Logika Politik dan Logika Pendidikan



Sama-sama berbicara tentang logika, antara logika politik dan logika pendidikan adalah  selalu  berbeda. Politik adalah sebuah aktifitas untuk mendapatkan kekuasaan, memanfaatkannya,  dan juga mempertahankan kekuasaan yang telah diperolehnya itu. Oleh karena itu berbicara politik selalu berbicara tentang persaingan, kompetisi, menang dan kalah, popularitas,  taktik dan strategi untuk mendapatkan kemenangan. 

Oleh karena itu di dalam berpolitik, tatkala berkawan,  maka selalu dilakukan  untuk mendapatkan kemenangan itu. Kawan dianggap baik,  sepanjang menguntungkan. Sebaliknya, manakala merugikan dan atau mengancam posisinya, maka tidak segan untuk menyingkirkan. Di dalam berpolitik dikenal ada musuh-musuh politik dan atau setidaknya persaingan politik.  Bisa jadi orang lain tidak lagi menjadi teman, kawan, sahabat, melainkan berubah menjadi pesaing yang selalu harus diwaspadai.

Maka logika politik adalah bagaimana cara mendapatkan kekuasaan, memiliki pengaruh, menjadikan orang lain tidak memiliki kekuatan  lebih  hingga bisa mengalahkan dirinya, dan agar tetap mendapatkan kemenangan. Menang dan kalah selalu mewarnai alam kesadaran bagi seorang yang bergerak di bidang politik. Jarang  ditemukan  orang politik merasa tidak memiliki saingan dan bahkan juga musuh. Oleh karena itu, mencari taktik dan strategi untuk memenangkan persaingan adalah kehidupan sehari-hari bagi orang-orang yang aktif di dunia politik.  

Berbeda dengan logika politik adalah logika pendidikan.  Orang yang berjiwa pendidik atau guru terbiasa berpikir bagaimana agar anak didiknya menjadi lebih pintar, cerdas, berakhlakul karimah,  meraih kedewasaan yang tinggi, berhasil memasuki posisi-posisi penting di tengah-tengah masyarakat,  dan seterusnya.  Dunia pendidikan, sebagaimana  dunia politik, juga mengenal sebutan kalah dan menang. Akan tetapi  menang dan kalah dalam logika politik akan sangat  berbeda dengan konsep menang dan kalah dalam logika pendidikan.

Menang dalam dunia politik manakala seseorang berhasil mendapatkan kekuasaan dan mampu mempertahankannya.  Partai politik yang dipimpin oleh seseorang disebut  menang tatkala  bisa mengalahkan kompetitornya, apapun cara yang dilakukan. Begitu pula, seseorang disebut pemenang politik, manakala berhasil mempertahankan kekuasaannya itu dalam waktu yang lama. Mereka yang tidak berhasil mendapatkan itu semua, disebut kalah. Memang ada istilah politik santun atau  etika politik. Akan tetapi dalam praktek untuk mendapatkan kemenangan itu, rasa-rasanya kesantunan atau etika dimaksud tidak selalu dijadikan pegangan. Bahkan sebaliknya, bagi aktifis politik, bahwa  yang terpenting adalah meraih kemenangan dan mampu mempertahankannya. 

Logika  para guru atau pendidik tidak seperti logika para aktifis politik. Guru merasa menang manakala para muridnya lulus dalam ujian dengan nilai unggul, dan selanjutnya mereka diterima pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan syukur-syukur  lembaga pendidikan dimaksud memiliki reputasi yang tinggi, atau  berhasil menempati posisi-posisi penting di masyarakat.  Melihat anak didik atau para siswanya sukses seperti itu, maka  guru akan merasa bahagia dan mendapatkan kemenangan. Sebaliknya, guru atau pendidik  sangat tidak senang dan akan merasa salah, manakala para siswanya gagal dalam hidupnya, tidak memiliki pekerjaan dan selalu menjadi  beban orang tua,  dan masyarakat.

Oleh karena itu, logika para aktifis politik memang berbeda dibanding dengan logika pendidik.  Berangkat dari penglihatan seperti itu, manakala  ada dua orang dan atau lebih, masing-masing aktif pada ranah yang berbeda dan memiliki logika yang berbeda-beda pula adalah merupakan hal yang wajar. Logika politik akan selalu berbeda dengan logika pendidik. Konsep kemenangan dalam logika politik akan berbeda dengan konsep menang pada logika pendidik atau guru. Sayangnya akhir-akhir ini, ada sementara pendidik atau guru yang menggunakan logika politik dan bahkan lembaga pendidikan juga  kemasukan orang-orang politik.  Akibatnya , institusi pendidikannya dipolitisasi, hingga di tempat itu terjadi banyak konflik,  sulit  maju,  dan akhirnya ditinggal oleh para pendukungnya. Wallahu a’lam.

Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar