BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pendidikan
dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran, pemberian pengetahuan,
keterampilan dan sikap melalui pikiran, karakter serta kapasitas fisik dengan
menggunakan pranata-pranata agar tujuan yang ingin dicapai dapat dipenuhi.
Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal. Penyampaian
kebudayaan melalui lembaga informal tersebut dilakukan melalui enkulturasi
semenjak kecil di dalam lingkungan keluarganya. Dalam masyarakat yang sangat
kompleks, terspesialisasi dan berubah cepat, pendidikan memiliki fungsi yang
sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan.
Dengan makin cepatnya perubahan kebudayaan, maka makin banyak diperlukan waktu
untuk memahami kebudayaannya sendiri.
Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses
pembelajaran, pemberian pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui pikiran,
karakter serta kapasitas fisik dengan menggunakan pranata-pranata agar tujuan
yang ingin dicapai dapat dipenuhi. Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga
formal dan informal. Penyampaian kebudayaan melalui lembaga informal tersebut
dilakukan melalui enkulturasi semenjak kecil di dalam lingkungan keluarganya.
Dalam masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan berubah cepat,
pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai
satu keseluruhan.
Dengan makin cepatnya perubahan kebudayaan, maka makin banyak diperlukan waktu
untuk memahami kebudayaannya sendiri.
Hal ini membuat kebudayaan di masa depan tidak
dapat diramalkan secara pasti, sehingga dalam mempelajari kebudayaan baru
diperlukan metode baru untuk mempelajarinya. Dalam hal ini pendidik dan
antropolog harus saling bekerja sama, dimana keduanya sama-sama memiliki peran
yang penting dan saling berhubungan. Pendidikan bersifat konservatif yang
bertujuan mengumpulkan hasil-hasil prestasi kebudayaan, yang dilakukan oleh
pemuda-pemudi sehinga dapat menyesuaikan diri pada kejadian-kejadian yang dapat
diantisipasikan di dalam dan diluar kebudayaan serta merintis jalan untuk
melakukan perubahan terhadap kebudayaan.
B.Rumusan Masalah
1.
Tipe-tipe sistem
pendidikan di masyarakat dalam perspektif
antropologis
2. Sistem pendidikan di masyarakat dalam perspektif
antropologis
3. Analisis sosio-antropologis sistem pendidikan
4. Kontribusi pendekatan sosiologi oleh para Tokoh Sosiologi
Pendidikan
5. Teori Sosiologi sebagai Pendekatan
C.Tujuan Penulis
Untuk
mengetahui tipe-tipe sistem pendidikan di masyarakat dalam perspektif
antropologis
Untuk mengetahui sistem pendidikan
di masyarakat dalam perspektif antropologis
Untuk memahami tentang analisis
sosio-antropologis sistem pendidikan
Untuk mengetahui kontribusi
pendekatan sosiologi oleh para tokoh sosiologi pendidikan
Untuk mengetahui bagaimana teori
sosiologi sebagai pendekatan
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Antropologi
Antropologi
adalah kajian tentang manusia dan cara-cara hidup mereka. Antropologi mempunyai
dua cabang utama, yaitu antropologi yang mengkaji evolusi fisik manusia dan
adaptasinya terhadap lingkungan yang berbeda-beda, dan antropologi budaya yang
mengkaji baik kebudayaan-kebudayaan yang masih ada maupun kebudayaan yang sudah
punah. Secara umum antropologi budaya mencakup antropologi bahasa yang mengkaji
bentuk-bentuk bahasa, arkeologi yang mengkaji kebudayaan-kebudayaan yang masih
punah, etnologi yang mengkaji kebudayaan yang masih ada atau kebudayaan yang
hidup yang masih dapat di amati secara langsung.[i]
Antropologi merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang
mempelajari tentang budaya masyarakat
suatu etnis tertentu.
Lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang
melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang
dikenal di Eropa. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan
masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal di
daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada
sosiologi lebih menitikberatkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Antropologi adalah suatu ilmu yang memahami sifat –
sifat semua jenis manusia secara lebih banyak. Antropologi yang dahulu
dibutuhkan oleh kaum misionaris untuk penyebaran agama Nasrani dan bersamaan
dengan itu berlangsung system penjajahan atas Negara – Negara di luar Eropa,
dewasa ini dibutuhkan bagi kepentingan kemanusiaan yang lebih luas. Studi
antropologi selain untuk kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di Negara –
Negara yang telah membangun sangat diperlukan bagi pembuatan – pembuatan
kebijakan dalam rangka pembangunan dan pengembangan masyarakat.
Sebagai suatu disiplin ilmu yang sangat luas
cakupannya, maka tidak ada seorang ahli antropologi yang mampu menelaah dan
menguasai antropologi secara sempurna. Demikianlah maka antropologi dipecah –
pecah menjadi beberapa bagian dan para ahli antropologi masing – masing
mengkhususkan diri pada spesialisasi sesuai dengan minat dan kemampuannya untuk
mendalami studi secara mendalam pada bagian – bagian tertentu dalam
antropologi. Dengan demikian, spesialisasi studi antropologi menjadi banyak,
sesuai dengan perkembangan ahli – ahli antropologi dalam mengarahkan studinya
untuk lebih mamahami sifat – sifat dan hajat hidup manusia secara lebih banyak.[ii]
B.Pengertian Sosiologi
Secara
etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa Latin yang terdiri dari kata
“socius” yang berarti teman dan “logos” yang berarti berkata atau berbicara.
Jadi sosiologi artinya berbicara tentang manusia yang berteman atau
bermasyarakat.[iii] Secara terminologi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur
sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial.[iv] Adapun objek sosiologi adalah masyarakat yang
dilihat dari sudut hubungan antara manusia dan proses yang timbul dari hubungan
manusia dalam masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah meningkatakan daya atau
kemampuan manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya.
Sosiologi adalah bagian
ilmiah tentang kehidupan sosial manusia yang berusaha mencari tahu tentang
hakekat dan sebab-sebab dari berbagai pola pikiran dan tindakan manusia yang
teratur dapat berulang. Berbeda dengan psikologi yang memusatkan perhatiannya
pada karakteristik pikiran dan tindakan orang per-orangan, sosiologi hanya
tertarik kepada pikiran dan tindakan yang dimunculkan seseorang sebagai anggota
suatu kolompok atau masyarakat.
Namun perlu diingat bahwa sosiologi adalah disiplin ilmu yang luas dan
mencakup banyak hal, dan ada banyak jenis sosiolog yang mempelajari sesuatu
yang berbeda dengan tujuan berbeda-beda.[v]
Selain itu,
sosiologi terminologikal juga diartikan sebagai studi sistematis mengenai keadaan
kelompok dan masyarakat serta gejala-gejalanya yang saling berhubungan
dan saling mempengaruhi setiap tindakan. Sosiologi tidak membahas individu,
akan tetapi lebih kepada gejala-gejala sosial yang berdasar pada penjelasan
sejarah, peristiwa dan kehidupan nyata.[vi]
Sosiologi juga diartikan sebagai
ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan, yakni antar
hubungan di antara manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan kelompok,
kelompok dengan kelompok, baik formil maupun materil, baik statis maupun
dinamis.[vii]
C.Tipe-Tipe Sistem Pendidikan di Masyarakat
Dalam perspektif antropologis, pendidikan merupakan
gejala budaya. Dengan demikian menurut para antropolog, pendidikan adalah
setiap sistem budaya atau instruksi intelektual yang formal atau semiformal.
Pendidikan adalah ciri masyarakat manusia yang universal. Walaupun sebagai universalitas
kebudayaan, sifat spesifiknya sangat berbeda antara masyarakat yang satu dan
masyarakat yang lainnya. Randall Colliins (1977) mengemukakan 3 tipe dasar
pendidikan yang ditemukan diseluruh masyarakat dunia, yaitu :
1.
Pendidikan
ketrampilan praktisaan, pendidikan ketrampilan praktis ini dirancang untuk
memberikan ketrampilan dan kemampuan teknis tertentu yang dipandang penting
dalam melakukan kegiatan-kegiatan pekerjaan lain. Pendidikan ini didasarkan
pada bentuk pengajaran guru magang (master-apprentice). Pendidikan praktis ini
menarik perhatian karena beragam ritual yang khas pada pendidikan birokratis
dan tidak ada kelompok status. Di sini, tidak diperlukan pengawas, ujian
kenaikan tingkat atau derajat. Sebab, ujian satu-satunya yang layak untuk
keefektifan tipe pendidikan ini ialah keberhasilan dalam praktek.
2.
Pendidikan
keanggotaan kelompok status, pendidikan ini dilakukan untuk tujuan simbolisasi
dan memperkuat prestise dan hak-hak istimewa kelompok elite dalam masyarakat
yang memiliki pelapisan sosial. Dalam perspektif historis, pendidikan lebih
sering digunakan untuk mengorganisasi kelompok status daripada untuk
tujuan-tujuan lain. Karena fokus kegiatan kelompok status dibedakan secara
tajam dari pendidikan praktis dengan diabaikannya ketrampilan produktif secara
material. Pendidikan kelompok status bersifat seremonial, estetik, dan terlepas
dari kegiatan-kegiatan praktis. Ritualnya jarang mempunyai peringkat yang
dramatis di dalam kelompok. Tidak ada kenaikan derajat. Perbedaan utama adalah
di antara orang dalam dan orang luar, bukan di antara anggota-anggota kelompok.
Sering tidak diperlukan pengawas formal. Tidak adanya derajat formal
mencerminkan kenyataan bahwa pencapaian kebudayaan kelompok status merupakan
tujuan pendidikan.
3.
Pendidikan
briokratis, pendidikan ini bersifat umum di berbagai peradaban besar, khususnya
pada peradaban yang memiliki birokrasi yang tersentralisasi. Ini dari sistem
ini adalah sistem ujian. Ujian-ujian yang ketat harus dilewati agar
individu-individu itu dapat memasuki posisi-posisi penting dalam birokrasi
pemerintahan. Semakin tinggi suatu posisi, semakin rumit rangkaian ujian yang
harus ditempuh oleh seorang calon. Biasanya hanya sebagia kecil dari
calon-calon sarjana yang lulus pada setiap ujian, (Collins, 1977).
D.Sistem Pendidikan di Masyarakat
Sistem pendidikan moderen muncul pada abad ke 19,akan
tetapi, sistem pendidikan di Amerika
telah maju dengan skala yang sudah jauh lebih besar apabila dibandingkan
dengan lainnya. Masyarakat moderen untuk beberapa waktu telah mempunyai sistem
pendidikan paling masif didunia. Semua pemuda melanjutkan pendidikannya ke pendidikan
menengah, dan lebih dari setengah lulusan sekolah menengah atas memasuki
perguruan tinggi. Masyarakat moderen mempunyai jumlah perguruan tinggi dan
universitas yang banyak dibandingkan negara lain di dunia ini.
Pada awal abad ke 19, di Amerika sedikit
terdapat pendidik Teorian formal, mahasiswanya berjumlah sedikit dan itupun
banyak yang tidak selesai. Pada masa itu tidak ada sistem pendidikan dasar dan
menengah milik pemerintah. Pertengahan abad ke 19, sekolah dasar negri pertama
dibentuk. Pendidikan dasar dengan cepat tumbuh di negara ini, adapun pendidikan
menengah negri baru didirikan pada pertengahan kedua abad itu, namun masih
sedikit siswa yang mendaftar. Awal abad ke 20 terjadi konversi sekolah menengah
dari persiapan perguruan tinggi menjadi lembaga massa, dan pendaftaranpun
melonjak. Perubahan besar lainnya dalam pendidikan Amerika terjadi sesudah
perang dunia II. Selama periode ini, pendaftaran ke perguruan tinggi meningkat
secara dramatis. Pada tahun 1940 hanya 16% dari lulusan sekolah menengah atas
yang meneruskan ke perguruan tinggi. Akan tetapi, pada tahun 1980. Kira-kira
57% yang meneruskan.[viii]
E. Analisis sosio-antropologis sistem
pendidikan
1. Teori
Fungsionalis
Teori ini sampai saat
ini masih mendominasi pemikiran antropologi-sosiologi-kontemporer mengenai
pendidikan. Teori ini berusaha menjelaskan sifat pendidikan dan ekspansisnya
pada abad ke 19 sebagai akibat adanya persyaratan yang timbul dari perubahan
teknologi dan ekonomi. Pendidikan di Amereika dinilai telah mempunyai bentuk
tertentu karena kontribusi positifnya terhadap masyarakat industri.
Prinsip-prinsip
utama teori ini diringkas oleh Collins (1979) sbb :
1. Persyaratan pendidikan untuk pekerja-pekerja masyarakat
industri terus meningkat sebagai akibat adanya perubahan teknologi
2. Pendidikan formal memberikan latihan yang diperlukan
kepada orang-orang untuk mendapatkan pekerjaan yang menuntut ketrampilan lebih
tinggi
3. Persyaratan pendidikan untuk bekerja terus meningkat
serta semakin banyak orang dituntut untuk menghabiskan waktu yang lebih lama di
sekolah
2. Teori
Bowles dan Gintis
Bowles
dan Gintis percaya bahwa tujuan pendidikan yang tepat adalah meningkatkan
penyelidikan intelektual yang terbuka, kreatif, dan pertumbuhan manusia yang
positif. Jenis sistem pendidikan yang benar ialah sistem yang menjurus pada
kepuasan pribadi dan pemenuhan intelektual emosional.
Salah satu
cara yang menunjukan bahwa Bowles dan Gintis berusaha untuk memperlihatkan
argumen mereka adalah menyelidiki tuntutan meritokratik yang dipromosikan
secara luas oleh sistem pendidikan. Tuntutan-tuntutan itu pada umumnya
memandang bahwa sukses ekonomi merupakan hasil jasa individu. Menurut mereka,
sukses ekonomi disebabkan terutama oleh adanya kapasitas intelektual yang
superior, sedangkan kegagalan ekonomi merupakan akibat dari tidak adanya
kapasitas demikian.
Bowles dan
Gintis mendesak tuntutan bahwa masyarakat moderen sebagai suatu meritokrasi
tidak berlaku. Mereka mengemukakan bukti yang sangat meyakinkan untuk mendukung
pernyataannya. Mereka memperlihatkan bahwa sukses ekonomi mempunyai hubungan
erat dengan tingkat kelas dan kecil sekali hubungannya dengan IQ dan
angka-angka tes kognisi (Sanderson,2003)
Bowles dan
Gintis mengemukakan temuan-temuan
penelitian yang memperlihatkan bahwa sifat-sifat kepribadian yang paling
dinilai dan dihargai adalah sifat kepribadian yang paling dihargai di tempat
kerja. Mereka memperlihatkan bahwa hubungan sosial pada tingkat pendidikan yang
berbeda mencerminkan hubungan sosial di lingkungan kerja yang berbeda.
Dalam
mendukung argumennya, Bowles dan Gintis berupaya memperlihatkan bahwa teori
mereka mendapat pembenaran dalam sejarah pendidikan Amerika. Mereka mencatat
bahwa timbulnya pendidikan negara bagi masyarakat pada pertengahan abad ke-19
di Amerika bertepatan dengan awal masa industrialisasi dan munculnya sistem
pabrik.mereka menginterpretasikan introduksi pendidikan negara sebagai respons kaum
kapitalis terhadap kebutuhan yang dituntut oleh masa industrialisasi ini.
3.Teori
Randall Collins
Dalam
mengembangkan teorinya, Collins menggunakan konsep Weber mengenai kelompok status. Menurutnya
kelompok-kelompok status itu sebagai hal yang paling penting daripada kelas
dalam pembentukan sistem pendidikan Amerika. Menurut Collins kelompok-kelompok status
yang pling penting ialah kelompok-kelompok etnis.
Pandangan Collins karakter pendidikan Amerika
dan ekspansinya yang dramatis sebagai akibat adanya keragaman etnis yang besar
dalam masyarakat Amerika. Keragaman tersebut menimbulkan perjuangan di kalangan
kelompok-kelompok etnis itu untuk memperoleh hak-hak istimewa dan prestise. Ini
dimulai pada abad ke-19 sampai abad ke- 20. Bagi mereka, pendidikan adalah
suatu mekanisme untuk mengalihkan nilai-nilai budaya yang dominan kepada
kelompok-kelompok pekerja yang baru, ataupun sebagai sumber daya yang hendak
digunakan untuk memperkuat keunggulan ekonomi mereka. Sementara itu,
kelompok-kelompok di bawahnya melihat pendidikan sebagai sumber daya yang dapat
mereka gunakan dalam upaya memperbaiki status ekonomi mereka. Collins
menyebutkan proses ini sebagai inflasi kredensial. Dalam dunia pendidikan,
inflasi kredensial itu berarti bahwa jumlah pendidikan yang sama tidak lagi
dapat membeli apa yang pernah terbeli. Orang harus memperoleh lebih tinggi lagi
agar tetap sebanding dalam perjuangan memperoleh
sukses ekonomi.
Collins
membuat cacatan khusus bahwa lembaga-lembaga pendidikan Amerika dipaksa untuk
membuat perubahan besar dalam kurikulum mereka dan dalam karakter umum mereka
agar menarik perhatian peminat massa yang semakin meningkat.
Perubahan-perubahan meliputi dituangkannya kurikulum seni liberal yang klasik
dan diperkenalkannya sejumlahsejumlah kegiatan extrakurikuler.
Randall
Collins (1979:124-125) menyebutkan bahwa penampilan utama universitas yang dihidupkan
kembali bagi kelompok-kelompok mahasiswa yang berjumlah besar bukan menawarkan
latihan, melainkan pengalaman sosial dalam mengikutinya. Elite yang lebih tua
sedang dilestarikan dalam bentuk baru dan lebih fleksibel. Melalui permainan
football, perguruan-perguruan tinggi pertama kali menjadi penting dimata
publik. Pada saat yang sama, persaudaraan semakin tersebar luas. Bersamaan
dengan itu, tumbuhlah tradisi minum-minum, pesta, parade, dan menari
diuniversitas. Selanjutnya muncul budaya undergraduate. Budaya ini menunjukan
bahwa pendidikan perguruan tinggi mulai dipandang sebagai konsumsi oleh kelas
atas industri baru. Upaya untuk mengembalikan pendidikan pada fungsi sentralnya
mengalami kegagalan. Para mahasiswa tidak mengganggu ritual perpeloncoran dan
hak-hak istimewa senior. Kebanyakan mahasiswa menemukan esensi pendidikan
perguruan tinggi sebagai ritual yang dapat dinikmati dan yang memberi status
serta kehidupan sosial perguruan tinggi, bukannya kepuasan pelajaran dalam
kelas.
4.Teori Nation-Building
Teori
ini di kembangkan oleh John Meyer dan rekan-rekannya. Natiom- Building yang
terjemahan bebasnya : pendidikan sebagai pembangunan bangsa. Meyer menyebutkan
bahwa ciri-ciri yang tidak terjelaskan oleh teori di atas adalah sbb :
1.
Sistem-sistem
pendidikan massal bersifat universal, memiliki standar, dan rasional
2.
Sistem-sistem
pendidikan massal moderen sangat melembaga pada tingkat dunia. Sistem itu sama
dalam masyarakat yang berbeda diseluruh dunia
3.
Sistem-sistem
pendidikan massal secara khusus diarahkan pada sosialisasi individu sebagai
satuan sosial primer
John Boli, Fransisco Ramirez, dan John Meyer (1985:158)
mengatakan, “ dalam arti luas, pendidikan massal timbul sebagai suatu proyek
yang disengaja untuk membangun pemerintahan moderen, membentuk
individu-individu sesuai dengan kepatutan dan tujuan agama, dan politik, dan
ekonomi kolektif.” Berbeda dengan Bowles dan Gintis, mereka menekankan bahwa
pendidikan massal waktu itu bukan semata-mata gejala perkotaan dan industri.
Akan tetapi, pendidikan massal itu pun merupakan gejala dan karakteristik
pedesaan, bahkan cenderung lebih penting didaerah desa.
Bukti
penguat pandangan Meyer dan kawan-kawannya adalah peranan petani Amerika. Merka
sangat mendukung kebudayaan kapitalistik Amerika. Bukti dukungan mereka adalah
respons positif yang diberikan terhadap sistem pendidikan massal nasional
mereka memasukan anak-anaknya ke sekolah nasional yang ada di desa- desa dan
sebagainya lagi mengirimkan anak-anaknya ke sekolah nasional di perkotaan.
Kelemahan
dalam teori ini, yaitu teori ini kurang memadai untuk memahami perkembangan
pendidikan tinggi. Teori ini tidak dapat menjawab, mengapa pendidikan tinggi
meluas sedemikian sepat dan substansial
di beberapa masyarakat? Ekspensi pendidikan menengah pun cukup sulit dijelaskan
oleh teori ini. Hal yang paling mungkin untuk menjelaskannya teori inflasi
surat kepercayaan (cerdentials) Randall Collins-tentunya dengan konseptualisasi
yang lebih berwarna lagi.
F. Kontribusi Pendekatan sosiologi oleh para tokoh Sosiologi
Pendidikan
1.Karl Marx (
1818-1883)
Marx lahir dari keluarga Yahudi di trier, Jerman, pada
1818. Ibunya berasal dari keluarga Rabbi Yahudi, sedangkan ayahnya
berpendidikan sekuler dan pengacara yang sukses. Ketika suasana politik tidak
menguntungkan bagi pengacara Yahudi, ayah dan keluarganya pindah menjadi
pemeluk agama protestan. 1841 Marx meraih gelar doktor filsafat dari
universitas Berlin, yang dipengaruhi oleh pemikiran Hegel. Ia menikah pada 1843
dan hijrah ke paris. Lalu berkenalan dengan St. Simon dan Proudhon, tokoh
pemikiran sosialis, dengan Engels. Mrks ini berpengaruh terhadap cara berfikir
tentang pendidikan dan masyarakat
Dalam memahami Pendekatan Materialisme Historis ada 4 konsep sentral
penting (Morison, 1995). Pertama, Means of
Production (cara produksi), yaitu sesuatu yang digunakan untuk
memproduksi kebutuhan material dan untuk mempertahankan keberadaan. Kedua,
Relations of Production (hubungan produksi), yaitu hubungan antara suatu
masyarakat memproduksi dan peranan sosial yang terbagi kepada individu-individu
dalam produksi. Misal : pemilik dan bukan pemilik alat-alat produksi. Ketiga,
Mode of Production (mode produksi), yaitu elemen dasar dari suatu tahapan
sejarah dengan memperlihatkan bagaimana basis ekonomi membentuk hubungan
sosial, yaitu cara mengorganisasi produksi. Keempat, Force of Production
(kekuatan produksi), yaitu kapasitas dalam benda-benda dan orang yang digunakan
bagi tujuan produksi. Misal, pada masa feodal, kekuatan produksi bersumber pada
tanah, alat-alat pertanian, dan teknik penggarapan. Atau masa kapitalis,
kekuatan produksi berasal dari teknik industri, ilmu, modal, dan teknologi
mesin.
2.Emile Durkheim
Durkheim dilahirkan di Epinal Prancis pada 1858 dari
keluarga yahudi, studi di Ecole Superieure di Paris. Daei 1887-1902 menjadi
guru besar dalam ilmu-ilmu sosial di Bordeaux. Emile Durkhem berhasil menulis
buku yang monumental yaitu tentang the division of labor in Society, the Rules
of Sociological Method, dan Sucide. Lalu ia pindah ke universitas Sorboone di
Paris. Lalu kembali menerbitkan buku the Elementary Forms of the Religious
Life.
Dalam tulisan the Rules of Sociological Methods Durkheim menegaskan bahwa
objek sosiologi ialah fakta sosial. Fakta sosial merupakan semua cara
bertindak, berfikir, dan merasa yang ada di luar individu bersifat memaksa, dan
umum. Fakta sosial, oleh karena itu memiliki 3 karakteristik : satu, external,
yaitu diluar induvidu. Fakta sosial ada sebelum individu ada dan akan tetapi
ada setelah individu tiada. Dua, determined/coercive, yaitu fakta sosial
memaksa individu agar selalu sesuai dengannya (faktta sosial). Tiga, general,
yaitu tersebar luar dalam komunitas/masyarakat, milik bersama,bukan milik
individu.
Karena fakta sosial harus
diangga- sesuatu yang nyata maka fakta sosial dapat dikuantifikasikan,
dijumlahkan, dan diukur. Sebab itu pula ia dapat dinyatakan sebagai suatu angka
(rate) sosial seperti angka bunuh diri, angka mobilitas, tingkat kepopuleran
calon presiden, tingkat elektabilitas calon kepala daerah, dan sebagainya.
E.Teori Sosiologi sebagai Pendekatan
1. Teori struktural Fungsional
Teori struktural fungsional
menjelaskan bagaimana fungsinya suatu struktur, setiap struktur (mikro seperti
persahabatan, meso seperti organisasi, dan makro seperti masyarakat dalam arti
luas seperti masyarakat jawa) akan tetap ada sepanjang ia memiliki fungsi.
Asumsi Teori Struktur
Fungsional.
Pendapat Ralp Dahrendorf
(1986:196) tentang asumsi dasar yang dimiliki oleh teori struktural fungsional.
a. Setiap masyarakat terdiri dari berbagai elemen yang
terstruktur secara relatif, mantab, dan stabil
b. Elemen-elemen terstruktur tersebut terintegrasi dengan
baik
c. Setiap elemen dalam struktur memiliki fungsi, yaitu
memberikan sumbangan pada bertahanya struktur itu sebagai suatu sistem
d. Setiap struktur yang fungsional dilandaskan pada suatu
konsensus nilai di antara para anggotanya
2. Teori Stuktural Konflik
Teori struktural konflik
menjelaskan bagaimana struktur memiliki konflik. Berbeda dengan teori
struktural fungsional yang menekankan pada fungsi dari elemen-elemen pembentuk
struktur, teori struktural konflik melihat bahwa setiap struktur memiliki
berbagai elemen yang berbeda. Elemen yang berbeda ini memiliki motif, maksud,
kepentingan, atau tujuan yang berbeda-beda pula.perbedaan ini memberikan
sumbangan bagi terjadinya disintegrasi, konflik, dan perpecahan.
Asumsi Teori Struktural Konflik
Untuk menuju pada tingkatan pemahaman yang lebih mendalam,
pendapat Ralp Dahrendorf (1986:197-198) tentang asumsi dasar yang dimiliki oleh
teori struktural konflik.
a. Setiap masyarakat, dalam setiap hal, tunduk pada proses
perubahan : perubahan sosial terdapat dimana-mana
b. Setiap masyarakat, dalam setiap hal, memperlihatkan
pertikaian dan konflik : konflik sosial terdapat dimana-mana
c. Setiap elemen dalam suatu masyarakat menyumbang
disintegrasi dan perubahan
d. Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan dari berbagai
anggotanya atas orang lain
3.
Teori interaksionalisme
simbolik
Teori ini memahami realita sebagai suatu interaksi yang dipenuhi beberapa
simbol. Penekanan pada struktur oleh 2 teori makro yang dibahas sebelumnya,
yaitu struktur fungsional dan konflik, telah mengabaikan proses interpretatif dimana
individu secara aktif mengkonstruksikan tindakan-tindakannya dan proses
interaksi di mana individu menyesuaikan
diri dan mencocokan berbagai macam tindakannya dengan mengambil peran dan
komunikasi simbol (Johnson,1986:37)
Dalam mendiskusikan asumsi teori ini kita
menggunakan pendapat dari Turner (1978:327-330). Yaitu :
1.
Manusia
adalah makhluk yang mampu menciptakan dan menggunakan simbol
2.
Manusia
menggunakan simbol untuk saling berkomunikasi
3.
Manusia
berkomunikasi melalui pengambilan peran (Role Taking)
4.
Masyarakat
terbentuk, bertahan, berubah berdasarkan kemampuan manusia untuk berfikir,
mendefinisikan, melakukan refleksi diri, dan melakukan evaluasi
4.
Teori
pertukaran
Teori pertukaran melihat dunia ini sebagai arena
pertukaran, tempat orang-orang saling bertukaran ganjaran/hadiah. Apapun bentuk
perilaku sosial seperti persahabatan, perkawinan, atau perceraian tidak lepas
dari soal pertukaran. Semua berawal dari pertukaran, begitu kata tokoh teori
pertukaran. Apabila kita pahami dari berbagai pemikiran teori yang dikemukakan
oleh George Caspar Homans, Peter M, Blau, Richard Emerson, John Thibout, dan
Harold H. Kelly, maka dapat ditarik suatu pemahaman bahwa teori pertukaran
memiliki asumsi dasar sebagai berikut :
1)
Manusia
adalah makhluk yang rasional, dia memperhitungkan rugi dan untung
2)
Perilaku
pertukaran sosial terjadi apabila : perilaku tersebut harus berorientasi pada
tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain dan
perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan
tersebut.
3) Transaksi-transaksi terjadi hanya apabila pihak
yang terlibat memperoleh [ix]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam perspektif antropologis, pendidikan merupakan
gejala budaya. Dengan demikian menurut para antropolog, pendidikan adalah
setiap sistem budaya atau instruksi intelektual yang formal atau semiformal. Sistem
pendidikan moderen muncul pada abad ke 19,akan tetapi, sistem pendidikan di Amerika telah maju dengan skala yang sudah jauh lebih
besar apabila dibandingkan dengan lainnya.
Analisis sosio-antropologis sistem
pendidikan yaitu terdapat beberapa teori diantaranya :
1. Teori Fungsionalis
2. Teori Bowles dan Gintis
3.Teori Randall Collins
4.Teori Nation-Building
Ada beberapa Kontribusi Pendekatan
sosiologi oleh para tokoh Sosiologi Pendidikan, seperti :
1.Karl Marx (1818-1883)
2.Emile Durkheim (1858-1917)
3.Max Weber (1864-1920)
4.George Herbert Mead (1863-1931)
Masih
banyak yang lainnya namun dimakalah saya hanya tertulis 2 tokoh saja.
Teori Sosiologi sebagai Pendekatan seperti misalnya
contoh :
1.Teori struktural fungsional
2.Teori struktural Konflik
3.Teori Interaksional simbolik
4.Teori Pertukaran
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Bandung:
PT. IMTIMA 2007)
Abdul Syani, Sosiologi
Dan Perubahan Masyarakat (Lampung: Pustaka Jaya, 1995)
Tim
MGMP, Sosiologi SUMUT, Sosisologi (Medan: Kurnia, 1999)
Steven
K. Sandersson, Sosiologi Makro, terj. Hotman M. Siahaan (Jakarta: Raja
Grafindo Persada: 1995)
Richad J. Gelles-Ann
Levine, Sociology An Introdution (USA: University Of Rhode Island, 1995)
Maijor Polak, Sosiologi
Suatu Pengantar Ringkas (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1991)
Damsar, Pengantar
Sosiologi Pendidikan,(Jakarta:Kencana Prenada Media Grup,2011)
PERNYATAAN
1.
Banyak teori Antropologi yang telah dipaparkan, menurut saya yang
mendekati ideal adalah teori Nacional Building, yaitu bagaimana membentuk
karaker bangsa. Daripada harus melakukan pendekatan lewat etnis, status,
fungsional, maupun secara kapitalis.
2.
Apa yang dilakukan oleh Karl Mark dalam pengaruh besarnya dalam mendorong
manusia mengikuti ajakannya merupakan teori structural konflik, karena
didasarkan pada konflik dengan kaum borjuis.sehingga kaum ploretal melawan
3.
Banyak teori sosial yang terdapat dalam materi, kita dapat mengambilnya
sebagai contoh kecil dalam kehidupan.
4.
Apa yang dilakukan guru dalam mengajarkan ke muridnya adalah bentuk teori
sosial fungsional
5.
Masih bingung membedakan antara antropologi dan sosiologi
[i]
Kebudayaan dan masyarakat saling mengisi, sebab tanpa hidup bersama
manusia-manusia tidak mungkin menciptakan suatu kebudayaan atau “way of life”
dan tanpa way of life mereka tidak dapat hidup bersama. Saya dalam waktu pendek
akan mendifinisikan dan membedakan kerbudayaan dan masyarakat.
[iv] Tim
MGMP, Sosiologi SUMUT, Sosisologi (Medan: Kurnia, 1999)
h. 3.
[v]
Steven K. Sandersson, Sosiologi Makro, terj. Hotman M.
Siahaan (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 1995) hlm 2
[vi] Richad J. Gelles-Ann Levine, Sociology An
Introdution (USA: University Of Rhode Island, 1995), hlm 5
[vii] Maijor Polak, Sosiologi Suatu Pengantar
Ringkas (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1991), h. 7.
[ix][ix] [ix] Damsar, Pengantar Sosiologi
Pendidikan,(Jakarta:Kencana Prenada Media Grup,2011),hlm 21-63
0 komentar:
Posting Komentar