Menjadikan Peran Ideal Guru Sebagaimana Malaikat Jibril



Di bulan Rajab seperti sekarang ini, akan menjadi tepat kiranya menggali hikmah dari peristiwa besar dan dahsyat, yaitu isra’ dan mi’raj. Dalam kisahnya,  Tuhan dalam peristiwa itu melibatkan beberapa makhluk-Nya, yaitu Nabi Muhammad, Malaikat Jibril, dan beberapa Rasul yang sebenarnya sudah lama wafat. Peristiwa besar itu, menggambarkan  keterkaitan wilayah yang luas, antara dunia manusia dengan dunia Malaikat, antara kekinian dan zaman yang jauh telah lewat, dan bahkan juga dunia yang jauh ke depan.

Tugas Malaikat Jibril  dikenal  sebagai penyampai wahyu. Mempelajari berbagai kisah terkait bagaimana tugasnya itu dilaksanakan, maka juga diperoleh  inspirasi bagaimana mendidik manusia. Nabi mendapatkan wahyu,  sedangkan manusia pada umumnya hanya sekedar mendapatkan ilmu. Antara wahyu dan ilmu memang jauh berbeda, akan tetapi terasa memiliki esensi yang agaknya sama. Dari pandangan yang sedemikian itu, manakala transmisi ilmu dari  seorang guru kepada  murid disampaikan dengan cara-cara yang dilakukan oleh, -------sepanjang memungkinkan, Jibril kepada Muhammad, maka akan maksimal hasilnya.

Malaikat Jibril dalam peristiwa isra’ dan mi’raj, dari kisah yang saya tangkap, ia menjadi pendamping Nabi Muhammad. Pemberitahuan pada malam itu, bahwa  akan melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha di Palestika, dan kemudian dilanjutkan hingga ke Sidratul Muntaha, dilakukan oleh Malaikat Jibril. Makhluk Allah yang bertugas menyampaikan wahyu itu, pada saat itu memiliki pendekatan yang berbeda dari waktu-waktu sebelum dan sesudahnya. Peran Malaikat Jibril  terhadap Nabi Muhammad, tidak sebagaimana biasanya, melainkan menjadi pendamping dalam melakukan perjalanan yang amat jauh di luar kemampuan manusia pada umumnya.

Dalam kisah itu,  sebelum berangkat, Nabi dibelah dadanya. Dihilangkan hal-hal yang bersifat manusiawi. Dari kisah itu, saya membayangkan, Nabi betul-betul disucikan hatinya, oleh karena akan melakukan perjalanan suci dan bersifat spiritual untuk menghadap Tuhan.  Kesucian adalah merupakan keharusan tatkala menghadap Dzat Yang Maha Suci. Atau juga bisa dimaknai bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang besar dan mulia, yaitu ilmu, maka dipersyaratkan adanya keadaan suci itu.

Membayangkan peran Malaikat Jibril, yaitu sebagai penyampai wahyu yang kemudian menjadi pendamping Nabi Muhammad tatkala melakukan isyar’ dan mi’raj,  dalam kontek kecil dan sederhana, maka dalam pikiran saya,  segera terbayang proses-proses yang berlangsung dalam dunia pendidikan. Manakala tugas Malaikat Jibril adalah penyampai wahyu, maka tugas guru adalah penyampai ilmu pengetahuan kepada para murid-muridnya. Kedua pekerjaan itu terasa mirip atau setidaknya serupa. Oleh karena itu, manakala apa yang dilakukan oleh Jibril dalam menunaikan tugasnya kemudian ditangkap dan dijadikan oleh para guru sebagai petunjuk untuk menunaikan tugasnya, maka akan mendapatkan hasil maksimal.
   

Hal penting dan utama lainnya tentang apa yang dilakukan oleh Malaikat Jibril adalah memberihkan hati  Nabi Muhammad. Manakala kisah itu  oleh guru ditangkap sebagai pelajaran bahwa dalam soal memberi ilmu kepada para muridnya diperlukan niat, kebersihan hati,  dan dilakukan hanya untuk Allah,  maka akan menghasilkan sesuatu yang istimewa. Ilmu yang diberikan oleh guru, manakala dilakukan dengan cara yang tepat,  akan sampai pada sasaran atau tujuan yang sebenarnya. Demikian pula, Malaikat Jibril dalam menunaikan tugasnya sebagai penyampai wahyu selalu menempatkan diri pada posisi yang amat dekat dengan Nabi Muhammad. Lagi-lagi,  hal itu juga bisa ditangkap sebagai  pelajaran bahwa guru di dalam menyampaikan ilmu kepada murid harusnya mengambil jarak yang demikian, yaitu kepada murid,  guru harus sangat dekat.

Selain itu lewat isra’ dan mi’raj, dalam kisahnya, Jibril tidak sampai mengantarkan Nabi Muhammad hingga langsung menghadap Tuhan. Tatkala sampai pada langit lapis tujuh, Malaikat Jibril melepaskan kedekatan dengan Nabi Muhammad. Utusan Allah itu  dibiarkan sendirian menghadap Tuhan. Guru semestinya juga demikian, yaitu meniru Jibril, tidak perlu dalam hal memberi ilmu hingga tuntas. Murid hendaknya diberi peluang atau space untuk mencari sendiri tanpa pendampingan. Pendampingan adalah penting dilakukan, akan tetapi manakala hal itu terlalu jauh akan justru merugikan kepada mereka atau murid yang didampingi. Murid memerlukan suasana kesendirian untuk melahirkan kreatifitasnya.

Peristiwa Isra’ Mi’raj juga memberikan pelajaran  penting lainnya, bahwa Malaikat Jibril oleh Allah diberikan kebebasan dalam menunaikan tugasnya. Kebebasan itu  penting agar hasil yang diraih menjadi maksimal. Malaikat Jibril bisa memilih cara-cara di dalam menyampaikan wahyu kepada utusan Allah. Guru semestinya juga begitu, diberi kebebasan, dan bukan terlalu diatur. Pengaturan yang berlebihan justru akan mengurangi kualitas dalam menunaikan tugasnya. Nabi sendiri juga pernah mengatakan,  bahwa hal yang teknis umatnya dianggap lebih tahu. Itulah pelajaran imajinatif dari isra’ dan mi’raj. Namun sayangnya,  terkait dengan tugas-tugasnya, terasa sekali bahwa guru seperti terlalu diatur, hingga kreatifitasnya tidak leluasa tumbuh,  yang hal itu tentu mempengaruhi hasil pendidikan itu sendiri, kurang bermutu. Wallahu a’lam.

Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar