perlu -- dibuang kapan saja! Katanya, demi kerukunan, demi toleransi, dan
demi perdamaian.
Akhirul kalam, di era globalisasi dan kebebasan
informasi, saat kemusyrikan dan kemurtadan ditampilkan dalam wujud yang menawan dan menghibur, ada baiknya kita merenungkan satu ayat
al-Quran: "Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh,
yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan setan (dari jenis) jin, sebagian
mereka membisikkan kepada sebagian lainnya perkataan-perkataan yang indah-indah
untuk menipu." (QS 6:112)
Juga, Nabi
Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) pernah bersabda:
“Bersegaralah mengerjakan amal shalih, (sebab) akan datang banyak fitnah
laksana malam yang gelap gulita. Pada pagi hari, seseorang berada dalam keadaan
mukmin, tetapi sore harinya menjadi kafir. (Atau) sore harinya dia mukmin, pagi
harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan harta-benda dunia.” (HR
Muslim).
Wallahu a’lam bil-shawab.*/Depok, 10 April 2011
Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program
Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor). Catatan Akhir Pekan (CAP)
bekerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
0 komentar:
Posting Komentar