Komunikasi
itu gampang-gampang sulit, atau sulit-sulit gampang. Maksudnya, tampaknya
gampang tapi ternyata sulit, tampaknya sulit tapi lha kok gampang. Itu
tergantung macam-macam faktor: bahasa yang digunakan, situasi, dan konteks
komunikasi, latar belakang komunikasi, latar belakang komunikator dan
komunikan. Bahkan bergantung lebih banyak hal lagi: bergantung canthelan,
senggot, dan lain sebagainya.
Markesot
terkadang merasa dirinya adalah pakar komunikasi, di saat lain ternyata ia
tolol setolol-tololnya dalam berkomunikasi. Nabi Sulaiman bisa berkomunikasi
dengan segala macam makhluk. Artinya beliau kenal betul hakikat gerak
daun-daun, gelagat para jin, di arah mana semut mencium sesuatu, dan apa
saja. Dengan kata lain Nabi Sulaiman itu ilmuwan komplet, beliau mengerti
hakikat dan syariat segala macam makhluk. Sebagaimana para astronom paham
watak dan perilaku bintang-bintang, para dokter hewan tahu sifat dan
kelakuan binatang, para sosiolog mafhum apa saja yang ‘diucapkan’ oleh
gerak masyarakat dan sejarah, para kiai, dan psikolog tahu persis
‘bunyi suara’, sorot mata Anda, atau kerut-merut kulit wajah Anda. Atau
seorang dokter bisa berkomunikasi dengan penderitaan tubuh Anda cukup
dengan menatap wajah, atau menyentuh kulit tangan atau kening Anda. Para
ilmuwan itu kalau digabung jadi satu, lengkap dengan segala makrifat dan
kekayaan harta-bendanya: akan menjadi Nabi Sulaiman minus kenabian
resminya.
Tapi
bagi orang-orang awam seperti Markesot, komunikasi itu bisa merupakan
masalah yang ruwet. Markesot mungkin terbiasa berkomunikasi dengan
pengemis atau gelandangan, tapi belum tentu ia bisa berdialog dengan
seorang bupati, dengan ahli paranormal, juga pasti akan serba salah kalau
berkomunikasi dengan wewe gombel, thok-thok kerot, atau seekor
kambing. Memang komunikasi itu kelihatannya sepele, tapi kalau gagal,
bisa fatal akibatnya.
Seorang
penumpang kereta api yang bindheng suaranya bertanya kepada
penumpang di sebelahnya: “Mas, jam berapa sekarang?”-Ia langsung diajak
berkelahi oleh orang itu, karena ternyata ia juga bindheng. Anda pasti
sudah hapal anekdot itu.
Juga
ketika seseorang yang berdiri berdesak-desakan di bus terinjak kakinya
oleh seseorang di sebelahnya. Sebelum memprotes, ia merasa perlu dulu
mengadakan penelitian terhadap aspek-aspek sosiologis historis dari orang
yang hendak diajaknya berkomunikasi.
“Mas,
Mas, saya boleh tanya?” ia bertanya sangat halus.
“Silakan…,”
jawab si penginjak dengan heran.
“Mas
ini putranya perwira ABRI?”
“O,
bukan, bukan…”
“Punya
paman atau sedulur yang ABRI?”
“Ndak…ndak…”
“Punya
tetangga atau kenalan seorang ABRI?”
Dan
ketika orang itu menjawab ‘tidak’ juga, maka suara kawan kita itu
mendadak agak keras: “Kalau begitu jangan injak kaki saya!”
Pengenalan
konteks, kerangka dialog, bahkan latar belakang sosiologis historis, sangat
penting dalam komunikasi. Kalau tidak, seseorang bisa babak belur. Paling
tidak, yang terjadi kemudian bukan dialog, melainkan monolog. Dulu di
masa muda Markesot, sebagai anak sulung ia banyak dibebani tanggung jawab oleh
orangtuanya untuk mengurus adik-adiknya .
Suatu
hari sang Bapak memanggilnya dan berkata: “Sot, tolong si Anu itu dianu,
mbok ya anunya itu jangan dianukan ke anunya anu!”
“Ya,
Pak,” jawab Markesot, “nanti saya anunya si anu itu!”
Tapi
kemudian ia terlupa. Sehingga beberapa hari kemudian ketika sang Bapak
menegurnya. “Bagaimana Sot ? Si Anu sudah kamu anu atau belum?”
Tergagap
Markesot menjawab, “Sudah Pak. Saya bilang: Anumu itu mbok ya jangan
dianukan ke anunya anu… Dan tampaknya si Anu sudah benar-benar anu kok…”
“O,
ya sudah kalau si Anu sudah anu…,” sahut Bapaknya dengan perasaan puas.
Komunikasi
sangat gampang. Tapi yang terjadi pada Markesot dengan bapaknya itu
bukanlah komunikasi: mereka hidup dalam imajinya sendiri-sendiri. Masing-masing
bermonolog. Namun bisa juga hanya dengan mengandalkan ‘anu,’
komunikasi berlangsung, asal ‘anu’ di situ merupakan kesepakatan kode
yang telah memiliki latar belakang konvensi antara komunikator dan
komunikan. Jangankan ‘anu’: tanpa kata pun komunikasi bisa berlangsung.
‘Kata’-bentukan
ucapan, bahkan dikenal sebagai media komunikasi yang paling dangkal,
meskipun justru karena itu ia malah praktis. Ada banyak bahasa komunikasi yang
lain: pandangan mata, mimik wajah, gerak, kode-kode, atau ‘komunikasi
sunyi’. Dalam metode-metode latihan teater ada dikenal
verbal-communication, ada non verbal communication, serta ada silent
cornmunication. Ada komunikasi verbal, ada yang fisikal, serta yang sunyi.
Dalam
dimensi-dimensi kehidupan tertentu tanyakan kepada pakar kasepuhan, kaum sufi,
ahli kebatinan, orang yang bercinta, dan seterusnya, komunikasi paling
efektif justru dengan menggunakan ‘bahasa’ diam. Kalau istri Anda purik,
ngambeg, gak wawuh: ketahuilah bahwa ia justru sedang menggunakan bahasa
yang paling efektif untuk menyatakan perasaannya kepada Anda. Kalau
dengan kata-kata, malah perasaan itu tak sampai.
Dulu
Markesot pernah bercerita tentang seorang temannya: dalam perjalanan bersama
keliling kota-kota Filipina dalam rangka ikut mendukung Cory Aquino, ada
seorang teman yang Bahasa Inggrisnya terbatas pada ‘yes’, ‘no’, ‘what’,
atau “yes no what-what” (yo gak opo-opo).
Tapi
dialah yang paling berhasil komunikatif dengan penduduk desa-desa dan
kampung-kampung, berkat kemampuannya menggunakan gerak tubuh, mimik muka,
serta inisiatif-inisiatif komunikasi yang lain meskipun tak menggunakan
kata-kata. Di tengah pergaulan sehari-hari, ada teman yang bisa
komunikatif di obrolan, tapi gagap di podium. Ada yang fasih di ruang
ceramah, tapi glagepen dalam paugeran. Ada yang maha orator di panggung,
tapi ndlahom di depan cewe. Ada yang pintarnya ngobrol dengan anak
kecil, ada yang dengan orang ‘bawah’, ada yang bisa komunikasi nyogok
uang untuk keperluan tertentu, pokoknya macam-macam. Tapi yang paling
inti dan substansial dalam peristiwa komunikasi sesungguhnya bukan
‘bagaimana bahasa yang digunakan’, melainkan apakah kedua belah pihak
terbuka atau tidak untuk berkomunikasi.
Kalau
seseorang terbuka untuk berdialog, maka bahasa gampang dicari. Tapi kalau
ia tertutup, maka pakai bahasa apa pun akan salah kedaden. Ketertutupan
komunikasi dalam masyarakat kita biasanya disebabkan oleh
penyakit-penyakit seperti feodalisme, hirarkisme, atau segala macam posisi
perhubungan sosial yang mendorong sikap apriori.
Contoh
feodalisme komunikasi misalnya ketika seorang bapak hanya sanggup untuk
‘mengomongi’ dan tak sanggup ‘diomongi’. Kalau dia mengomongi, segalanya
‘betul’. Kalau dia ‘diomongi’, segalanya ‘salah’. Juga dalam
kondisi hirarkisme tata sosial misalnya yang terjadi di tubuh birokrasi, atau
bahkan ketika ‘rasa birokrasi’ melebar keluar konteks formal birokrasi
itu sendiri. Seorang atasan tak bisa diomongi, ia hanya punya ‘kewajiban’ untuk
mengomongi. Kondisi seperti itu membuat orang menjadi antikritik, tak
bisa mendengarkan apa pun yang dia anggap mengkritiknya atau
menyalahkannya. Saking tak biasanya mendengarkan, bahkan terkadang ia tak tahu
bahwa sesungguhnya ia dipuji. Ia terbiasa memerintah, terbiasa ‘berkuasa’
dan ‘paling benar’, sehingga kalimat pujian ia takutkan sebagai
perongrong kekuasaan dan kebenaran dia. Bandingkan dengan tokoh besar kita Dr.
Soedjatmoko yang barusan dipanggil Allah: ketika beliau menjadi Duta Besar
Indonesia di Amerika Serikat, beliau selalu meminta saran dan kritik dari
stafnya sebelum tampil berbicara atau berpidato.
Tapi
jangan salah paham. Kalau Markesot bilang soal feodalisme dan hirarkisme,
sehingga lantas Anda ingat ‘mental kepegawaian’ atau birokrat: itu tidak lantas
berarti semua birokrat atau pegawai itu punya penyakit seperti itu.
Sangat banyak birokrat dan aparat negara yang wajib kita acungi
jempol. Markesot paling takut terjadi miskomunikasi. Mentang-mentang dia
bilang penyakit feodalisme dan hirarkisme, lantas sebagai birokrat Anda
tersinggung dan merasa Anda yang dituding. Bedakan dong antara
pemahaman konteks global dengan kasus-kasus formal lokal. Kata
orang-orang pintar, komunikasi itu mesti rasional dan kontekstual, juga
obyektif. Kalau subyektif, apa pun saja yang Markesot katakan akan dianggap
salah. Kalau konteks komunikasi kita misalnya adalah “sepak bola profesional”,
itu tidak harus inklusif ‘Asyabaab’. Dalam konteks itu bisa kita sebut
van Basten atau Heguita, dan bisa sama sekali tak ada urusan dengan Asyabaab.
Mungkin
karena pusing oleh beberapa kasus diskomunikasi, akhir-akhir ini
Markesot sering nglindur dan sambat: “Owalah! mbok ya kalau anu itu
dilihat dulu anunya, supaya ndak salah anu.. !”
0 komentar:
Posting Komentar