Pendidikan Calon Ulama



Seringkali  terdengar keluhan atas terbatasnya pendidikan calon ulama. Ulama dianggap semakin langka, namun pendidikan yang diharapkan mampu melahirkan  peran itu tidak banyak. Itulah sebabnya  keluhan itu  selalu muncul. Mereka khawatir suatu ketika ulama benar-benar tidak ada lagi.

Keluhan  semacam itu sebenarnya muncul sudah  lama.  Bahkan sudah banyak dibahas untuk mengatasi kekhawatiran itu.  Beberapa tahun yang lalu, saya pernah diundang oleh MP3A tingkat pusat di Jakarta,  membahas tentang kelangkaan ulama itu. Pada acara itu, selain pengurus organisasi itu,  juga hadir para ulama dan beberapa pimpinan perguruan tinggi Islam.

Sebagian banyak yang hadir ketika itu  rupanya memiliki pandangan yang sama,  bahwa ulama semakin sedikit jumlahnya, sementara itu pendidikan yang dianggap mampu mengantarkan lulusan yang layak disebut sebagai ulama tidak banyak. Saya ketika itu, ditunjuk sebagai pembicara,  mencoba untuk mengajak melihat secara lebih teliti tentang keadaan sebenarnya yang dikeluhkan itu.

Dalam kesempatan dimaksud, saya  mengajak untuk  memahami, siapa sesunguhnya yang disebut dengan istilah ulama yang dibutuhkan oleh masyarakat di masa depan yang dianggap  langka itu. Saya mengingatkan bahwa, jangan-jangan yang disebut sebagai ulama itu adalah orang-orang tertentu, yang sehari-hari kegiatannya mengajar di pesantren dalam format  lama, dengan kehidupan sederhana,  berpakaian khas, dan seterusnya.

Manakala yang digambarkan sebagai ulama itu adalah pengasuh pesantren lama itu, memang  semakin berkurang jumlahnya. Tatkala pengasuhnya wafat, putra- putrinya belum tentu mau meneruskan model pendidikan yang telah dikembangkan oleh orang tuanya. Mereka mengubah lembaga pendidikannya untuk  menyesuaikan dengan tuntutan masyarakatnya.  Bahkan tatkala lembaga pendidikannya berubah maka gaya hidup pengasuhnya juga berubah.   

Akan tetapi di zaman berkembang seperti sekarang ini, apakah  masih juga membutuhkan ulama sebagaimana  yang digambarkan itu. Apakah tidak mungkin masyarakat yang semakin modern sebenarnya juga membutuhkan sosok ulama yang berbeda. Tatkala  lembaga pendidikannya  diubah, -------- oleh pengasuhnya sendiri, maka tentu disadari bahwa produknya juga akan berubah. Mereka sadar bahwa ulama yang diharapkan muncul ke depan  memang berbeda dengan dirinya sendiri.

Ulama di zaman yang berbeda  seharusnya  tampil secara berbeda pula. Ulama di zaman informasi dan komunikasi  yang sedemikian dahsyad seperti sekarang ini maka juga harus memiliki kemampuan yang sepadan dengan tuntutan zamannya. Tuntutan terhadap ilmu yang dimiliki oleh ulama seharusnya tetap dan bahkan semakin meningkat, yaitu mampu menerangkan ayat al Qur’an dan hadits nabi secara luas dan mendalam.  Kemampuan semacam itu mestinya  dipahami, bahwa  akan lahir dari lembaga pendidikan modern yang berbeda dari sebelumnya.

Manakala ulama semacam itu yang diharapkan, maka sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan lagi  keberadaannya. Lembaga-lembaga pencetak peran seperti itu sudah tersedia dan jumlahnya juga semakin banyak. Persoalannya adalah apakah kita percaya dengan kemampuan ulama yang dilahirkan dari lembaga modern seperti itu. Manakala kita tidak percaya,maka pantas saja mengeluhkan kelangkaan ulama sebagaimana  dimaksudkan itu. Akan tetapi, sikap  mengeluh selalu  tidak akan menghasilkan apa-apa.

Dalam kesempatan pertemuan itu,  saya  sebutkan bahwa di perguruan tinggi Islam  sudah banyak mengalami perkembangan. Semangat belajar Islam sudah semakin tinggi. Saya kemukakan bahwa tidak sedikit mahasiswa yang hafal al Qur’an hingga sempurna 30 juz, padahal mereka itu sehari-hari mengambil bidang ilmu yang berbeda-beda, seperti ilmu ekonomi, pendidikan, sains, teknologi, sejarah dan lain-lain.  Maka, apa salahnya mereka itu kita harapkan suatu saat menjadi sosok ulama yang jutru relevan dengan tuntutan zamannya.   

Lebih menggembirakan lagi bahwa ternyata mahasiswa yang banyak mengkaji Islam tidak saja di perguruan tinggi Islam, melainkan juga di perguruan tinggi umum. Mungkin para ulama tidak tahu bahwa di beberapa perguruan tinggi umum sudah muncul mahasiswa yang menghafal al Qur’an dan bahkan oleh pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan dihargai dengan cara mereka itu diberi beasiswa. Dengan begitu maka masjid kampus menjadi semakin ramai. 

Namun  adanya  keluhan itu bisa dimengerti, oleh karena tidak sedikit lingkungan kehidupan yang  semakin jauh dari tuntunan agama.  Tetapi sebenarnya  hal demikian itu tidak cukup dikeluhkan. Semua pihak harus merasa bertanggung jawab dan bergerak untuk meminimalisasi gejala yang dipandang memprihatinkan itu sebagai pertanda kecintaan terhadap agamanya. Perhatian pemerintah sendiri sebenarnya sudah cukup banyak terhadap pengembangan pendidikan agama. Pelajaran fiqh, tafsir, hadits, akhlaq, tasawuf dan lain-lain, khususnya di sekolah formal  sudah dibiayai dari APBN.

Oleh karena itu, yang masih perlu  disadarkan adalah guru agamanya sendiri. Mereka sudah digaji, seharusnya berusaha menunaikan amanah sebaik-baiknya. Manakala itu dilakukan, maka tidak perlu khawatir jumlah ulama ke depan semakin terbatas. Ulama akan selalu tumbuh dan  berkembang  dari lembaga pendidikan Islam yang jumlahnya semakin banyak dan aneka ragam pula jenisnya. Wallahu a’lam.     


Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar