Salah satu kekuatan umat Islam adalah tradisi
berjamaah. Lewat berjamaah itu umat Islam selalu bertemu. Lima waktu dalam
sehari semalam, mereka melaksanakan shalat fardhu, dan dianjurkan berjamaah.
Umpama kegiatan ritual itu dijalankan, maka tidak akan ada masyarakat Islam
yang bertempat tinggal di sekitar masjid tidak saling mengenal. Mereka akan
menjadi umat yang satu, saling mengenal, menghargai, dan bisa bertolong
menolong.
Namun sayangnya, konsep yang sedemikian indah itu
belum dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Masjid atau mushala sudah sedemikian
banyaknya, tetapi penggunaannya belum maksimal. Jamaah shalat lima waktu, baru
dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, misalnya waktu shalat maghrib dan
isya’. Selain itu, biasanya sangat terbatas jumlah jamaahnya, kecuali pada
shalat Jumat, seminggu sekali.
Rupanya ajaran berjamaah dalam kegiatan ritual yang
sedemikian penting itu belum menjadi kebiasaan. Apalagi dalam kehidupan
sosial yang lebih luas, misalnya dalam berekonomi. Berjamaah dalam kegiatan
ekonomi bisa berbentuk kooperasi. Dalam kooperasi, mereka bersama-sama
mengumpulkan modal, membangun usaha bersama, dan sekaligus menjadi pasar
bersama. Umpama saja berjamaah dalam kegiatan ekonomi ini bisa dibangun, umat
Islam akan lebih maju lagi. Tetapi lagi-lagi, ternyata tidak mudah
diimplementasikan.
Pendidikan berjamaah yang lebih efektif dilakukan
di lingkungan pesantren. Para santri biasanya diwajibkan shalat berjamaah
pada setiap waktu shalat, dan bahkan juga ketika makan, dan tidur. Para santri
menginap bersama dalam satu tempat. Beberapa pesantren memberlakukan
aturan agar para santri selalu makan bersama-sama. Bahkan mereka, diajari hidup
mandiri, dengan cara memasak sendiri dan dilakukan secara bersama-sama. Ajaran
kebersamaan atau berjamaah secara langsung diterapkan di pondok pesantren.
Di pesantren, sebagai bagian dari ajaran berjamaah,
para santri menempati kamar yang digunakan secara bersama-sama. Saya pernah
menanyakan hal itu kepada kyai, sebab saya tahu, setiap kamar di pesantren
ditempati oleh sekian banyak santri. Ternyata cara seperti itu disengaja, agar
para santri mengenal pribadi teman-temannya secara mendalam. Diterangkan oleh
kyai tersebut bahwa manusia itu adalah makhluk unik. Setiap orang atau santri
memiliki karakter yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dengan berkumpul
bersama sejumlah santri, maka artinya masing-masing akan mengenal
secara mendalam terhadap semua teman-temannya itu. Jika seorang santri
hidup bersama 10 orang temannya, maka berarti, ia akan belajar tentang 10
orang yang berbeda-beda itu.
Kyai tersebut juga menjelaskan bahwa seorang
santri sebagai calon pemimpin harus memiliki pengetahuan
tentang karakter banyak orang di tengah masyarakat. Kebersamaan di
pesantren, baik tatkala shalat bersama, makan bersama, dan bahkan menempati
tempat tidur bersama, diharapkan mereka dapat mengenal karakteristik dari
banyak teman-temannya yang berbeda-beda karakter itu. Tidak semua orang
memahami konsep itu, sehingga menurut penjelasan kyai tersebut, kadangkala
mereka melihat apa yang dilakukan oleh pesantren sebagai hal yang kurang tepat,
dan bahkan dipandang negatif.
Pendidikan kebersamaan atau berjamaah secara
intensif di pesantren seperti itu ternyata juga memberikan hasil yang luar
biasa. Para alumni pesantren biasanya berhasil membangun kebersamaan yang luar
biasa. Lulusan pesantren Gontor misalnya, sekalipun masing-masing berada
di tempat yang berjauhan, saya tahu, masih saling mengenal dalam waktu yang
cukup lama. Di antara mereka layaknya keluarga besar, karena pernah merasa
memiliki sejarah hidup yang sama, yaitu di pesantren.
Umpama konsep berjamaah itu dikembangkan dalam
kehidupan sehari-hari, tidak saja dalam kegiatan ritual, menjadi jamaah masjid
misalnya, tetapi juga dalam kegiatan ekonomi, sosial, dan bahkan juga politik,
maka kehidupan umat Islam akan kokoh. Dengan cara itu, maka di antara umat
Islam akan bersatu, sebagaimana digambarkan oleh hadits nabi yang sedemikian
indah, bahwa kehidupan umat Islam bagaikan sebuah bangunan, antara satu bagian
dengan bagian lainnya saling memperkukuh. Penderitaan satu kelompok akan
dirasakan kelompok lainnya, dan begitu pula sebaliknya.
Sayangnya perasaan bersama atau berjamaah seperti itu
belum berhasil diwujudkan. Umat Islam masih saling berbeda, sendiri-sendiri,
bersaing dalam hal yang tidak perlu, dan bahkan juga konflik pun biasa terjadi.
Nilai-nilai Islam dalam berjamaah belum dipahami dan apalagi dihayati dan
dijalankan. Akibatnya, umat Islam menjadi lemah dan tidak memiliki nilai
tawar, sebanding dengan jumlahnya. Bahkan yang mengenaskan, mereka yang
miskin dibiarkan miskin, mereka yang menganggur dibiarkan menganggur, dan
mereka yang menderita dibiarkan menderita. Perasaan bersama sebagaimana
diajarkan dalam Islam ternyata belum berhasil diamalkan. Konsep jamaah dalam
tataran praktek belum menjadi kekuatan yang sebenarnya. Umat Islam menjadi
tertinggal, padahal seharusnya tidak begitu. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar