Kumpulan E-Book ada di sini

E-Book berbagai disiplin ilmu ada di sini. Cari pada label sesuai dengan keinginan anda. Dapat di download secara gratis.

Berita Seputar Dunia Pendidikan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kumpulan Artikel, Makalah, Opini, Cerpen, Resensi, dll

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

KETIKA ‘KEHENDAK’ MENENTUKAN SEGALANYA


MUNCULNYA realitas alam semesta beserta segala isinya, diceritakan oleh Al Qur’an dengan hirarki(sisematis) yang menarik. Bahwa segala sesuatu ini bermula dari SANG KEHENDAK. Kehendak-Nya itulah yang mewujud menjadi INFORMASI penciptaan sebagai kalimat ‘KUN’. Dan lantas, mewujud menjadi SUNNATULLAH, dalam bentuk hukum-hukum alam yang mengendalikan ruang-waktu-materi-energi sebagai penyusun semesta.

Sedangkan ILMU, adalah pengetahuan atas segala realitas itu. Yakni, bentuk INFORMASI yang ‘terurai’ seiring dengan berkembangnya alam semesta. Seiring dengan proses penciptaan yang terus berlangsung. Seiring dengan proses pemahaman ‘siapa’ yang ingin menguasai ilmu itu.

Jika kita mengarahkan ‘ilmu’ itu sebagai ilmu-Nya, maka dengan sederhana kita bisa memahami, bahwa ilmu-Nya pasti meliputi seluruh alam semesta. Sebagaimana berulang kali Dia firmankan di dalam kitab suci. Pengetahuannya pasti meliputi langit dan bumi, karena ruang-waktu-energi-materi ini memang adalah perwujudan dari kalimat-Nya belaka. Sedangkan ‘kalimat’ itu muncul atas kehendak-Nya. Dan ‘kehendak’ itu adalah salah satu sifat-Nya. Jadi pengetahuan-Nya terhadap realitas bersifat mutlak.

Di sisi lain, 'ilmu manusia' berkembang seiring proses pembelajaran. Sepanjang usianya. Sepanjang peradabannya. Yang baru ‘ribuan tahun’ belaka. Dan tak akan pernah bisa memahami alam semesta yang demikian luasnya itu dengan ilmunya. Mengingat, dimensi ruang yang maha raksasa, dimensi waktu yang tiada terkira panjangnya, dimensi materi-energi yang semakin misterius di skala makrokosmos maupun mikrokosmos.

Ilmu manusia terus bergerak dalam koridor ‘dugaan-dugaan’ secara trial and error. Pemahaman yang lalu ternyata ‘keliru’, maka diperbaiki dengan pemahaman hari ini yang ‘seakan-akan’ sudah benar. Tetapi, sepanjang sejarah ilmu pengetahuan kita selalu menjumpai fakta, bahwa ‘dugaan-dugaan’ sains itu selalu ‘keliru’ dalam berbagai skalanya.

Dulu mengira materi terkecil adalah atom, ternyata ‘keliru’. Setelah itu mengira partikel sub atomic, ternyata juga ‘keliru’. Setelah itu mengira quark, mungkin juga akan ‘keliru’. Dan seterusnya. Sains menyebutnya sebagai ‘perkembangan’ ilmu. Tetapi, Al Qur’an menyebutnya sebagai ‘dugaan-dugaan’ yang selalu ‘keliru’ dalam memahami realitas secara holistik(keseluruhan/ tdk di otak-aik). Hanya ‘benar’ dalam skala parsial dan kondisional.

QS. An Najm (53): 28-30
Dan mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dugaan-dugaan semata, padahal sesungguhnya dugaan-dugaan itu tidak berfaedah untuk (membuktikan hakikat) kebenaran.

Maka berpalinglah dari orang yang tak menghiraukan peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali hanya kehidupan duniawi.

Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang keliru dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.

Maka kalau kita berbicara dalam ranah hakikat kebenaran, kita harus mengacu kepada sang pemilik kebenaran itu. Informasi-informasi yang akurat. Bukan trial & error seperti yang ditunjukkan Sains. Karena, sebagaimana saya ungkapkan di note sebelumnya, sains dimulai dari ‘ketidaktahuan’ dan akan berakhir di ‘ketidaktahuan’ pula. Itu sudah terbukti selama ribuan tahun perkembangannya. Itulah ‘sejauh-jauh’ ilmu yang dimiliki manusia, kata Allah dalam ayat di atas.

Nah, Allah menganjurkan para pencari kebenaran, untuk memandu proses pengetahuannya dengan kitab suci. Karena dengan kitab suci inilah Allah mengarahkan proses keilmuan agar tetap berada di koridor yang benar. Dan segera mencapai tujuan final dalam usia manusia yang terbatas. Karena, tanpa petunjuk kitab suci, usia manusia tidak akan cukup untuk menemukan hakikat kebenaran. Meskipun ditambah dengan seluruh usia peradaban.

Apakah hakikat kebenaran itu? Adalah realitas. Apakah hakikat realitas? Adalah ruang-waktu-materi-energi. Apakah hakikat ruang-waktu-mater-energi itu? Adalah informasi. Apakah hakikat informasi itu? Adalah kalimat KUN. Apakah hakikat ‘kun’? Adalah ‘Kehendak’. Dan apakah hakikat ‘kehendak’ itu? Ialah Diri-Nya. Lantas, apakah hakikat DIA itu? Adalah laisa kamitslihi syai-un ~ ‘Tidak Bisa Dijelaskan’. Karena kita semua berada di dalam-Nya, sehingga tidak mungkin bisa menjelaskan tentang Dia, kecuali parsial. Itupun dipandu oleh Dia sendiri lewat firman-firman-Nya.

QS. Thaahaa (20): 110
Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.

QS. Ath Thalaaq (65): 12
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.

Nah, ketika sudah sampai di hakikat segala kebenaran ini, ilmu manusia sudah tidak mungkin menjangkau-Nya. Inilah yang berulangkali diceritakan oleh Al Qur’an. Bahwa manusia tidak memiliki pengetahuan yang cukup, sehingga mesti berpatokan pada kitab suci yang menerangi pemahaman kita.

QS. Al Hajj (22): 8
Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (suci) yang bercahaya.

QS. Luqman (31): 20
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (eksistensi) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.

Jangankan tentang Allah, tentang yang gaib-gaib seperti akhirat saja misalnya, pengetahuan manusia sudah tidak mencukupi untuk menjelaskannya. Allah menyebutnya dengan kalimat: pengetahuan mereka ‘tidak sampai’ kesana. Bahkan, ditegaskan mereka ‘buta’ tentang akhirat.

QS. An Naml (27): 66
Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai, malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, bahkan mereka buta tentangnya.

QS. Az Zukhruf (43): 85
Dan Maha Suci Tuhan Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan apa yang ada di antara keduanya; dan di sisi-Nyalah pengetahuan tentang hari kiamat dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.

Maka, manusia yang tidak berpedoman kepada kitab suci akan terjebak pada kehidupan dunia. Mereka mengira bahwa kematian adalah akhir dari segala-galanya. Dan setelah itu tak ada kelanjutannya lagi. Oh, sungguh dia akan menyesalinya, justru setelah kematian datang kepadanya.

QS. Al Jatsiyah (45): 24
Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja. Kita mati dan hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita kecuali waktu". Padahal mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka.

QS. Al Haaqqah (69): 27
Wahai, seandainya KEMATIAN itulah yang MENGAKHIRI segalanya...

Penyesalan selalu datang di akhir. Padahal, sama sekali tidak ada ruginya jika kita mau lebih bijaksana. Bahwa ‘teko’ kecil yang ‘terselip’ di ruang angkasa di sela-sela galaksi maha raksasa itu adalah sebuah realitas. Sama-sama riilnya antara yang kecil dan yang besar. Sehingga menganggapnya sebagai ‘peluang kecil’ yang harus dilupakan adalah sebuah ‘kesembronoan’.

Tetapi, sebagaimana saya tuliskan di awal note ini, bahwa hakikat segala realitas ini memang adalah ‘kehendak’. Artinya, terserah kepada siapa saja yang ingin berkehendak. Apakah ia mau menelusuri realitas itu sampai kepada Sang Maha Berkehendak, ataukah berhenti pada kehendak dirinya sendiri. Karena Allah memang telah megimbaskan kehendak-Nya kepada manusia lewat ruh-Nya, sebagai ‘pilihan bebas’ dengan segala konsekuensinya. Mau menjadi atheis maupun hamba yang berserah diri hanya kepada-Nya, ya monggo-monggo saja… :)

~ Salam  Mentauhidkan Ilmu Pengetahuan ~
Agus Mustofa

KETIKA SAINS TAK MAMPU MENJAWAB YANG GAIB


Kalau menjawab pertanyaan ‘KENAPA’ saja Sains tak mampu, apalagi menjawab hal-hal yang GAIB, seperti: Jiwa, Ruh, Kehendak, Alam Kematian, Alam Akhirat, Kiamat, Takdir, Malaikat, Jin, dan lain sebagainya. Paling-paling, jawaban yang keluar dari seorang pakar sains hanyalah: semua itu di luar wilayah sains. Atau, itu berada dalam wilayah ‘keimanan’… :)

Hanya sebatas itulah memang ‘kemampuan’ Sains. Karena ia dikembangkan berdasar kemampuan berpikir kulit otak yang bersifat sensorik, berdasar panca indera. Sehingga, sesuatu baru diakui sebagai evidence atau bukti ketika bisa dilihat, didengar, dibaui, dikecap, dan diraba. Secara langsung, maupun setelah ditransfer ke variable-variabel yang bisa diamati oleh panca indera.

Di luar itu, Sains sudah tidak mampu. Tetapi, itu memang ‘tidak salah’. Dan tidak bisa disalahkan. Karena para pakar Sains memang sudah ‘membatasi diri’ seperti itu. Sehingga, konsekuensinya, segala sesuatu yang di luar wilayah ‘terbukti’ itu lantas dinamai dengan: pseudo-science, paranormal, metafisika dan lain sebagainya. Pada tingkat ini, saya masih bisa ‘sependapat’ atau setidak-tidaknya mengapresiasi-lah.

Yang saya menjadi tidak sependapat itu adalah: ketika para pakar Sains berpendapat bahwa SEGALA SESUATU yang tidak bisa dijelaskan oleh Sains berarti TIDAK ADA. Alias bukan realitas. Inilah masalah utamanya, sehingga kenapa saya mengeluarkan ungkapan: ‘Sains bukan segala-galanya’. Karena, Sains memang tidak bisa menjelaskan segala-galanya. Dan, sama sekali tidak benar, HANYA Sains saja yang bisa menjelaskan realitas. Selebihnya tidak bisa. Inilah yang saya sebut sebagai’ kepongahan’ itu..! Bukan kepongahan sains memang, lebih tepatnya adalah kepongahan para pakar Sains yang berpendapat seperti itu.

Woow, terlalu banyak hal yang tidak bisa dijelaskan oleh Sains. Jangankan yang ‘gaib-gaib’, yang tidak gaib saja sedemikian banyaknya. Melanjutkan sedikit, tentang ketidakmampuan Sains menjawab pertanyaan ‘kenapa’ di note saya sebelumnya; situasinya akan menjadi sangat ‘menggelikan’ ketika Anda mengejar para pakar sains dengan pertanyaan KENAPA itu.

Ketika saya tanyakan: KENAPA ada laki-laki dan perempuan? Dijawabnya: karena ada kromosom XY dan XX. Tapi cobalah kejar lagi dengan pertanyaan: Lha, KENAPA ada kromosom XX dan XY? Mungkin dia akan menjawab: karena diatur oleh sejumlah gen yang ada di dalam kromosom. Kemudian, Anda bertanya lagi: Lha, KENAPA kok ada gen-gen yang bisa mengatur terjadinya jenis kelamin itu? Mungkin, dia akan menjawab: yaa, karena ada seleksi alam..!

Hheehe, terus KENAPA ada seleksi alam? Kira-kira jawabannya: Mmm.., ya karena alam ini memang punya hukum untuk menyeleksi..! Hhahaa, mulai mbulet kan..?! Tapi, Anda masih bisa terus bertanya dengan ‘KENAPA’. Lhaa iya, KENAPA kok alam punya kemampuan untuk menyeleksi? Trus dijawab lagi: Ya pokoknya begitulah…!! Nah, dialog seperti inilah yang akan menjadi ‘akhir’ dari diskusi antara Atheis dan Tasawuf Modern tentang sains.

Saya tentu tidak pernah menyalahkan sains sabagai ilmu. Lha wong saya juga penggemar sains. Saya cuma ingin menunjukkan bahwa Sains bukan segala-galanya. Apalagi, Sains bekerja secara trial & error. Dicoba, kalau ‘salah’ diluruskan, dan kalau ‘benar’ diteruskan. Sehingga adalah sebuah ‘kekeliruan besar’ kalau ada orang yang begitu mengagungkan Sains, sehingga mengira hanya dengan Sains-lah manusia bisa MEMAHAMI seluruh REALITAS. Hmm, dia sedang bermimpi di siang bolong. Atau, mungkin mimpi sambil berdiri, kayak foto di wall saya itu… :)

Kecuali, dia sudah mendefinisikan bahwa yang disebut ‘realitas’ itu HANYALAH yang dipahami oleh Sains. Selebihnya bukan realitas, karena tidak bisa dipahami oleh sains. Wah, kalau sampai muncul klaim demikian, ini sudah bukan kepongahan lagi, tapi sudah arogansi. Dan, menjungkir-balikkan makna realitas. Karena, Sains sendiri masih terus berkembang secara trial & error untuk memahami realitas yang belum diketahuinya.

Jadi, masalahnya sangat SEDERHANA. Sains itu cuma SECUIL ilmu yang ada dalam REALITAS. Alam semesta ini adalah SAMUDERA ILMU. Yang sudah terungkap barulah SETETES saja. Masih jauh lebih banyak yang belum diketahui daripada yang sudah. Ibarat ruang alam semesta: lebih banyak ruang GELAP-nya, daripada kerlipan CAHAYA bintang pengisinya. Itulah yang difirmankan Allah dalam ayat berikut ini.

QS. Luqman (31): 27
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena, dan lautan (menjadi tinta). Kemudian ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) sesudah (kering)-nya, niscaya TIDAK akan HABIS-HABIS-nya (dituliskan) kalimat (ilmu) Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

QS. Ath Thalaaq (65): 12
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, AGAR kamu MENGETAHUI bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ILMU-Nya benar-benar MELIPUTI segala sesuatu.

Begitulah sahabat, kalau Anda men-challenge Sains dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar secara beruntun, maka diskusinya akan berujung pada ‘ketidak-tahuan’. Ya memang itulah hakikat sains. Ia berangkat dari ‘ketidaktahuan’ dan akan berakhir dengan ‘ketidaktahuan’. Karena itu, jangan menjadikan Sains sebagai alat untuk ‘MELIHAT’ Tuhan. Sehingga, kalau Tuhan tidak bisa ‘dilihat’ dengan Sains lantas berkesimpulan bahwa TUHAN itu TIDAK ADA. Hhehe.., lha wong ‘peralatannya’ yang keliru, kok menyalahkan Realitas-Nya. Terlalu naïf kawan..!

Manusia memiliki perangkat yang jauh lebih ‘keren’ selain Pikiran Sadar yang menjadi sumber Sains itu. Yakni, Alam Bawah Sadar. Islam menyebutnya sebagai Qalb & Fu-aad. Dan kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi HATI. Ada juga yang menyebutnya sebagai INTUISI. Ada lagi, INDERA KEENAM alias the sixth sense. Dan sebagainya. Ia memiliki kemampuan mengolah informasi ratusan ribu kali lipat lebih dahsyat dibandingkan Pikiran Sadar.

Islam mengajarkan PERPADUAN antara Pikiran Sadar dan Bawah Sadar itu secara simultan dengan panduan firman-firman Sang Pemilik Ilmu. Di dalam Al Qur’an disebut sebagai ‘tafakur’ dan ‘dzikir’. Atau, ada yang menyebut intetelektualitas dan hati. Jangan hanya digunakan salah satunya, karena bisa menjebak pada kesalahkaprahan. Orang yang hanya menggunakan ‘pikirannya’ akan terjebak kepada hal-hal yang materialistik saja. Sedangkan orang-orang yang hanya menggunakan ‘hatinya’ akan terjebak kepada ketidakpastian yang tak terkendali. Perpaduannya menghasilkan kesempurnaan yang disebut sebagai kualitas ULUL ALBAB. Tipikal orang seperti inilah yang kata Al Qur'an bakal bisa mengambil pelajaran dari Firman-Nya dengan sebaik-baiknya.

QS. Ali Imran (3): 7
… Dan TIDAK DAPAT mengambil PELAJARAN kecuali orang-orang yang menggunakan akal (ulul albab).

Maka, bagi agama Islam, pembelajaran SAINS adalah sebuah KENISCAYAAN. Sebagaimana niscayanya penggunaan HATI. Itulah yang tergambar dalam ratusan ayat-ayat Al Qur’an yang selalu menjadi landasan saya dalam menulis buku-buku Diskusi Tasawuf Modern. Sebuah pembelajaran dengan mekanisme Ulul Albab.

QS. Ali Imran (3): 190-191
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang hari terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ULUL ALBAB), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah (DZIKRULLAH) sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka TAFAKUR (berpikir secara ilmiah) tentang penciptaan langit dan bumi (sampai menyimpulkan): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Dengan perpaduan antara dzikir dan tafakur itulah umat Islam tidak TERBELENGGU ke dalam pemahaman PARSIAL dalam memahami REALITAS. Mulai dari yang bersifat materialistik, energial, maupun spiritual. Mulai dari alam dunia, alam barzakh, sampai alam akhirat. Atau, dari yang bersifat badaniyah, nafsiyah, sampai ruhiyah. Islam mengajarkan SAMUDERA ILMU kepada hamba-hamba-Nya yang ingin memahami realitas dalam arti yang sebenar-benarnya. Karena, semuanya itu memang ilmu-ilmu Allah, Dzat Maha Berilmu yang menguasai segala realitas jagat semesta. Inilah yang disebut sebagai BERTAUHID hanya kepada ALLAH itu... :)

QS. An Nisaa’ (4): 126
KEPUNYAAN Allah-lah apa yang di LANGIT dan apa yang di BUMI, dan adalah Allah Maha MELIPUTI segala sesuatu.

~ Salam Mentauhidkan Ilmu Pengetahuan ~

 Agus Mustofa

MEMPELAJARI SAINS ADALAH IBADAH


BAGI umat Islam belajar sains adalah ibadah. Karena sains itu sendiri adalah perwujudan dari ilmu Allah di alam semesta, yang disebut sebagai ayat-ayat KAUNIYAH. Karena itu, wahyu yang pertama turun kepada Rasulullah SAW adalah perintah membaca – IQRA’. Dan wahyu keduanya adalah AL QALAM (Pena). Jadi, betapa eksplisitnya Allah memberikan perhatian kepada ilmu pengetahuan terkait dengan proses beragama Islam.

Itulah yang saya tuliskan dalam note sebelumnya sebagai MENTAUHIDKAN ilmu pengetahuan. Bahwa agama dan ilmu bukanlah sesuatu yang terpisah. Apalagi bertabrakan. Tidak ada seorang muslim pun yang sudah memahami agamanya dengan baik, menabrakkan agama dan sains. Menabrakkan agama dan sains itu adalah pekerjaan orang-orang sekuler, termasuk di dalamnya Atheis. Karena itu, notes ini saya beri tema: Sekularisme vs Ketauhidan. Yang satu memisahkan agama & sains, yang lainnya menjadikannya dalam satu tarikan nafas sebagai praktek keagamaannya.

Cikal bakal paham sekuler yang memisahkan agama dengan sains itu sebenarnya diawali di Eropa, dimana agama yang dominan waktu itu adalah Kristen dengan kekuasaan gereja yang hampir tidak ada batasnya. Pemberontakan terhadap kekuasaan gereja dengan segala hegemoninya itulah yang memunculkan ilmuwan-ilmuwan sekuler penentang ajaran Kristen. Termasuk pemberontakan mereka terhadap ajaran agama yang dianggapnya tidak ‘ilmiah’. Karena bertentangan dengan sains. Sehingga memunculkan tragedi Galileo, misalnya.

Hal semacam ini tidak terjadi di dalam sejarah Islam. Agama Islam tidak pernah memisahkan agama dari ilmu pengetahuan. Apalagi membunuhi ilmuwan. Alih-alih menghukumnya, para khalifah malah mendukung perkembangannya. Sehingga bermunculanlah tokoh-tokoh ilmu pengetahuan kelas dunia di zaman keemasan Islam, dengan fasilitas-fasilitas penelitian yang sangat maju di masanya.

Diantaranya yang sering kita dengar adalah Al-Fazari, Astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farghani alias Al-Faragnus, penulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis.
               
Di bidang kedokteran kita kenal nama Ar-Razi dan Ibnu Sina. Ar-Razi adalah penemu penyakit cacar dan penyusun buku kedokteran anak pertama kalinya. Sedangkan Ibnu Sina adalah seorang filosof penemu sistem peredaran darah pada manusia. Salah satu karyanya, al-Qonun fi al-Thibb merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
               
Di bidang optikal, Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami alias Alhazen adalah fisikawan yang berpendapat untuk pertama kalinya bahwa bukan mata yang mengirim cahaya ke benda, melainkan bendalah yang mengirim cahaya ke mata.
               
Dalam ilmu kimia, Jabir ibn Hayyan adalah tokoh terkenalnya. Sedangkan di bidang matematika dikenal nama Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah pencipta ilmu Aljabar. Kata Aljabar berasal dari judul bukunya, al-Kitab al-Mukhtashor fi Hisab al-Jabr wa al-Muqobalah

Dalam ilmu sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli Geografi yang mengarang buku Muuruj al-Zahab wa Ma’adin al-Jawahir. Sementara itu, di bidang filsafat ada tokoh-tokoh terkenal seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Sedangkan Ibn Sina mengarang asy-Syifa'. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak mempengaruhi pola pikir Barat sehingga di sana ada aliran Averroisme. Dan lain-lainya. Dan seterusnya.

Maka, menjadi ‘tidak nyambung’ memang, jika ada bantahan yang mempertentangkan antara ‘agama’ dengan sains dialamatkan kepada umat Islam. Itu sama saja dengan mempertentangkan antara pohon dengan batang, atau cabang, atau ranting-ranting. Lha ya nggak klop-lah… :(

Bagi umat Islam mempelajari ilmu pengetahuan adalah ibadah. Dan bernilai pahala. Karena, sains tak lebih hanyalah ALAT untuk memahami ilmu-ilmu Allah yang dihamparkan di alam semesta. Ratusan ayat ilmu pengetahuan yang bertaburan di dalam Al Qur’an, dan mendorong umat Islam agar melakukan pembuktian-pembuktian secara saintifik. Misalnya, ayat populer berikut ini.

QS. Al Ghaasiyah (88): 17-20 (^-^)
Maka apakah mereka tidak MENGOBSERVASI unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

QS. An Nahl (16): 79
Tidakkah mereka MENGOBSERVASI burung-burung yang dimudahkan TERBANG di angkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi orang-orang yang beriman.

QS. Asy Syu’araa (26): 7
Dan apakah mereka tidak MENGOBSERVASI bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?

QS. Al Qashash (28): 72
Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak MENGOBSERVASINYA?"

QS. Luqman (31): 31 (^-^)
Tidakkah kamu MENGOBSERVASI bahwa sesungguhnya KAPAL itu BERLAYAR di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (ilmu)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur.

QS. As Sajdah (32): 27
Dan apakah mereka tidak MENGOBSERVASI, bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanam-tanaman yang daripadanya (dapat) makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan?

QS. Yaa Siin (36): 77
Dan apakah manusia tidak MENGOBSERVASI bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!

QS. Az Zumar (39): 21
Apakah kamu tidak MENGOBSERVASI, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan AIR dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu ia menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.

QS. Al Mukmin (40): 21
Dan apakah mereka tidak mengadakan PERJALANAN di muka bumi, lalu memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka. Mereka itu lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas SEJARAH mereka di muka bumi, maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan mereka tidak mempunyai seorang pelindung pun dari azab Allah.

QS. Muhammad (47): 24
Maka apakah mereka tidak MENGOBSERVASI Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci?

QS. Adz Dzaariyat (51): 21
dan (juga) pada DIRIMU sendiri. Maka apakah kamu tidak MENGOBSERVASINYA?

QS. Al Mulk (67): 19
Dan apakah mereka tidak MENGOBSERVASI burung-burung yang MENGEMBANGKAN dan mengatupkan SAYAP-nya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu.

QS. Abasa (80): 24
maka hendaklah manusia itu memperhatikan MAKANAN-nya.

QS. Ath Taariq (86): 5
Maka hendaklah manusia memperhatikan DARI APA dia diciptakan?

Dan sebagainya, dan seterusnya. Demikian banyak ayat-ayat motivasi untuk melakukan penelitian dan pembelajaran ilmu pengetahuan. Kualitas keislaman seseorang dan penghambaannya kepada Allah sangat terkait dengan ilmu pengetahuannya. Sehingga Allah menyebut ‘HANYA’ para ILMUWAN-lah yang benar-benar ‘takut’ kepada Allah. Yang bukan ilmuwan (ulama), takutnya hanya sekedar pura-pura takut, atau ditakut-takutkan, atau dipaksa takut.

QS. Faathir (35): 27-28
Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada yang hitam pekat.

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya dan jenisnya. Sesungguhnya yang TAKUT kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, HANYA-lah para ULAMA (ilmuwan). Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.

Maka, ringkas kata, dalam Islam tidak ada pemisahan alias sekulerisme antara agama dan sains. Pembelajaran ilmu pengetahuan justru digunakan untuk menyempurnakan proses berserah diri kepada Allah sebagai puncak kualitas seorang muslim. Bahwa, kemudian ada yang menuduh Islam sebagai agama dogmatis dan doktrinal yang berlawanan dengan sains, yaah itu hak orang untuk bicara apa saja. Umat Islam lebih baik menanggapinya dengan berbesar hati. Kebenaran adalah milik Allah, dan kelak akan Dia buktikan sendiri kepada seluruh manusia. Umat Islam diajari untuk rendah hati, dan memaafkan ‘ketidak-tahuan’ mereka dengan cara-cara yang baik… :)

QS. Al Hijr (15): 85-86
Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar. Dan sesungguhnya (kebenaran) hari kiamat itu pasti akan datang, maka MAAFKANLAH (mereka) dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah Yang Maha Pencipta lagi Maha MENGETAHUI.


~ Salam Mentauhidkan Ilmu Pengetahuan ~
Agus Mustofa

KETIKA SAINS TAK PERNAH BISA MENJAWAB: ‘KENAPA’


Kenapa ada alam semesta? Ya, pokoknya sudah ada ‘begini’ dengan sendirinya. Kenapa Ada pria dan wanita? Ya, pokoknya alam semesta ‘ingin’ mengadakan laki-laki dan perempuan. Kenapa ada manusia di muka bumi? Ya, pokoknya ‘ada’ karena seleksi alam. Kenapa planet bumi ini demikian ideal untuk memunculkan kehidupan, sementara di planet lain tidak diketemukan sampai sekarang? Ya, pokoknya bumi ini ‘cocok’ dan memenuhi syarat-syarat munculnya makhluk hidup..!

Hhhh.., barangkali ribuan pertanyaan ‘kenapa’ lagi yang akan dijawab ‘pokoknya’ oleh ilmu pengetahuan. Anda masih bisa menambah daftar pertanyaan itu se kreatif Anda. Misalnya, kenapa makhluk hidup kok bernafas pakai oksigen, kok nggak Nitrogen saja? Bukankah jumlah nitrogen di planet ini jauh lebih banyak dibandingkan oksigen? Kenapa kita hidup? Kenapa kita mesti mati? Kenapa kita punya kepala, mata telinga, hidung, lidah, jantung, paru-paru, dan sebutlah apa saja..! Sains tidak akan pernah bisa menjawabnya dengan tuntas. Ia akan berputar-putar semakin membingungkan… :(

Sejarah sains sudah membuktikan semua itu. Ia tidak pernah bisa menjawab misteri realitas ini dengan tuntas. Dan selalu berujung pada ‘ketidaktahuan’. Belajar makrokosmos lewat ilmu Astronomi, Kosmologi, Astrofosika, Astrobiologi misalnya, Anda akan DITANTANG oleh ketidak tahuan yang Maha Dashyat.

Dari segi ukuran alam semesta saja, manusia sudah demikian naifnya. Sebutir debu yang SOMBONG dan MENGGELIKAN, yang bermimpi menaklukkan alam semesta yang diameternya puluhan miliar tahun cahaya. Dan tidak diketahui tepinya sampai saat ini. Kecuali cuma mengira-ngira dari kejauhan. Data-data valid yang disombongkan oleh Sains bakal ‘ketemu batunya’ di alam semesta. Karena, usia manusia tidak cukup untuk mengarungi dan mengambil sampelnya.

Jangankan usia manusia, usia seluruh peradaban manusia pun tidak cukup untuk memahami alam semesta ini. Usia peradaban manusia cuma berorde ‘ribuan’ tahun. Ruang alam semesta butuh eksplorasi selama miliaran tahun. Hanya manusia yang tak tahu diri yang bisa menyombongkan SAINS sebagai segala-galanya.

Tanyakanlah kepada jagoan sains mana pun: dimanakah tepi alam semesta ini? Bentuknya seperti apa? Ukurannya seberapa? Dimensinya berapa? Dari mana asalnya, dan kelak akan kemana? Maka jawabannya tak akan pernah tuntas. Kenapa? Karena, sang ilmuwan itu tak punya kemampuan untuk mengarungi ruang dan waktu, MENYAKSIKAN sendiri evidences yang diharapkan. Sains telah berada di ‘ambang batas’ kedigdayaannya, dimana di balik itu ia sudah tidak mampu ‘berkata-kata’ lagi. Kecuali ‘menunggu’, ‘menduga’, ‘mengira’, ‘berharap’ ‘berspekulasi’, dan semacamnya, yang mengingkari kepongahan sains sendiri, bahwa  segala sesuatu harus berdasar evidences… ;)

Bukan hanya soal RUANG maha raksasa yang mewadahi alam semesta, melainkan juga soal WAKTU yang memenjarakan segala realitas ini bergerak menuju kehancurannya. Karena 'gerakan waktu' yang tak bisa dikendalikan oleh saintis manapun itulah, alam semesta bakal menuju kehancurannya. Semakin lama semakin tua, dan kemudian mati. Lagi-lagi ilmuwan yang ‘hebat-hebat’ itu tak mampu berkata apa-apa tentang kemisteriusan dimensi waktu. Kenapa? Ya, karena dimensi waktu ini terikat ke dimensi ruang, dimana ruangnya tak ketahuan batasnya. Jadi, bagaimana mungkin para ilmuwan itu bisa tahu ‘dulu’ dan ‘nanti’, kalau ia pun tidak pernah tahu ‘disana’ dan ‘disitu’.

Bukan hanya di skala makrosmos yang ‘nggegirisi’, di skala mikrokosmos pun tak kalah ‘mengerikan’. Materi yang dulu diduga tersusun dari atom sebagai benda terkecil itu, kini semakin menunjukkan ‘sifat aslinya’ yang membingungkan. Ternyata ia tersusun dari partikel-partikel yang lebih kecil, lebih kecil, dan lebih kecil lagi.

Yang di level elektron saja sudah memunculkan dualitas antara materi dan energi (gelombang). Dan di skala lebih kecil lagi memunculkan ‘teori ketidakpastian’, sehingga ilmuwan tidak pernah bisa menentukan lokasi sebuah partikel bersamaan dengan kecepatannya. Kecuali hanya ‘menebak-nebak’ secara statistik belaka. Lagi-lagi sains terbentur pada tembok ‘kepongahannya’ sendiri dalam hal evidence.

Belum lagi masalah kehidupan yang penuh dengan misteri. Tanyakanlah kepada jagoan biologi mana pun, kenapa sebutir telur ayam bisa menetas dan memunculkan kehidupan setelah dierami. Darimanakah munculnya kehidupan itu? Tolong kasih ‘bukti’ darimana sumber kehidupannya? Dan kenapa telur lainnya dari induk yang sama kok tidak menetas dan memunculkan kehidupan? Apakah alam ini hidup, sehingga bisa ‘menularkan’ kehidupannya kepada seonggok protein dan lemak yang ada di dalam cangkang telur itu? Padahal, konon kabarnya, para pengingkar Tuhan ‘tidak percaya’ kalau alam semesta ini adalah ‘organisme hidup’.

Dan seterusnya, dan lain sebagainya. Demikian banyak ‘bukti-bukti empiris’ yang justru menegaskan bahwa sains bukan segala-galanya. Tetapi, jangan lantas Anda menuding saya sebagai anti sains. Oh, malah sebaliknya, saya gandrung sekali. Dan juga, jangan lantas mengatakan Sains itu tidak berguna. Ouh, sebaliknya, sangat-sangat berguna. Karena telah terbukti banyak membantu manusia dalam mengatasi berbagai masalah hidupnya untuk menjadi lebih baik. Tapi, sekali lagi, bukan segala-galanya.

Maka, kegagalan sains bakal membawanya ke dua pilihan. Yang pertama, membiarkannya dalam kemisteriusan, sambil mengatakan: itu sudah DI LUAR kemampuan SAINS. Sehingga muncullah istilah-istilah pseudo-science – karena sains sudah tak mampu menjangkaunya dengan bukti-bukti. Atau, istilah paranormal, karena dianggap sudah keluar dari kelaziman. Atau metafisika, karena sudah tak mampu dijelaskan lagi oleh Fisika, dan lain sebagainya.

Pilihan yang kedua, kegagalan sains akan mendorongnya berlindung ke ranah filosofis, yang dari ‘rahimnya’ sains dilahirkan. Disinilah mereka ‘melarikan diri’ dari ketidak berdayaannya mengungkap realitas yang semakin misterius. Karena, setiap penemuan saintifik selalu memunculkan misteri baru yang lebih rumit. Tapi, cermatilah sejarah filsafat. Para filsuf sejak zaman dahulu kala sampai sekarang pun berputar-putar kebingungan, tak menemukan jawabannya. Kecuali mengakhirinya dengan ‘dugaan’, ‘perkiraan’, ‘harapan’, dan ‘spekulasi’ tanpa bukti.

Disinilah peran agama memberikan kepastian. Perhatikanlah ayat-ayat Qur’an yang memiliki kekuatan ‘klaim’ yang sangat besar. Bukan dogma(ajaran), apalagi  doktrin. Al Qur’an tidak pernah memaksa-maksa siapa pun untuk beriman. Kalau ada yang berpendapat bahwa Islam melakukan paksaan kepada umat dalam menjalani agamanya, pasti orang itu BELUM KENAL Islam. Dia mengira Islam seperti agama-agama lain yang dikenalnya. Yang disampaikan lewat dogma dan doktrin.

QS. Al Baqarah (2): 256
TIDAK ada PAKSAAN dalam beragama (Islam); sesungguhnya TELAH JELAS jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (tuhan selain Allah) dan BERIMAN kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

QS. Yunus (10): 99-100
Dan JIKA Tuhanmu MENGHENDAKI, pastilah BERIMAN semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) MEMAKSA manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?

Kurang eksplisit bagaimanakah firman Allah ini? Bahwa, TIDAK ADA paksaan dalam Islam. Tidak ada dogma(ajaran) dan doktrin. Yang ada ialah tabayun alias KLARIFIKASI atas firman-firman Allah. Karena, sebagaimana ayat di atas, SUDAH JELAS antara kebaikan dan keburukan, antara kebenaran dan kejahatan, antara yang bermanfaat dan yang membawa mudharat. Umat Islam diperintahkan untuk menggunakan AKAL dalam beragama.

Tetapi, bahwa Al Qur’an melakuan ‘klaim-klaim’ yang sangat provokatif itu memang benar adanya. Agar umat manusia MENOLEH. Apalagi, yang hatinya sudah KERAS seperti batu. Mulai dari klaim kebenaran kitab sucinya, kebenaran Nabinya, sampai kebenaran Tuhannya. Bukan memaksa, tetapi memancing manusia untuk memikirkannya. Berikut ini adalah sebagian kecil tantangan al Qur’an kepada manusia.

QS. An Nisaa’ (4): 82
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat PERTENTANGAN yang banyak di dalamnya.

QS. Al Baqarah (2): 23
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), BUATLAH satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.

QS. Yunus (10): 37
TIDAK MUNGKIN Al Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; (kitab ini) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, TIDAK ada KERAGUAN di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.

QS. Al A’raaf (7): 158
Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah UTUSAN Allah kepadamu semua, yaitu ALLAH yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; TIDAK ADA Tuhan  SELAIN Dia, Yang MENGHIDUPKAN dan MEMATIKAN, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk".

Dan sebagainya, Al Qur’an berisi ‘klaim-klaim’ yang membelalakkan mata. Tetapi bukan untuk memaksa, melainkan ‘menantang’ untuk dibuktikan. Bagaimana cara membuktikannya? Tentu saja dengan ilmu-ilmu yang berkembang seiring peradaban manusia. Yaa ilmu sejarah, ilmu bahasa, ilmu biologi, fisika, astronomi, matematika, kimia, kedokteran, biomolekuler, dan ilmu apa saja yang bisa digunakan untuk ‘membuktikan’ kebenaran Al Qur’an.

Bukan ‘rebutan mengklaim’ sains, seperti yang dituduhkan. Karena perintah untuk berilmu pengetahuan itu adalah sebuah KENISCAYAAN di dalam agama Islam. Dan pelakunya tidak harus orang Islam. Di zaman keemasan Islam para pelaku kelilmuan itu adalah orang-orang Islam. Tetapi, di zaman sesudahnya memang SDM Islam mengalami kemunduran yang sangat memprihatinkan. Tetapi, itu tidak serta merta menjadikan AGAMA Islam lantas ‘merebut-rebut’ sains… :(

Tentu ini sudut pandang yang sangat keliru. Karena puluhan bahkan ratusan ayat di dalam Al Qur’an justru mendorong umat Islam untuk menguasai sains. Sebagaimana sudah saya tulis dalam puluhan buku yang saya terbitkan. Untuk apa? Bukan untuk ‘berpongah-pongah’ dengan sains yang serba terbatas itu. Melainkan untuk membuktikan dan menyadari ‘betapa kecil’ dan ‘ringkihnya’ manusia, dan betapa Maha Hebatnya Allah Sang Penguasa Jagat Semesta dengan segala Ilmu-Nya. Islam mengajari umatnya untuk ‘mentauhidkan’ ilmu pengetahuan agar mengenal dan tunduk pada Keagungan-Nya…!

QS. Ath Thalaaq (65): 12
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, AGAR kamu MENGETAHUI bahwasanya Allah MAHA BERKUASA atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ILMU-Nya benar-benar MELIPUTI segala sesuatu.

~ Salam Mentauhidkan Ilmu Pengetahuan ~

 Agus Mustofa

KASUS KEENAM: Substansi Realitas Sosial.

CUPLIKAN DTM-35: ‘IBRAHIM Pernah ATHEIS’ (6-habis)


Serangan keras lainnya terhadap agama oleh tokoh-tokoh atheis adalah tentang fakta sosial. Hal ini dikemukakan oleh Christopher Hitchens. Jurnalis yang mengaku telah meliput berbagai peristiwa di berbagai negara konflik itu mengemukakan kesimpulannya dalam buku best seller-nya: ‘god is not Great’.

Menurutnya Tuhan  tidak Maha Besar, bahkan tidak perlu ada, karena terbukti membiarkan saja segala keburukan dalam realitas sosial. Banyaknya ketimpangan dan penderitaan yang dialami manusia menunjukkan bahwa Tuhan memang tidak ada.

Apalagi, menurutnya, ternyata negara-negara yang menganut agama secara taat ternyata banyak dilanda oleh peperangan, kriminalitas, penyakit, kemiskinan, korupsi, dan lain sebagainya. Untuk itu, ia memproklamirkan dirinya sebagai orang yang tidak percaya adanya Tuhan.

Sepintas saja, kita sudah bisa mengerti kenapa Hitchens mengambil kesimpulan yang ‘serampangan’ seperti itu. Yang pertama, ia rupanya merasa sakit hati dengan agama atau dengan Tuhan. Inilah yang dalam terminologi pembahasan atheis disebut sebagai angry disbeliever - orang yang menjadi atheis karena kecewa. Mereka, pada dasarnya, tidak benar-benar meyakini tentang tidak adanya Tuhan, melainkan dengan sengaja meniadakan keberadaan Tuhan dalam hidupnya karena kecewa dan marah.

Dan yang kedua, Hitchens lantas membuat kesimpulan yang distortif dengan menyamaratakan antara ajaran agama dengan pemeluknya. Inilah yang saya sebut sebagai kesimpulan yang serampangan itu. Bahwa, jika penganutnya jahat, maka berarti ajarannya juga jahat.

Hanya ada dua kemungkinan untuk orang yang bersikap demikian dalam pengambilan kesimpulan. Yang pertama dia tidak tahu bagaimana cara berpikir ilmiah. Dan yang kedua, dia sengaja melakukan hal itu karena kecewa.

Tentu saja, tidak ada agama yang mengajarkan kejahatan. Apa pun agamanya. Sehingga, kalau ada seorang penganut agama melakukan pencurian, tidak bisa lantas disimpulkan agamanya yang mengajari mencuri. Atau, kalau mereka melakukan pembunuhan, berarti agamanya juga yang mengajari membunuh, mengajari korupsi, mengajari miskin, dan seterusnya. Tentu, kita tidak terlalu sulit untuk menolak kesimpulan yang semacam itu.

Termasuk, ketika Hitchens membuat kesimpulan bahwa agama adalah racun bagi segala sesuatu termasuk peradaban manusia. Sebagaimana dia tulis dalam sub judul bukunya: ‘God is not Great, How Religion Poisons Everything’.

Maka, adalah tidak berlebihan jika kita menyebut Hitchens sebagai angry disbeliever. Bahwa kesimpulan dia tentang tidak adanya Tuhan bukan sebuah kesimpulan ilmiah melainkan sekedar luapan kemarahan dan sakit hati belaka. Karena itu, rasanya kita tidak perlu membuat ulasan lebih mendalam tentang pemikiran Hitchens di buku ini. Apalagi, secara lebih detil saya sudah membahasnya dalam buku DTM-20: ‘Beragama dengan Akal Sehat’.

Yang perlu kita tegaskan adalah, bahwa Islam merupakan agama fitrah yang bersifat universal. Ajaran-ajarannya sesuai dengan sifat-sifat dasar kemanusiaan. Sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keadilan, kesejahteraan, kebersamaan, kasih sayang, dan berbagai akhlak mulia dalam menata umat manusia. Yang kemudian secara utuh digambarkan oleh Al Qur’an sebagai misi ‘rahmatan lil alamin’. Yakni, menebar rahmat dan kasih sayang bagi seluruh alam.

Kalaupun masih banyak orang Islam yang miskin, ada yang berbuat kriminal, ada yang suka membuat kerusuhan, merugikan orang lain, dan sebagainya, maka itu menjadi tugas kita bersama untuk membimbing mereka mengikuti jalan Tuhan. Karena agama ini memang diturunkan untuk membimbing umat manusia agar selalu di jalan kebaikan dan meninggalkan segala kejahatan.

QS. Fushshilat (41): 33-35
Siapakah yang lebih baik tutur katanya dibandingkan dengan orang yang mengajak ke jalan Allah, (sambil) mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (hanya kepada-Nya)?"

Dan tidaklah sama antara kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang sebaik-baiknya, sehingga orang-orang yang bermusuhan itu (seakan-akan) menjadi teman setia.

Sifat-sifat yang baik tidak dianugerahkan, kecuali kepada orang-orang yang sabar. Dan tidak dianugerahkan, kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.

QS. Al Anbiyaa’ (21): 107
Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

~ Wallahu a’lam bishshawab ~
 Agus Mustofa

KASUS KELIMA: Substansi Kesadaran.


Sebagai pakar neuroscience yang atheis, Sam Harris membangun kesimpulan yang senada dengan kawan-kawannya. Bahwa Tuhan itu tidak ada. Karena secara neuro-science tidak bisa dibuktikan.

Tuhan hanyalah sebuah konsekuensi dari ‘keharusan kognitif’ untuk mencari kejelasan dari sesuatu yang tidak diketahui. Dan kemudian manusia mencoba menghubung-hubungkan dengan asal-usulnya, asal-usul kehidupan, serta kemana perginya kelak sesudah kematian.      

Semua itu, menurutnya, adalah sesuatu yang tidak jelas dan tidak pasti. Tapi karena kita butuh jawaban, maka dibuatlah jawaban yang bersifat transcendental (jauh dr empiric) atau supranatural. Menurutnya semua itu hanya ilusi belaka. Atau, delusi seperti disimpulkan oleh Dawkins.  

Ia meyakini, di masa depan Agama akan kehilangan posisi seiring dengan semakin menguatnya argumentasi sains. Manusia akan lebih meyakini bukti-bukti yang empiris daripada yang transendental. Karena itu keyakinan terhadap Tuhan dan agama sudah selayaknya diakhiri, sebagaimana judul bukunya: The End of Faith.

Sebenarnya, kalau kita mau menengok sistem kerja otak manusia dalam memahami realitas ini kita akan berpikir ulang untuk membuat kesimpulan semacam itu. Sebuah kesimpulan yang menurut saya tergesa-gesa, untuk mengatakan Tuhan adalah sekedar kebutuhan kognitif belaka. Bahkan, sekedar delusi (khayalan).

Otak kita adalah mesin canggih yang menjadi interface alias media penghubung antara ‘dunia luar’ yang kita sebut sebagai realitas, dengan ‘dunia dalam’ yang kita sebut sebagai kognisi atau kesadaran. Pada orang-orang atheis, mereka menyebut kesadaran itu sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari otak. Atau, bahkan otak itu sendirilah yang disebut sebagai ‘kesadaran’, atau setidak-tidaknya sebagai ‘sumber kesadaran’.

Sedangkan orang beragama, menyebut otak hanya sebagai media atau pintu gerbang saja untuk memasuki alam kesadaran. Karena, kesadaran itu bersumber pada sesuatu yang lebih dalam, yakni ruh. Kesadaran yang identik dengan otak adalah kesadaran rendah yang disebut sebagai jiwa. Sedangkan kesadaran yang lebih tinggi disebut sebagai kesadaran ruh yang bersumber pada Kesadaran Semesta, atau kesadaran Ilahiah yang terkait dengan keberadaan Tuhan yang transendental.

Orang-orang atheis membuat kesimpulan  bahwa ‘kesadaran identik dengan otak’ berdasar pada bukti empiris, dimana seseorang yang otaknya mengalami kerusakan, akan mengalami gangguan kesadaran. Alias gangguan jiwa. Dan sebaliknya, orang yang mengalami gangguan jiwa juga mengalami kerusakan pada struktur otaknya. Sehingga, mereka menyimpulkan otak = jiwa, dan jiwa = otak.

Tidak ada istilah ruh dalam kamus mereka. Karena, kehidupan bukan disebabkan oleh adanya ruh, melainkan muncul sebagai konsekuensi dari sistem alamiah yang ada di dalam tubuh makhluk hidup. Dengan demikian, kematian dianggap sebagai terminal terakhir dari perjalanan makhluk hidup. Tidak ada yang namanya kehidupan sesudah mati. Atau alam berdimensi lebih tinggi sebagai kelanjutan kehidupan dunia. Semua itu menjadi satu paket dari ketidak percayaan mereka terhadap Tuhan.

Tetapi, kalau mereka mau membuka sedikit saja jendela pemikirannya, mereka akan bisa merasakan adanya sesuatu di balik otak. Bahkan di balik susunan saraf-saraf otak. Atau, lebih kecil lagi di dalam sel-sel  saraf itu, yang kemudian akan memasuki wilayah genetika sebagai pengendali mekanisme kerja saraf otak manusia.

Pertanyaannya, sebenarnya ‘kesadaran’ itu berada hanya di wilayah otak sebagai organ, ataukah sudah ada di tingkat sel, ataukah malah sudah ada di tingkat inti sel dan genetikanya? Bahkan, lebih jauh kita masih bisa menelisik lebih ke dalam lagi.

Memang di dalam tubuh manusia, kesadaran kemanusiaan kita berada di wilayah otak. Sehingga, seakan-akan kesadaran identik dengan otak. Tetapi, kalau kita mau mencermati lebih jauh, fungsi otak sebagai pusat kesadaran itu hanya berhenti pada skala organik.
Otak mengendalikan berbagai aktivitas tubuh dalam skala organik, seperti mengendalikan jantung, paru-paru, ginjal, organ pencernaan, dan berbagai kelenjar dalam sistem endokrinologi. Namun, dia tidak mengendalikan aktivitas di tingkat seluler. Karena, di wilayah ini yang menjadi ‘otaknya’ bukan lagi otak yang berada di dalam tempurung kepala itu, melainkan sistem kecerdasan di dalam inti sel dalam bentuk mekanisme genetika itu.

Termasuk di dalam ‘otak kepala’ sendiri. Para ahli neuroscience masih perlu meneliti lebih mendalam, apakah kesadaran itu berada di tingkat organik ataukah di tingkat seluler, ataukah lebih mendalam ada di tingkat genetika, ataukah malah bersumber dari balik semua yang materialistik itu?

Karena, sebagaimana kita ketahui, jika sosok materi ‘dihaluskan’ kuantitasnya sampai menjadi kualitas, ia akan berubah menjadi energi, mengikuti rumus Einstein, E=mc2. Pemusnahan materi akan menghasilkan energi. Sebaliknya, ‘pengkristalan’ energi akan menghasilkan materi.

Artinya, ada realitas kontinum yang bisa mewujudkan materi sebagai kuantitas, menjadi energi sebagai kualitas. Ibarat deret angka yang memanjang dari sisi positif di sebelah kanan, dan negatif di sebelah kiri, perubahan keduanya akan melewati angka nol alias ketiadaan. Atau pemusnahan.

Sehingga perubahan dari suatu keadaan ‘positif’ berupa materi menjadi suatu keadaan ‘negatif’ berupa energi harus ‘melangkahi’ pemusnahan terlebih dahulu. Itulah yang terjadi pada proses annihilasi materi menjadi energi.

Maka, kalau kita kaitkan realitas itu dengan organ otak dan fungsi kesadaran, kita bisa melihat korelasinya dengan jelas. Bahwa otak adalah materi, sedangkan fungsi kesadaran adalah kualitas atau energi. Perubahan dari ‘otak materi’ menjadi ‘otak energi’ itu menjadi penjelas terjadinya kesadaran di dalam otak kita.

Bahwa, kesadaran manusia bukan hanya disebabkan oleh sistem sarafi dalam skala organ belaka, melainkan lebih mendalam dari itu, terhubung dengan proses annihilasi materi menjadi energi kesadaran. Sehingga, sebenarnya, kesadaran itu sudah ada di level yang lebih halus dibandingkan otak sebagai organ. Dan itulah yang kita lihat dalam skala seluler maupun biomolekuler di sistem informasi genetika.

‘Kesadaran’ sudah muncul di level yang lebih kecil dari otak. Sehingga kesadaran otak hanyalah ‘akumulasi kesadaran’ di tingkat yang lebih halus saja. Bagaimana mungkin sel bisa hidup, jika sel-sel itu tidak memiliki ‘kesadaran’ untuk mempertahankan kehidupannya?

Bagaimana mungkin juga, sistem genetika itu bisa memberikan perintah-perintah terstruktur, kalau mereka tidak memiliki kesadaran untuk mencapai tujuan tertentu, yakni membentuk sel, mempertahankannya, dan bahkan mengembangkan untuk bisa menjadi lebih banyak lagi. Semua itu dikontrol oleh sebuah ‘kesadaran’.

Adalah sebuah ketergesa-gesaan jika menyimpulkan kesadaran identik dengan otak belaka. Dan tidak ada sumber kesadaran yang lebih dalam di balik itu. Karena sesungguhnya, setiap benda dalam skala wujud materialistiknya memiliki kesadaran sesuai dengan levelnya. Di level organisme, manusia memiliki kesadaran kemanusiaannya. Di level organ tubuh, setiap organ kita juga memiliki level kesadaran organiknya. Di level jaringan sel, juga demikian. Di level seluler, di level genetika, di level molekuler, atomik, partikel-partikel subatomik, sampai pada quark dan energi, semuanya memiliki kesadaran dalam level yang sesuai tingkatannya.

Itulah sebabnya, meskipun kesadaran kemanusiaan kita ‘tidak menyadari’ fungsi jantung, sang jantung tetap saja bekerja untuk menghidupi tubuh. Demikian juga, berbagai organ seperti ginjal, liver, paru, dan berbagai organ vital, semuanya bekerja atas dasar kesadarannya sendiri.

Bahkan juga di level jaringan sel. Mereka, juga tanpa harus diperintah oleh kesadaran kemanusiaan kita, tetap saja bekerja menjaga koordinasi jaringan sel. Kalau sampai sel-sel itu tidak bekerja membentuk jaringan yang sesuai, tubuh manusia ini sudah amburadul sejak awal kejadiannya.

Bukan otak yang memerintah sel-sel untuk membentuk jaringan sel kulit, jaringan sel tulang, jaringan sel rambut, sel mata, sel darah, dan sekitar 200 jenis sel yang berbeda, melainkan karena adanya kesadaran di tingkat seluler itu sendiri.

Dan seterusnya, semakin ‘halus’ kita masih selalu menemui tingkat-tingkat kesadaran itu. Bahkan sampai di level perubahan antara materi dan energi, atau lebih halus lagi antara ‘ada’ dan ‘tiada’, antara yang wujud dan tak berwujud, selalu ada ‘kesadaran’ yang mengendalikan proses untuk mencapai tujuan tertentu.

Para ilmuwan atheis membantah adanya ‘tujuan’ dalam setiap proses alamiah. Tetapi, faktanya setiap level proses dalam realitas ini memiliki tujuan. Masa, sistem genetika yang jelas-jelas bertujuan untuk mempertahankan eksistensi sel agar tetap hidup dan bahkan berkembang biak itu dianggap sebagai tanpa tujuan, dan berproses secara acak?

Masa, jaringan sel yang jelas-jelas bisa berkelompok sehingga mereka tidak keliru membentuk jenis sel itu yang dibutuhkan itu disebut berjalan secara acak? Kenapa sel tulang tidak keliru menjadi sel darah, tidak keliru menjadi sel rambut, tidak keliru menjadi sel mata dan sebagainya?

Padahal tulang bersebelahan dengan darah, bersebelahan dengan sel rambut, bersebelahan dengan sel mata, dan seterusnya. Sudah sangat jelas, mereka mempunyai tujuan. Apa tujuannya? Ya, tentu saja untuk membentuk jaringan-jaringan sel yang sesuai. Serta menahan diri untuk tidak keliru. Dan bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu. Bahkan, membiakkan diri dalam skala yang terkontrol sesuai ‘pesanan’ dari sistem informasi yang ada di dalam genetikanya.

Dan untuk itu, dibutuhkan ‘kesadaran’. Bukan kesadaran yang dikendalikan otak, karena kesadaran otak itu sendiri dibentuk dari kesadaran-kesadaran yang lebih halus di tingkat seluler, di tingkat nukleus dan genetika, di tingkat molekuler, di tingkat atomik, di tingkat partikel quark dan kuantum, di tingkat energial, serta di tingkat yang lebih halus dari itu semua. Sebuah ‘Kesadaran Universal’ yang telah meliputi segala eksistensi di alam semesta..!

Begitulah fakta yang kita amati dari sekitar kita. Sehingga, sekali lagi, adalah kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa dan ‘gegabah’ jika keberadaan Tuhan hanya dikaitkan dengan kebutuhan kognisi manusia di level otak. Yang jika kognisi kita tidak mampu menjangkaunya, maka kita anggap Tuhan hanya sebagai ilusi belaka.

Kata Al Qur’an, hanya ada dua kemungkinan bagi orang yang demikian. Yang pertama, ilmu mereka memang belum sampai. Atau, yang kedua, mereka sengaja menyembunyikan fakta dengan meletakkan asumsi yang ‘bersifat pesanan’, agar mereka tidak perlu mengakui adanya Tuhan, Sang Pencipta yang Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana...

QS. An Naml (27): 65-66
Katakanlah: “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang gaib, kecuali Allah”, dan (temasuk) mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.

Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat (dan hal-hal yang gaib) tidak sampai, bahkan  mereka ragu-ragu tentang akhirat (dan yang gaib) itu, lebih-lebih lagi mereka buta daripadanya.

QS. Al Ankabuut (29): 44
Allah menciptakan langit dan bumi dengan benar. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda keberadaan Allah bagi orang-orang yang beriman.


~ wallahu a'lam bishshawab ~
Agus Mustofa