MUNCULNYA realitas alam semesta beserta segala isinya, diceritakan oleh Al
Qur’an dengan hirarki(sisematis) yang menarik. Bahwa segala sesuatu ini bermula dari SANG KEHENDAK.
Kehendak-Nya itulah yang mewujud menjadi INFORMASI penciptaan sebagai kalimat
‘KUN’. Dan
lantas, mewujud menjadi SUNNATULLAH, dalam bentuk hukum-hukum alam yang
mengendalikan ruang-waktu-materi-energi sebagai penyusun semesta.
Sedangkan ILMU, adalah pengetahuan atas segala realitas itu. Yakni,
bentuk INFORMASI yang ‘terurai’ seiring dengan berkembangnya alam semesta.
Seiring dengan proses penciptaan yang terus berlangsung. Seiring dengan proses
pemahaman ‘siapa’ yang ingin menguasai ilmu itu.
Jika kita mengarahkan ‘ilmu’ itu sebagai ilmu-Nya, maka dengan sederhana
kita bisa memahami, bahwa ilmu-Nya pasti meliputi seluruh alam semesta.
Sebagaimana berulang kali Dia firmankan di dalam kitab suci. Pengetahuannya
pasti meliputi langit dan bumi, karena ruang-waktu-energi-materi ini memang
adalah perwujudan dari kalimat-Nya belaka. Sedangkan ‘kalimat’ itu
muncul atas kehendak-Nya. Dan ‘kehendak’ itu adalah salah satu sifat-Nya. Jadi
pengetahuan-Nya terhadap realitas bersifat mutlak.
Di sisi lain, 'ilmu manusia' berkembang seiring proses pembelajaran.
Sepanjang usianya. Sepanjang peradabannya. Yang baru ‘ribuan tahun’ belaka.
Dan tak akan pernah bisa memahami alam semesta yang demikian luasnya itu dengan
ilmunya. Mengingat, dimensi ruang yang maha raksasa, dimensi waktu yang
tiada terkira panjangnya, dimensi materi-energi yang semakin misterius di skala
makrokosmos maupun mikrokosmos.
Ilmu manusia terus bergerak dalam koridor ‘dugaan-dugaan’ secara trial
and error. Pemahaman yang lalu ternyata ‘keliru’, maka diperbaiki dengan pemahaman
hari ini yang ‘seakan-akan’ sudah benar. Tetapi, sepanjang sejarah ilmu
pengetahuan kita selalu menjumpai fakta, bahwa ‘dugaan-dugaan’ sains itu selalu
‘keliru’ dalam berbagai skalanya.
Dulu mengira materi terkecil adalah atom, ternyata ‘keliru’. Setelah itu
mengira partikel sub atomic, ternyata juga ‘keliru’. Setelah itu mengira quark, mungkin juga akan
‘keliru’. Dan seterusnya. Sains menyebutnya sebagai ‘perkembangan’ ilmu.
Tetapi, Al Qur’an menyebutnya sebagai ‘dugaan-dugaan’ yang selalu ‘keliru’
dalam memahami realitas secara holistik(keseluruhan/ tdk di otak-aik). Hanya ‘benar’ dalam skala parsial
dan kondisional.
QS. An Najm (53): 28-30
Dan mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang itu. Mereka
tidak lain hanyalah mengikuti dugaan-dugaan semata, padahal sesungguhnya
dugaan-dugaan itu tidak berfaedah untuk (membuktikan hakikat) kebenaran.
Maka berpalinglah dari orang yang tak menghiraukan peringatan Kami, dan
tidak mengingini kecuali hanya kehidupan duniawi.
Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah
yang paling mengetahui siapa yang keliru dari jalan-Nya dan Dia pulalah
yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.
Maka kalau kita berbicara dalam ranah hakikat kebenaran, kita harus mengacu
kepada sang pemilik kebenaran itu. Informasi-informasi yang akurat. Bukan trial
& error seperti yang ditunjukkan Sains. Karena, sebagaimana saya
ungkapkan di note sebelumnya, sains dimulai dari ‘ketidaktahuan’ dan akan
berakhir di ‘ketidaktahuan’ pula. Itu sudah terbukti selama ribuan tahun
perkembangannya. Itulah ‘sejauh-jauh’ ilmu yang dimiliki manusia, kata Allah
dalam ayat di atas.
Nah, Allah menganjurkan para pencari kebenaran, untuk memandu proses
pengetahuannya dengan kitab suci. Karena dengan kitab suci inilah Allah
mengarahkan proses keilmuan agar tetap berada di koridor yang benar. Dan
segera mencapai tujuan final dalam usia manusia yang terbatas. Karena, tanpa
petunjuk kitab suci, usia manusia tidak akan cukup untuk menemukan hakikat
kebenaran. Meskipun ditambah dengan seluruh usia peradaban.
Apakah hakikat kebenaran itu? Adalah realitas. Apakah hakikat
realitas? Adalah ruang-waktu-materi-energi. Apakah hakikat
ruang-waktu-mater-energi itu? Adalah informasi. Apakah hakikat informasi
itu? Adalah kalimat KUN. Apakah hakikat ‘kun’? Adalah ‘Kehendak’.
Dan apakah hakikat ‘kehendak’ itu? Ialah Diri-Nya. Lantas, apakah
hakikat DIA itu? Adalah laisa kamitslihi syai-un ~ ‘Tidak Bisa
Dijelaskan’. Karena kita semua berada di dalam-Nya, sehingga tidak mungkin bisa
menjelaskan tentang Dia, kecuali parsial. Itupun dipandu oleh Dia sendiri lewat
firman-firman-Nya.
QS. Thaahaa (20): 110
Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang
mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.
QS. Ath Thalaaq (65): 12
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah
Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala
sesuatu.
Nah, ketika sudah sampai di hakikat segala kebenaran ini, ilmu manusia
sudah tidak mungkin menjangkau-Nya. Inilah yang berulangkali diceritakan oleh
Al Qur’an. Bahwa manusia tidak memiliki pengetahuan yang cukup, sehingga
mesti berpatokan pada kitab suci yang menerangi pemahaman kita.
QS. Al Hajj (22): 8
Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa
ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (suci) yang bercahaya.
QS. Luqman (31): 20
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa
yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir
dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang
(eksistensi) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa
Kitab yang memberi penerangan.
Jangankan tentang Allah, tentang yang gaib-gaib seperti akhirat saja
misalnya, pengetahuan manusia sudah tidak mencukupi untuk menjelaskannya.
Allah menyebutnya dengan kalimat: pengetahuan mereka ‘tidak sampai’ kesana.
Bahkan, ditegaskan mereka ‘buta’ tentang akhirat.
QS. An Naml (27): 66
Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai,
malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, bahkan mereka buta
tentangnya.
QS. Az Zukhruf (43): 85
Dan Maha Suci Tuhan Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan apa yang
ada di antara keduanya; dan di sisi-Nyalah pengetahuan tentang hari kiamat dan
hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.
Maka, manusia yang tidak berpedoman kepada kitab suci akan terjebak pada
kehidupan dunia. Mereka mengira bahwa kematian adalah akhir dari
segala-galanya. Dan setelah itu tak ada kelanjutannya lagi. Oh, sungguh dia
akan menyesalinya, justru setelah kematian datang kepadanya.
QS. Al Jatsiyah (45): 24
Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia
saja. Kita mati dan hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita
kecuali waktu". Padahal mereka tidak mempunyai pengetahuan
tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka.
QS. Al Haaqqah (69): 27
Wahai, seandainya KEMATIAN itulah yang MENGAKHIRI segalanya...
Penyesalan selalu datang di akhir. Padahal, sama sekali tidak ada ruginya
jika kita mau lebih bijaksana. Bahwa ‘teko’ kecil yang ‘terselip’ di ruang angkasa di sela-sela galaksi
maha raksasa itu adalah sebuah realitas. Sama-sama riilnya antara yang kecil
dan yang besar. Sehingga menganggapnya sebagai ‘peluang kecil’ yang harus
dilupakan adalah sebuah ‘kesembronoan’.
Tetapi, sebagaimana saya tuliskan di awal note ini, bahwa hakikat segala
realitas ini memang adalah ‘kehendak’. Artinya, terserah kepada siapa
saja yang ingin berkehendak. Apakah ia mau menelusuri realitas itu sampai
kepada Sang Maha Berkehendak, ataukah berhenti pada kehendak dirinya sendiri.
Karena Allah memang telah megimbaskan kehendak-Nya kepada manusia lewat
ruh-Nya, sebagai ‘pilihan bebas’ dengan segala konsekuensinya. Mau menjadi
atheis maupun hamba yang berserah diri hanya kepada-Nya, ya monggo-monggo saja…
:)
~ Salam Mentauhidkan Ilmu Pengetahuan ~
Agus Mustofa