Kiai Sudrun berkata kepada cucunya, seorang sarjana yang
tadi siang diwisuda.
“Di zaman dahulu kala terdapatlah makhluk yang bernama
Kebudayaan Barat. Pada masa itu tak ada barang di muka bumi ini yang dikutuk
orang melebihi kebudayaan barat sehingga ia dianggap sedikit saja lebih baik
dari anjing kurap. Pada masa itu pula tak ada sesuatu pun dalam kehidupan yang
dipuja orang melebihi kebudayaan barat sehingga terkadang ia melebihi Tuhan”.
“Ini kisah aneh apa lagi?” bertanya sang cucu.
“Kaum Muslim pada waktu itu sedang mencapai puncak
semangatnya untuk memperjuangkan agamanya, menemukan identitas dan bentukan
kebudayaannya sendiri”, si kakek melanjutkan, “akan dipandanglah kebudayaan
barat itu oleh mereka dengan penuh rasa najis, serta dipakailah barang-barang
kebudayaan barat itu dengan penuh rasa sayang dan kebanggan”.
“Lagi-lagi soal kemunafikan!”
“Tak penting benar soal kemunafikan itu dalam kisah ini”,
jawab Kiai Sudrun,
“Setidak-tidaknya engkah sudah paham persis masalah itu, dan
lagi yang hendak aku ceritakan kepadamu adalah soal lain”.
Sang cucu diam mendengarkan.
“Kaum Muslim pada waktu itu mempertentangkan Islam dengan
kebudayaan barat seperti mempertentangkan cahaya dengan kegelapan atau malaikat
dengan setan. Padahal sampai batas tertentu, para pelaku kebudayaan barat itu
sendirilah yang dengan ketekunan amat tinggi melaksanakan ajaran Islam”.
“Kakek sembrono, ah”.
“Tak ada yang melebihi mereka dalam melaksanakan kewajiban
Iqra’, meskipun kemudian disusul oleh sebagian bangsa-bangsa tetangganya. Tak
ada yang melebihi mereka dalam kesungguhan menggali rahasia ilmu dan mengungkap
kemampuan-kemampuan alam. Mereka telah membawa seluruh umat manusia memasuki
keajaiban demi keajaiban. Mereka mengantarkan manusia untuk mencapai jarak
tertentu dalam waktu satu jam sesudah pada abad sebelumnya mereka memerlukan
perjalanan berbulan-bulan lamanya. Mereka mempersembahkan kepada telinga dan
mata manusia berita dan pemandangan dari balik dunia yang berlangsung saat itu
juga. Mereka telah memberi suluh kepada pengetahuan manusia untuk mengetahui
yang lebih besar dari galaksi serta yang sejuta kali lebih lembut dari debu”.
“Dimuliakan Allahlah mereka”, sahut sang cucu.
“Benar”, jawab kakeknya, “kalau saja mereka meletakkan hasil
Iqra’ itu di dalam kerangka bismi rabbikalladzi khalaq. Seandainya saja mereka
mempersembahkan ilmu dan teknologi itu untuk menciptakan tata hidup yang
menyembah Allah. Seandainya saja mereka merekayasa kedahsyatan itu tidak untuk
penekanan dalam politik, pemerasan dalam ekonomi, sakit jiwa dalam kebudayaan,
serta kemudian kebuntuan dan keterpencilan dalam peradaban”.
“Apa rupanya yang mereka lakukan?”
“Memelihara peperangan, mendirikan berhala yang tak mereka
ketahui sebagai berhala, menumpuk barang-barang yang sesungguhnya tak mereka
perlukan, pura-pura menyembah tuhan dan bersenggama dengan binatang”.
“Anjing kurap!” teriak sang cucu.
“Memang demikian sebagian dari Kaum Muslim, memaki-maki,
tapi kebanyakan dari mereka bergabung menjadi pelaku dari pembangunan yang
mengarah kepada kebudayaan yang semacam itu.”
“Munafik!” sang cucu berteriak lagi.
“Menjadi seperti kau inilah sebagian dari Kaum Muslim di
masa itu. Dari sekian cakrawala ilmu anugerah Allah mereka mengembangkan satu
saja, yakni kemampuan untuk mengutuk dan menghardik. Tetapi kemudian karena tak
ada sesuatu pun yang berubah oleh kutukan dan hardikan, maka mereka pun pergi
memencilkan diri; melarikan diri ke dalam hutan sunyi, mendirikan
kampung-kampung sendiri — di pelosok belantara atau di dalam relung kejiwaan
mereka sendiri. Mereka menjadi bala tentara yang lari terbirit-birit meninggalkan
medan untuk menciptakan dunianya sendiri. Mereka ini mungkin kau sebut kerdil,
tetapi sesungguhnya itu masih lebih baik dibandingkan kebanyakan orang lain
yang selalu berteriak sinis “Kalian sok suci!” atau “Kami tak mau munafik!”
sementara yang mereka lakukan sungguh-sungguh adalah kekufuran perilaku dan
pilihan. Namun demikian tetaplah Allah Maha Besar dan Maha Adil, karena tetap
pula di antara kedua kaum itu dikehendakiNya hamba-hamba yang mencoba merintis
perlawanan di tengah medan perang. Mereka menatap ketertinggalan mereka dengan
mata jernih. Mereka ber-iqra’, membaca keadaan, menggali dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan kesanggupan mengolah sejarah, sambil diletakkannya semua itu
dalam bismi rabbi. Ilmu ditimba dengan kesadaran dan ketakjuban Ilahiyah.
Teknologi ditaruh sebagai batu-bata kebudayaan yang bersujud kepada Allah”.
“Maka lahirlah makhluk baru di dalam diri Kaum Muslim”,
berkata Kiai Sudrun selanjutnya, “Gerakan intelektual. Orang dari luar
menyebutnya intelektualisme-transendental atau intelektualisme-religius,
meskipun Kaum Muslim sendiri menyebutnya gerakan intelektual — itu saja — sebab
intelektualitas dan intelektualisme Islam pastilah religius dan transendental”.
“Dongeng kakek menjadi kering….” sahut sang cucu.
“Itu iqra’ namanya. Gerakan iqra’ yang ketiga sesudah yang
dilakukan oleh Muhammad dan kemudian para ilmuwan Islam yang kau ketahui
menjadi sumber pengembangan kebudayaan barat”.
Sang cucu tak memrotes lagi.
“Akan tetapi mereka, Kaum Muslim itu, adalah — kata Tuhan —
orang-orang yang berselimut. Mudatstsirun. Orang-orang yang hidupnya diselimuti
oleh berbagai kekuatan tak bismi rabbi dari luar dan dari dalam diri mereka
sendiri. Selimut itu membuat tubuh mereka terbungkus dan tak leluasa, membuat
kaki dan tangan mereka sukar bergerak, serta membuat hidung mereka tak bisa
bernafas dengan lega.”
Sang cucu tersenyum.
“Kepada manusia dalam keadaan terselimut itulah Allah
berfirman qum! Berdirilah. Tegaklah. Mandirilah. Lepaskan diri dari
ketergantungan dan ketertindihan. Untuk tiba ke tahap mandiri, seseorang harus
keluar terlebih dahulu dari selimut. Ia tak akan bisa berdiri sendiri bila
terus saja membiarkan diri terbungkus kaki tangannya serta terbungkam
mulutnya.”
Sang cucu tersenyum lebih lebar.
“Firman berikutnya adalah fa-andzir! Berilah peringatan.
Lontarkan kritik, teguran, saran, anjuran. Ciptakan kekuatan untuk mengontrol
segala sesuatu yang wajib dikontrol.” Sampai di sini Kiai Sudrun tiba-tiba
tertawa cekikikan, “Syarat untuk sanggup memberi peringatan ialah kemampuan
untuk mandiri. Syarat untuk mandiri ialah terlebih dahulu keluar dari selimut.
Namun pada masa itu, cucuku, betapa banyak nenek moyangmu yang tak
memperhatikan syarat ini. Mereka melawan kekuasaan padahal belum bisa berdiri
tegak. Mereka mencoba berdiri padahal masih terbungkus dalam selimut….” Tertawa
Kiai Sudrun makin menjadi-jadi.
Disusul kemudian oleh suara tertawa cucunya, “Kakek luar
biasa!” katanya, “Kakek memang cerdas luar biasa!”
“Apa maksudmu?” bertanya Kiai Sudrun di tengah derai
tawanya.
“Kakek menirukan hampir persis segala yang kuceritakan
kepada kakek tadi malam dari buku-buku kuliahku”.
Mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal.
Emha Ainun Nadjib
0 komentar:
Posting Komentar