KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM KLASIK (750-1350 M)

BAB II
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KLASIK
A.    Definisi Kurikulum Pendidikan Islam
1.      Definisi Kurikulum
Secara formal, kemunculan[1][10] kurikulum sebagai bidang kajian ilmiyah baru pada awal abad ke- 20.[2][11] Kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata Curire yang artinya pelari. Kata Curere artinya tempat berpacu. Curriculum diartikan jarak yang ditempuh dari seorang pelari. Pada saat itu kurikulum diartikan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa/ murid untuk mendapatkan ijazah. Rumusan kurikulum tersebut mengandung makna bahwa isi kurikulum tidak lain adalah sejumlah mata pelajaran (subjek matter) yang harus dikuasai siswa agar siswa memperoleh ijazah.[3][12]
Pada masa klasik, pakar pendidikan Islam menggunakan kata al-maddah untuk pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu.[4][13] Ilmu-ilmu agama mendominasi kurikulum di lembaga formal dengan mata pelajaran hadis dan tafsir, fiqih, retorika dakwah[5][14] (dianggap sesuatu yang sangat penting dalam dunia pendidikan klasik).[6][15]
Sejalan dengan perjalanan waktu, pengertian kurikulum mulai berkembang dan cakupannya lebih luas, yaitu mencakup segala aspek yang mempengaruhi pribadi siswa. Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup tujuan, mata pelajaran, proses belajar dan mengajar serta evaluasi.
Pada masa klasik kurikulum didefinisikan dengan kata al-Maddah yaitu serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam tingkat tertentu.
Kurikulum ketika didefinisikan secara terminologis kurikulum adalah seperti yang dikumukakan oleh adamardasy yang dikutip oleh Neng Muslihah bahwa kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, budaya, social, olah raga dan seni yang disediakan oleh murid-muridnya di dalam dan luar sekolah.
Crow and crow mendefinisikan seperti yang dikutif oleh Ramayulis, bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran atau sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis untuk menyelesaikan seuatu program untuk memperole ijasah. Menurut Zakiyah Darajat adalah suatu program yang direncanakan dalam bidang pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu.
Menurut Willian B. Ragan kurikulum adalah serluruh usaha sekolah untuk meransang anak belajar baik di dalam kelas, di halaman sekolah maupaun di luar sekolah. Kumudian menurut Harord Alberty kurikulum adalah seluruh aktifitas yang dilakukan sekolah untuk para pelajar.
Sementara itu, menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, pada bab I, tentang ketentuan umum pasal 1 ayat (1) diyatakan bahwa: kurikulum adalah seperangkat dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pengajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kemudian pengertian kurikulum menurut fungsinya:
a.       Kurikulum sebagai program studi adalah seperangkat mata pelajaran yang mampu dipelajari oleh peserta didik di sekolah atau di instansi pendidikan lainnya.
b.      Kurikulum sebagai konten adalah informasi yang tertera dalam buku-buku kelas tanpa dilengkapi dengan data atau informasi lainnya yang memungkinkan timbulnya belajar.
c.       Kurikulum sebagai kegiatan berencara adalah kegiatan yang direncanakan tentang hal-hal yang akan diajarkan dan dengan cara bagaimana hal itu dapat diajarkan dengan hasil baik.
d.      Kurikulum sebagai hasil belajar adalah seperangkat tujuan untuk memperoleh seuatu hasil tertentu.
e.       kurikulum sebagai pengalaman belajar adalah kesuluruhan pengaman belajar yang direncanakan di bawah pimpinan sekolah.
B.     Sejarah Kurukulum Pendidikan Islam Klasik
1.      Kurikulum Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya Masrasah
a.      Kurikulum Pendidikan Rendah
Terdapat kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang membentuk kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun tingkat penghabisan, kecuali Al-qur’an yang terdapat pada seluruh kurikulum. Kedua, kesukaran membedakan di antara fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena tidak ada masa tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap lembaga pendidikan.
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di diskusi halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam. Di lembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis, di samping Al-qur’an. Kadang diajarkan bahasa, nahwu dan arudh.[7][16]
Terdapat contoh gambaran dari kurikulum tingkat ini. Al-Mufaddal bin Yazid bercerita bahwa suatu hari ia melihat anak laki-laki dari seorang perempuan Baduwi. Karena tertarik pada anak itu lalu ia bertanya pada sang ibu. Sang ibu menjawab sebagai berikut, “apabila berumur lima tahun, saya akan menyerahkan pada seorang muaddib (guru) agar ia mengajari menghafal dan membaca alqur’an. Dengan demikian ia suka akan kebanggaan bangsanya dan ia kan mencari peninggalan nenek moyangnya; apabila dewasa, saya akan mengajarinya cara menunggang kuda sehingga ia terlatih dengan baik, lalu ia naik kuda sambil memanggul senjata. Kemudian ia akan mondar mandir di lorong-lorong kampungnya untuk mendengarkan suara orang-orang yang akan meminta bantuan.”[8][17]
Sedangkan kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina untuk tingkat ini adalah mengajari Alqur’an, karena anak-anak dari segi fisik dan mental, telah siap menerima pendiktean, dan pada waktu yang sama diajarkan juga huruf hijaiyah dan dasar agama kemudian syair berikut artinya. Setelah anak-anak belajar Alqur’an dan dasar agama, kemudian diarahkan untuk mempelajari sesuatu yang sesuai dengan kecenderungannya.
Namun demikian, ada perbedaan antara kuttab-kuttab yang diperuntukkan bagi masyarakat umum dengan yang ada di istana. Di istana, orang tua (para pembesar istana) adalah yang membuat rencana pelajaran tersebut sesuai dengan anaknya dan tujuan yang dikehendakinya. Rencana pelajaran untuk pendidikan istana ialah pidato, sejarah, peperangan-peperangan, cara bergaul dengan masyarakat di samping pengetahuan pokok, seperti Al-qur’an, syair dan bahasa.[9][18]
Harun Al-Rasyid telah memajukan pelajaran bagi putranya (Al-Amin) dengan mengatakan sebagai berikut :
“Hai Ahmar! Sesungguhnya Amirul Mu’minin telah memberikan kepadamu buah hatinya, maka bentangkanlah tanganmu kepadanya dan ketaatan kepadamu adalah suatu kewajiban. Maka janganlah kamu merasa sungkan dan hendaknya kamu tetap dalam posisimu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Amirul Mu’minin. Bacakanlah kepadanya Al-Quran, ceritakanlah kepadanya peristiwa-peristiwa, riwayatkanlah kepadanya syair-syair, ajarkanlah kepadanya Sunnah Sunnah Nabi Muhammad Saw. Tunjukkanlah kepadanya bagaimana menyusun perkataan dan cara memulainya. Laranglah ia tertawa kecuali pada wakktunya………….”[10][19]
Kurikulum pada tingkat ini bervariasi tergantung pada tingkat kebutuhan masyarakat. Karena sebuah kurikulum dibuat tidak akan pernah lepas dari faktor sosiologis, politis ekonomis masyarakat yang melingkupinya. Di lembaga pendidikan masyarakat umum, orang tua kurang mempunyai peran dalam penyusunan kurikulum karena anak belajar suatu mata pelajaran tergantung pada guru yang tersedia. Berbeda dengan yang ada di istana, dimana anak memang diarahkan untuk menjadi pemimpin yang akan menggantikan bapak-bapak mereka, di lembaga pendidikan ini rencana pelajaran disusun oleh orang tua mereka.
Kurikulum pada tingkat ini tidak dipersiapkan untuk menuju pendidikan yang lebih tinggi. Ada jurang lebar yang memisah kedua lembaga tersebut sehingga orang yang ingin belajar setelah tingkat dasar dalam masalah sastra, kajian keagamaan, hukum dan filsafat, harus menempuh jalur sendiri dan meminta secara pribadi untuk bergabung dengan halaqah milik seorang syaikh.
b.      Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum pendidikan tinggi, halaqah —kalau mau menyebut demikian— bervariasi tergantung pada syaikh yang mau mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas mengikuti pelajaran di sebuah halaqah dan berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain.
Menurut Fazlur Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa, karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai Al-Qur’an dan agama.[11][20] Kurikulum pada pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, pertama jurusan ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-naqliyah) dan kedua jurusan ilmu pengetahuan (al-‘ulum al-aqliyah).
Kedua macam kurikulum ini sejalan dengan dua masa transisi penting dalam perkembangan pemikiran Islam. Kurikulum pertama sejalan dengan fase di mana dunia Islam mempersiapkan diri untuk mendalami masalah agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Namun perhatian pada agama itu tidaklah terbatas pada ilmu agama semata, akan tetapi dilengkapi juga dengan ilmu-ilmu bahasa, ilmu sejarah, ilmu hadist dan tafsir. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum jurusan ini adalah tafsir al-Qur’an, hadist, fiqih, ushul fiqih, nahwu sharaf, balaghah, bahasa dan sastranya.[12][21]
Al-Khuwarazmi (Yusuf Al-Katib, 976) dalam bukunya, Mafatih al-Ulum meringkas kurikulum agama sebagai berikut: ilmu fiqih, ilmu nahwu, ilmu kalam, ilmu kitabah (sekretaris),dan ilmu ‘arudh. Ilmu sejarah (terutama sejarah Persia, sejarah Islam, sejarah sebelum Islam, sejarah Yunani dan Romawi).[13][22] Di samping itu, diajarkan juga matematika dasar, karena banyak digunakan untuk ilmu faraid dan pembuatan taqwim (mencocokkan tahun Hijriyah dengan tahun Masehi). Adapun yang ditulis dalam risalah Ikhwan al-Shafa, kurikulum untuk jurusan ini adalah ilmu al-Qur’an, tafsir, hadist, fiqih, zikir, zuhud, tasawuf, dan syahadah.[14][23]
Sedangkan Al-Farabi memasukkan studi keagamaan di bawah metafisika dan ilmu kemasyarakatan. Karena, menurutnya, kesempurnaan manusia, bisa dicapai kalau manusia dapat memiliki jenis pengetahuan tertentu dan manusia hidup dalam jenis kehidupan tertentu pula. Ia merasa pengetahuan yang dibawa agama “tidak mencukupi”.[15][24] Maka tidak heran jika di dalam karyanya, Ihsaal Ulum (Enumeration of The Sciences) yang di Barat dikenal dengan dengan Scientist, dia tidak memasukkan studi keagamaan dalam klasifikasi pengetahuannya.
Kurikulum kedua, yaitu kurikulum ilmu pengetahuan. Ia merupakan ciri khas pada fase kedua perkembangan pada pemikiran umat Islam, yaitu ketika umat Islam mulai bersentuhan dengan pemikiran Yunani, Persia dan India. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum untuk pendidikan jenis ini adalah mantiq, ilmu alam dan kimia, ilmu musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu-ilmu ukur, ilmu-ilmu falak, ilmu ketuhanan, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan kedokteran.[16][25]
Ikhwan Al-Shafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:
1)      Disiplin-disiplin Umum, antara lain: baca-tulis, arti kata dan gramatika, ilmu hitung, sastra (sajak dan puisi), ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, sulap, dagang, dan ketrampilan tangan, jual beli, komersial, pertanian, dan peternakan, serta biografi dan kisah.
2)      Ilmu-ilmu Filosofis, antara lain: mate-matika, logika, ilmu angka-angka, geometri, astronomi, musik, aritmatika, dan hukum-hukum geometri, ilmu-ilmu alam dan antropologi zat, bentuk, ruang, waktu dan gerakan kosmologi produksi, peleburan, dan elemen-elemen metereologi dan minerologi, esensi alam dan manifestasinya, botani, zoology; anatomi dan antropologi, persepsi inderawi, embriologi, manusia sebagai mikrokosmos, perkembangan jiwa (evolusi psikologis), tubuh dan jiwa, perbedaan bahasa-bahasa (filologi), psikologi dan teologi doktrin esoteris Islam, susunan dan spiritual; serta ilmu-ilmu alam ghaib.[17][26]
Sedangkan klasifikasi yang diperkenalkan oleh Al-Farabi adalah:
1)      Ilmu bahasa (sintaksis, tata bahasa, pengucapan, cara bicara, puisi).
2)      Logika (pembagian, definisi dan komposisi pikiran secara sederhana).
3)      Ilmu propaedeutic (ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu optik, ilmu tentang cakrawala, ilmu musik, ilmu gaya berat, ilmu membuat alat).
4)      Fisika (ilmu alam, metafisika).
5)      Ilmu kemasyarakatan (yurisprudensi, retorika).[18][27]
Adapun yang ditulis dalam Mafatih al-Ulum, yaitu logika, ilmu kedokteran anatomi, patologi, bahan obat, terapetik, diet, berat dan takaran, aritmatika, geometri, astronomi, musik, dan kimia.[19][28]
Masuknya ilmu-ilmu asing —yang notabene berasal dari tradisi Hellenistik—, ke dalam kurikulum pendidikan Islam bukan merupakan bagian dari pendidikan yang ditawarkan di masjid atau madrasah, tetapi dilakukan di halaqah-halaqah pribadi atau juga di perpustakaan-perpustakaan, seperti Dar al-Hikmah dan Bait al-Hikmah. Syalabi menggambarkan bagaimana giatnya umat Islam mengadakan penelitian, penerjemahan, diskusi dalam berbagai aspek di kedua lembaga tersebut.[20][29]

2.      Kurikulum Pendidikan Islam Setelah Berdirinya Madrasah
Pada zaman keemasan Islam, aktivitas-aktivitas kebudayaan pendidikan Islam tidak mengizinkan teologi dan dogma membatasi ilmu pengetahuan mereka. Mereka menyelidiki setiap cabang ilmu pengetahuan manusia, baik fisiologi, sejarah, historiografi, hukum, sosiologi, kesusastraan, etika, filsafat, teologi, kedokteran, mate-matika, logika, jurisprudensi, seni, arsitektur, atau ilmu keramik.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan, mendirikan madrasah adalah dianggap sesuatu yang signifikan. Pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam ini di bawah patronase wazir Nizam Al-Mulk (1064 M).[21][30] Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang termasyhur dalam suatu mazhab empat. Nuruddin Mahmud bin Zanki misalnya, beliau telah mendirikan beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi’I di Damaskus dan Halab. Beliau juga membangun sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota Mesir.
Di satu sisi, berdirinya madrasah merupakan sumbangan Islam bagi peradaban sesudahnya. Akan tetapi, disisi lain hal ini membawa dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah hegemoni negara yang terlalu kuat terhadap madrasah. Akibatnya kurikulum madrasah ini dibatasi hanya pada wilayah hukum (fiqih) dan teologi. Legitiumasi “makruh” terhadap penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah, ilmu-ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari kurikulum madrasah. Hal ini menyebabkan mereka yang punya minat tinggi terhadap ilmu-ilmu ini terpaksa belajar secara otodidak. Karenanya ilmu-ilmu profan banyak berkembang di lembaga-lembaga non formal.
Satu pertanyaan yang dapat kita kembangkan, bahwa kenapa legalisme fiqih atau syariat terlalu dominan terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam? Menurut Fazlur Rahman, ada pandangan  yang terus menerus diungkap, yaitu karena ilmu itu luas dan hidup ini singkat, maka orang harus memeberikan prioritas, dan prioritas itu dengan sendirinya diberikan pada sains-sains agama yang membawa kejayaan di akhirat.[22][31]
Sedangkan menurut Azyumardi, karena memang lembaga-lembaga ini dikuasai oleh mereka yang ahli agama, dan tidak kalah pentingnya adalah tidak otonomnya madrasah dari tanah waqaf yang diberikan oleh para dermawan dan penguasa politik. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan untuk mengarahkan madrasah bergerak dalam bidang ilmu-ilmu agama karena di anggap mendatangkan pahala. Di pihak lain, para penguasa politik pemrakarsa pendirian madrasah, —apakah karena didorong oleh motivasi politik atau motivasi murni untuk menegakkan “ortodoksi” Sunni—, sering mendikte madrasah untuk tetap berada dalam kerangka “ortodoksi itu sendiri”.[23][32]
Namun, bagi penulis hal itu adalah salah satu realitas dalam perjalanan sejarah pendidikan Islam. Bukan maksud penulis mencurigai madrasah sebagai “kambing hitam” bagi kemunduran ini, walaupun tentu saja ia mempercepat dan melestarikan stagnasi tersebut. Sebab, sebenarnya penurunan kualitas lmu pengetahuan Islam adalah kekeringan gradual dari ilmu-ilmu keagamaan karena pengucilannya dari kehidupan intelektualisme awam yang kemudian juga mati.
c.       Kemajuan Dalam Masa Kedaulahan Abbasiyah (750-1258 M) di Bidang Pendidikan dan Keilmuan
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, pendidikan dan pengajaran mengalami kemajuan yang gemilang. Pada masa itu prioritas umat islam mampu membaca dan menulis, pada masa ini pendidiakan dan pengajaran diselenggarakan dirumah-rumah penduduk dan ditempat-tempat umum lainnya misalnya Muktab.
Menurut keterangan yang ada, terdapat sekitar 30.000 masjid yang sebagian besar dipergunakan sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran tingkat dasar, kurikulum pendidikan pendidikan pada tingkat dasar terdiri pelajaran membaca, menulis, tata bahasa, hadist, prinsip-prionsip dasar matematika dan pelajaran syair. Sedangkan pendidikan tingkat menengah terdiri dari pelajaran taysir Al - Qur’an pembahasan kandungan Al - Qur’an, Sunah Nabi, Fiqih, dan Ushul Fiqh, kajian ilmu kalam (teologi), ilmu Mntiq (retorika) dan kesustraan, pada pelajaran tingkat tinggi mengadakan pengkajian dan penelitian mandiri dibidang astronomi, geografi dunia, filsafat, geometri, musikdan kedokteran.
 Dinasti bani Abbasiyah yang berkuasa sekitar lima abad lebih, merupakan salah satu dinasti islam yang sangat peduli didalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban islam. Bani Abbasiyah telah menyiapkan segalanya, diantara fasilitas yang diberikan adalah pembangunan pusat riset dan terjemah. Para ilmuan digaji sangat tinggi dan kebutuhan hidupnya dijamin oleh Negara. Bahkan khalifah Bani Abbasiyah meminta siapa saja termasuk para pejabat dan tentara untuk mencari naskah-naskah yang berisi ilmu pengetahuan dan peradaban untuk dibeli dan diterjemahkan menjadi bahasa arab.
DAFTAR PUSTAKA
A. Lewy, (Ed). 1991. The International Encyclopedia of Currikulum, Toronto: Pergamon Press
Ashraf, Ali. 1996.  Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta; Pustaka Firdaus
Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos
Asrohah, Hanun. Sejarah Pendidikan Islam,hal. 76
Azra, Azyumardi. 1994. “Pendidikan Tinggi dan Kemajuan Sains: Sebuah Pengantar”, Pengantar Buku Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Jakarta; Logos wacana Ilmu
G. A. Beuchamp. 1968. Curriculum Theory, Wilmete: The Kagg Press
Hamalik,Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara
Hasan Fahmi, Asma. 1997. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Bulan Bintang
K. Hitty, Philip. 1974. History of  The Arab, London: Mac Millan Press
Langgulung, Hasan. 1992.  Asas-asas Pendidikan  Islam, Jakarta; Pustaka al-Husna
Madjid,Nurcholis (Ed). 1994. Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Michael Stanton, Charles. 1990. Higler Learning in Islam, Meryland: Rowman and Litle Field
Michael Stanton, Charles. 1994. Pendidikan Tinggi dalam Islam, Jakarta: Logos.
Nakoesteen,Mehdi. 1996.  Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskriptif Analisis Abad Keemasan Islam, Surabaya; Risalah Gusti
Nata, Abuddin. 2010.  Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press
Rahman, Fazlur. 1995. Islam dan Tantangan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Bandung; Penerbit Pustaka
Rahman,Fazlur. 1994. Islam, Bandung; Penerbit Pustaka
Soekarno dan Supardi, Ahmad.  1985. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa
Sudjana, Nana. 1995. Dasar-dasar  Proses Belajar Mengajar, Bandung; Sinar Baru Algesindo,
Syalabi, Ahmad.  Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah, Mesir; Dar al-Fikr al-Arabi
Tafsir, Ahmad.  Ilmu Pendidikan dalam Perpektif Islam, hal. 53
Zuhairini, et. al. 1992. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta; Bumi Aksara




[1][10] Kemunculan ini ditandai dengan semakin banyaknya hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan melalui jurnal-jurnal kependidikan. Lihat A. Lewy, (Ed), The International Encyclopedia of Currikulum, Toronto: Pergamon Press, 1991, hal. 185
[2][11] G. A. Beuchamp, Curriculum Theory, Wilmete: The Kagg Press, 1968, hal. 26
[3][12] Nana Sudjana, Dasar-dasar  Proses Belajar Mengajar, Bandung; Sinar Baru Algesindo, 1995, hal. 1-2.
[4][13] Kurikulum pada masa Islam klasik dapat dilihat ketika nabi berada di Madinah. Kurikulum belajar meliputi: belajar menulis, membaca Al-Qur’an, keimanan, ibadah, akhlak, dasar ekonomi, dasar politik dan kesatuan. Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perpektif Islam, hal. 53
[5][14] Retorika ini terbagi menjadi tiga cabang, yaitu al-Ma’ani, al-Bayan, dan al-Badi’. Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam,hal. 76
[6][15] Charles Michael Stanton, Higler Learning in Islam, Meryland: Rowman and Litle Field, 1990, hal.43
[7][16] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan  Islam, Jakarta; Pustaka al-Husna, 1992, hal. 113. Lihat juga Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta; Bulan Bintang, 1997, hal. 17
[8][17] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, hal. 59.
[9][18] Zuhairini, et. al., Sejarah Pendidikan Islam, Jakrta; Bumi Aksara, 1992, hal. 92
[10][19] Ahmad Syalabi, Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah, Mesir; Dar al-Fikr al-Arabi, hal. 57
[11][20] Fazlur Rahman, Islam, Bandung; Penerbit Pustaka, 1994, hal. 264
[12][21] Zuhairini, et. al., Sejarah Pendidikan Islam, hal. 104
[13][22] Mehdi Nakoesteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskriptif Analisis Abad Keemasan Islam, Surabaya; Risalah Gusti, 1996, hal. 73-74.
[14][23] Ibid.
[15][24] Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta; Pustaka Firdaus, 1996, hal. 30.
[16][25] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, hal. 105.
[17][26] Mehdi Nakosteen,  Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskriptif Analisis Abad Keemasan Islam, hal.  73
[18][27] Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, hal. 29.
[19][28] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, hal. 74
[20][29] Ahmad Syalabi, Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah, hal. 181-184. Lihat juga, Muhammad Athiyah Al- Abrasyi , Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha, Mesir; Isa Al-Babi Al-Halabi, 1975, hal. 96-98.
[21][30] Pada dasarnya madrasah ini bukanlah merupakan madrasah yang pertama dilihat dari berdirinya. Akan tetapi, madrasah ini merupakan madrasah pertama yang mendapat pengakuan dan dukungan pemerintah, dan sekaligus menjadi cikal bakal dari madrasah-madrasah sesudahnya. Dan anggapan yang berkembang bahwa Islam Sunni memperoleh kemenangan berkat dukungan negara tidaklah semuanya benar. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan negara yang baru selalu mengikuti kecenderungan yang sudah berakar di kalangan masyarakat. Adalah jelas sekali bahwa Dinasti Fatimiyah, walaupun mereka melakukan usaha-usaha untuk menyebarkan doktrin Ismailiyah melalui pendidikan dan sarana-sarana lain, akan tetapi gagal untuk menimbulkan dampak yang berskala besar di masyarakat. Lihat Fazlur Rahman, Islam, hal. 268
[22][31] Fazlur Rahman, Islam dan Tantangan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, Bandung; Penerbit Pustaka, 1995, hal. 39
[23][32] Azyumardi Azra, “Pendidikan Tinggi dan Kemajuan Sains: Sebuah Pengantar”, Pengantar Buku Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Jakarta; Logos wacana Ilmu, 1994,    hal. 1X.

0 komentar:

Posting Komentar