1.
Rasional dan Rasionalisme
Rasional berasal dari kata rasio
yang berasal dari kata Latin yaitu ratio padanan kata Yunani logos dengan
arti akal, budi atau pikiran.Pemikiran yang hanya menggunakan dan
mendasarkan diri pada rasio, muncul di Yunani Kuno untuk pertama kalinya
pada abad ke –6 SM.[1] Rasio,
dalam pendidikan erat hubungannya dengan daya pikir, penalaran dan
akal budi. Sesuai dengan pemakaian bahasa masa kini, rasio tanpa
dibedakan dari penalaran , adalah kemampuan mental manusia yang
bukan kemampuan daya tanggap panca indera.
Satu-satunya makhluk hidup yang dipandang paling tinggi (derajatnya),
yakni manusia, dianggap memiliki jiwa rasional. Dengan jiwa
rasionalnya, manusia mempu berpikir secara sadar, membuat norma sosial,
serta menyusun kebijakan-kebijakan moral.[2]
Pemikiran rasional adalah pemikiran yang merupakan usaha
manusia rasional dalam rangka melepaskan diri dari mitos. Dalam pengertian ini
mitos dilawankan dengan logos(akal budi, rasio). Maka dapat dikatakan
bahwa mitos itu adalah keirasionalan atau takhyul atau khayalan, pendeknya
sesuatu yang tak berada dalam kontrol kesadaran dan rasio manusia.
Filsafat lahir ketika manusia pertama kalinya berusaha
menghilangkan mitos dan menggantinya dengan logos. Sebab usaha manusia rasional
dimaksudkan sebagai usaha manuisa untuk meraih pengertian rasioal. Dengan kata
lain sejak semula usaha manusia rasional bermaksud untuk menghilangkan mitos. Manusia
rasioal berusaha untuk meraih pengertian rasional tentang dirinya dalam alam
lingkungannya. Terselip dalam pengertian ini, bahwa manusia senantiasa berusaha
membebaskan diri dari hal-hal irasional demi memperoleh pengertian rasional
yang diperoleh berdasarkan atas kesadaran menurut logika manusia.
Semua gejala alam semesta yang tanpak di mata manusia harus
bisa diterangkan berdasrkan kemampuan logikanya. Setiap pemikiran atau uraian
yang rasional berarti pada prinsipnya dapat dipahami oleh orang lain; apa yang
dikatakan dan dipaparkan berdasarkan rasio harus logis, artinya memiliki urutan
penalaran yang sesuai de ngan kaidah-kaidah atau hukum-hukumberpikir; apa yangt
dinyatakan berdasarkan rasio harus terbuka bagi kritik, oleh karena itu harus
ada argumentasi. Artinya, sesuatu yang kebal kritik tidak bersifat rasional (rasionalisme).
Rasionalisme adalah aliran, anggapan, atau teori filsafat
yang menjunjung tinggi hasil pemikiran manusia tanpa memperdulikan pengalaman
pribadi, fakta dan data empiris. Berdasarkan teori ini dapat dinyatakan bahwa
pengetahuan manusia terbentuk dan terjadi dari akal atau rasio. Dalam hal ini,
sumbangan yang dihasilkan oleh akal lebih menentukan dari pada sumbangan yang
diberikan indera. Bahkan lebih jauh lagi kadang-kadang para penganut
rasionalisme beranggapan bahwa pengetahuan manusia tergantung pada strukur
bawaan (ide, kategori). Artinya konsep-konsep yang diperoleh pikiran
manusia sejak ia dilahirkan di dunia, biarpun hanya sebagai bakat atau
kemungkinan.
Benih-benih munculnya aliran rasionalisme dalam sejarah
filsafat, sebenar nya dapat diacu dari pandangan yang mengatakan bahwa pikiran
itu lengkap sepenuhnya pada diri sendiri. Pandangan inilah yang dikemudian hari
mempengaruhi munculnya aliran neoplatonisme dan idealisme.
Yang memberi dasar kepada rasionalisme ini adalah Rene
Descartes[3]
atau Cartesius (1596-1650), Yang juga disebut “Bapak Filsafat
Modern”. Kata “Bapak” diberikan kepada Descartes karena
dialah orang pertama pada zaman Modern itu yang membangun filsafat yang berdiri
atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliyah.[4]
Pengetahuan akliyah didasarkan pada argumentasi yang kuat yang bersumber pada
usaha kerja keras akal manusia dalam mengeluarkan ide atau gagasan.
Cartesiuslah orang pertama di akhir abad pertengahanyang menyusun argumentasi
yang kuat, yang distinct, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal,
bukan perasaan, bukan iman, bukan wahyu, dan bukan yang lainnya.
Descartes
meragukan semua obyek yang dapat dilihatoleh pancaindra. Karena apayang dilihat
ketika sedang tersadar tidak berbeda dengan yang dilihatnya dalam mimpi,
berhalusinasi, dan ilusi. Akan tetapi, Descartes berusaha menemukan kebenaran
yang benar-benar menyakinkan, sehingga dengan memakai metode deduktif, semua
pengetahuan dapat disimpulkan.[5]
Urutan dan cara kerja ciptaan Descartes dikembangkan
lebih lanjut oleh Baruch de Spinoza (1632-1677) tanpa melalui jalan
kesangsian lebih dahulu. Rasionalisme yang lebih luas dan konskuen dibanding
dengan rasionalisme Descartes. Baginya di dalam dunia tiada hal yang
bersifat rahasia, karena akal atau rasio manusia telah mencakup segala sesuatu,
juga Tuhan. Bahkan Tuhan menjadi sasaran akal yang terpenting.
Dalam arti yang terdalam mungkin ajaran Spinoza dapat
dipandang sebagai suatu mistik filsafati yang mengajarkan tentang nisbah antara
manusia dan Tuhan sebagai tokoh yang tiada batasnya. Pengertian tentang Tuhan
(Allah) yang diajarkan Spinoza tidak sama dengan yang diajarkan Descartes.
Bagi dia Allah adalah suatu pribadi yang menciptakan dunia, akan tetapi bagi Spinoza,
Allah adalah suatu satu kesatuan umum yang mengungkapkan diri di dalam dunia.
Segala yang ada adalah Allah dan tiada sesuatu pun dapat berada pada Allah.
Pemikiran rasional lebih banyak mempengaruhi masyarakat atau
komunitas yang cinta terhadap Ilmu pengetahuan, di mana komunitas tersebut
sering digambarkan sebagai masyarakat modern. Dalam masyarakat modern memiliki
beberapa indikator yang menunjukkan sikap pada rasionalisme.
a. Dalam diri mereka terdapat
kepercayaan pada kekuatan akal budi manusia. Yaitu segala sesuatu yang harus
dapat dimengerti secara rasional. Sesuatu pernyataan dapat dikatakan benar dan
sebuah claim dapat dianggap sah, apabila dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional.
b. Adanya penolakan atau sikap berontak
pada mereka terhadap tradisi, dogma, dan otoritas mempunyai dampak pada segala
bidang pengetahuan dan kehidupan masyarakat.
c. Dalam rasionalisme mengandung suatu
kemauan untuk mengembangkan metode baru bagi ilmu pengetahuan yang jelas
menunjukkan ciri-ciri kemodern, yaitu dengan melakukan pengamatan/penelitian
dan eksperimen.
d. Unsur yang terakhir dalam
rasionalisme adalah adanya pandangan dasar dan sikap hidup yang membedakan
anatara agama dan dunia, dan menganggap dunia sebagai sesuatu yang bersifat
duniawi saja atau yang sering kita sebut sebagai skularisasi.
2.
Pengetahuan Rasional dalam Pendidikan Islam
Pengetahuan rasional berpijak pada kemurnian dari pemikiran
yang bersumber dari rasio atau akal. Dalam pendidikan, biasanya ditanamkan pola
pikir yang bersifat logis, dengan harapan anak didik dapat berfikir sesuai
dengan kadar atau kemampuan akal dalam mengajukan suatu persoalan dan berusaha
memenuhi solusi yang dapat diterima oleh akal.
Menanamkan pengetahuan rasional dalam dunia pendidikan
adalah salah satu cara menumbuhkan pola pikir pada diri anak didik ke dalam
dunia keintelektualan, tentunya tanpa ada unsur paksaan. Karena intelegensi
(kecerdasan) anak didik akan muncul sendiri tanpa disadar oleh seorang
pendidik. Ini merupakan daya respon anak didik ketika menerima materi
pembelajaran yang disampaikan oleh pendidik.
Mencerdaskan akal merupakan hasil penanaman pengetahuan
rasional dalam pendidikan. Dalam pendidikan Islam, mencerdaskan akal merupakan
pengarahan intelegensi untuk menemukan kebenaran dan ini merupakan bagian dari
tujuan pendidikan akal (ahdaf al-aqliyah) dalam pendidikan Islam.[6]
Hal ini sejalan dengan seruan Islam melalui al-Qur’an dan
as-Sunnah kepada manusia untuk mempergunakan akal dan perintah untuk berfikir.
Abdurrahman al-Baghdadi menulis “tujuan pendidikan Islam adalah mencerdasakan
akal dan membentuk jiwa yang islami, sehingga akan terwujud sosok pribadi
muslim sejati yang berbekal pengetahuan dalam segala aspek kehidupan.” [7]
Jadi aspek akal menjadi perhatian utama dalam
sistem pendidikan Islam dan pembentukan jiwa yang islami merupakan interpretasi
pengetahuan rasional dalam sistem pendidikan Islam.
[1] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Ensiklopedia Nasional Indonesia, PT. Cipta Adi Pustaka,
Jakarta, 1994, hlm, 102
[2] Zainal Abidin, Filsafat Manusia,
memahami manusia melalui Filsafat, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000,
hlm. 37
[3] Rene Descartes, filosof Perancis. Descartes mengingatkan kita kepada
Al-Ghazali yang dalam menuntut pengetahuan tertentu, memulai dengan meragukan
segala sesuatu. Namunjika meragukan segala sesuatu, ia harus eksis agar dapat
ragu; karena ragu adalah suatu bentuk berpikir, dan berpikir berati eksis.
[5] Drs. Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, (Bandung: Pustaka
Setia, 2009), hlm 84
[7] Abdurrahman
al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khalifah Islam, Al-Izah, Banjil,
1996., hlm. 30.
0 komentar:
Posting Komentar