Merasakan Keprihatinan terhadap Keberagamaan Siswa



Seorang guru memberikan informasi kepada saya, bahwa suatu saat ia menanyakan kepada muridnya di SMA tentang siapa  yang secara istiqomah menjalankan   shalat subuh berjama’ah di masjid. Ternyata mendapatkan jawaban bahwa dari satu kelas besar, yang mengaku menjalankan ibadah itu hanya dua orang. Kemudian pertanyaan diteruskan, siapa yang menjalankan shalat subuh di rumah, ternyata hanya tujuh orang saja yang menjalankannya. Selebihnya tidak menjalankan,  dan atau hanya kadang-kadang.

Guru dimaksud merasa sangat prihatin. Bahwa ternyata selama ini apa yang dilakukan, yaitu mengajar agama di sekolah  belum berhasil.  Sekedar  mengajak shalat subuh dan apalagi shalat subuh berjama’ah di masjid ternyata belum sukses. Guru dimaksud merasakan, bahwa ternyata pelajaran agama di sekolah selama ini tidak banyak menghasilkan apa-apa. Padahal kalau diteliti lebih mendalam lagi, belum tentu, mereka yang shalat subuh di masjid dan atau sebatas shalat  di rumah  karena keberhasilan sekolah, tetapi bisa jadi,  oleh karena keluarga atau orang tuanya taat beragama.
 
Menghadapi kenyataan itu, guru dimaksud tidak putus asa. Putus asa itu menurut ajaran agama yang dipahami tidak boleh. Ia tetap  bersemangat mencari alternatif agar  usahanya berhasil. Dia menyimpulkan bahwa, jika pelajaran itu hanya diberikan sebatas lewat jam pelajaran  di sekolah  belum berhasil menjadikan para siswa beragama secara baik. Saya kemudian juga menambahkan bahwa, mungkin kegagalan itu tidak saja dialami guru agama tetapi  juga guru pelajaran lainnya. Misalnya, sudah lama diajar Bahasa Inggris tetapi juga belum bisa berkomunikasi dengan bahasa asing itu, diajari  kewirausahaan tetapi lulus sekolah juga belum bisa berusaha, diajari Bahasa Indonesia, tetapi menulis surat pendek saja juga belum mampu dengan baik.  

Bukti lain tentang kegagalan yang dimaksudkan itu  tidak sulit dicari. Tidak sedikit anak  lulus SMA atau SMK masih sulit mendapatkan pekerjaan, mereka menganggur. Bagi mereka yang tidak meneruskan ke pendidikan tinggi, sekedar  mendapatkan pekerjaan juga sulit. Tatkala di antara mereka mendapatkan pekerjaan,  juga hanya jenis  pekerjaan tingkat rendahan, misalnya hanya sekedar menjadi cleaning servies, security, pekerja rumah tangga, sopir,  atau juga pekerja di proyek-proyek bangunan. Umpama mereka diterima di perusahaan,  juga hanya diletakkan di bagian rendahan yang digaji murah. Jika demikian itu halnya, maka kegagalan pendidikan itu ternyata bersifat menyeluruh, dan  tidak hanya pelajaran agama.
 
Untuk mengatasi persoalan pendidikan itu, maka harus dicari cara yang lebih tepat dalam mendidik generasai muda kita itu. Persekolahan,  baik yang dikelola oleh pemerintah maupun oleh swasta, sejak dulu dari tahun ke tahun,  masih dijalankan secara sama. Sementara itu,  zaman sudah berubah secara cepat. Sejak dulu para siswa di sekolah diajari beberapa mata pelajaran dengan cara yang tidak pernah berubah. Setiap hari, mereka  ditugasi untuk mendengarkan para guru menjelaskan isi mata pelajaran sesuai  dengan kurikulum yang telah dirancang sebelumnya. Anehnya kurikulum itu dibuat seragam untuk seluruh wilayah negeri ini. Padahal, bangsa ini bersifat majemuk. Anak jakarta diajari sama persis dengan anak papua. Anak kota besar diajari tentang hal yang sama pula dengan anak yang hidup di bukit-bukit, di gunung-gunung, di pinggir laut, dan seterusnya.
 
Padahal tatkala mererka lulus, tantangan di antara anak-anak yang bertempat tinggal di tempat yang berbeda-beda, beradat kebiasaan berbeda, bersuku berbeda itu, jelas juga berbeda-beda. Akibatnya,  apa yang diterima  dan dipelajari di sekolah dirasakan oleh para siswa  tidak ada relevansinya dengan tantangan kehidupan sehari-hari di tempatnya masing-masing. Belum lagi perubahan zaman yang cepat itu juga tidak mendorong pengambil kebijakan untuk mengubah   isi atau materi yang diajarkan, cara mengajarkan, dan juga  evaluasi yang dilaksanakannya.  Cara dan materi yang diajarkan  guru  10 tahun yang lalu masih sama  dengan yang  dilakukan oleh guru sekarang ini.
 
Jika gambaran  seperti itu yang dilakukan, maka   lembaga-lembaga pendidikan akan ketinggalan zaman. Lulusannya tidak akan bisa menghadapi tantangan kemajuan yang sedemikian cepat, mendasar, dan bahkan radikal. Sekarang ini, anak-anak di pedesaan saja sudah mengenal komputer tablet, HP canggih,  internet, website, IPAD, dan lain-lain. Dalam hal yang berhubungan dengan dunia maya, kemampuan anak-anak sekarang sudah jauh meninggalkan orang tuanya dan bahkan juga guru-gurunya. Manakala gejala itu tidak ditangkap, maka akibatnya, pelajaran yang diberikan kepada  anak-anak di sekolah  tidak menarik,   membosankan,  dan bahkan akan dirasakan sebagai penyiksaan.
 
Mestinya sekolah di zaman modern seperti sekarang ini harus diformat ulang sedemikian rupa. Tidak saja kurikulum yang harus diubah, melainkan  sistem persekolahan secara menyeluruh. Sekolah 10 tahun yang lalu harus berbeda secara mendasar dibanding sekolah pada saat sekarang ini.  Cara guru mengajar, memilih pelajaran, dan  metode mengajar,  dan bahkan mengevaluasinya harus diubah. Guru tidak cukup hanya menerangkan isi pelajaran di muka kelas,  dan apalagi hanya melatih  mengerjakan soal ujian agar prosentase lulusan ujian nasional meningkat.
 
Manakala hal yang disebutkan terakhir itu yang terjadi, maka  nasib generasi ke depan akan semakin terpuruk. Mereka tidak akan mampu bersaing di dunia global. Lewat sekolah, anak-anak harus dilatih kemampuannya agar pintar membaca lingkungannya, pandai mencipta, trampil dalam membangun kerjasama, dan cerdik dalam menyelesaikan problem-problem kehidupannya. Jika hal-hal seperti itu yang dikembangkan, sekolah tidak akan kehilangan relevansinya,  dan para guru, --------tidak terkecuali guru agama, tidak akan merasa prihatin terus menerus.  Wallahu a’lam.


Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar