Beberapa hari terakhir, saya mendapatkan informasi tentang
semakin banyaknya lembaga pendidikan yang memfasilitasi para peserta didiknya
untuk menghafal al Qur’an. Para pimpinan lembaga pendidikan itu meyakini bahwa
untuk membentuk karakter tidak ada cara lain kecuali mendekatkan peserta
didiknya dengan kitab suci itu. Tatkala orang berbicara tentang watak,
karakter, atau akhlak maka semestinya yang dijadikan untuk acuan, bagi umat
Islam, adalah al Qur’an.
Masih terkait dengan gerakan menghafal al Qur’an, pada hari
Ahad, tanggal 10 Maret 2013, saya diundang oleh lembaga pendidikan penghafal al
Qur’an di dua tempat, di Jember, yaitu di Yayasan Ibnu Katsir yang berpusat di
tengah kota dan satu lagi di Pondok Pesantren Nahdlatut Thulabah, di Wuluhan.
Pesantren tersebut terakhir ini berada di arah selatan, kira-kira 28 km dari
kota Jember.
Dari dua lembaga pendidikan itu, saya mendapatkan kesan
tentang betapa besarnya semangat menghafal kitab suci itu. Semangat itu tidak
saja tampak dari para pengahafalnya itu sendiri, melainkan juga dari kemauan
masyarakat untuk memberikan dukungan. Pada acara kegiatan Yayasan Ibnu Katsir
yang digelar hari itu juga ditunjukkan adanya beberapa orang yang mewakafkan
sebagian hartanya yang sekiranya diperlukan untuk kegiatan lembaga pendidikan
penghafal al Qur’an.
Beberapa orang diumumkan, bahwa telah memberikan wakaf
kepada lembaga pendidikan penghafal al Qur’an itu. Di antara wakaf itu berupa
rumah yang cukup besar dan dalam keadaan baik untuk ditempati para siswa, kebun
jati dan sengon yang kelak agar digunakan membangun sarana pendidikan,
kendaraan roda empat maupun roda dua, dan lain-lain. Hal itu menggambarkan
betapa sebenarnya, di tengah-tengah masyarakat yang sedang dilanda oleh
penyakit korupsi, ternyata masih ada gerakan yang cukup mulia, yaitu mewakafkan
sebagian hartanya untuk mendukung orang-orang yang mendekatkan dirinya pada
kitab suci.
Di tempat lain, yaitu di Pesasantren Nahdlatut Thulabah di
Wuluhan, Jember, jumlah para pengahafal al Qur’an jauh lebih banyak lagi. Tidak
kurang dari 500-an santri, ketika pagi hari belajar di madrasah atau sekolah,
sedangkan pada sore dan malam hari, mereka menghafal al Qur’an. Menurut
penuturan para pengasuhnya, bahwa mereka yang belajar di sekolah sambil
menghafal al Qur’an pada sore harinya, ternyata prestasinya selalu unggul. Maka
artinya, bahwa dua jenis beban yang dijalani oleh para siswa dan santri
berhasil dijalani sekaligus. Hal ini kiranya penting bagi para penyusun konsep
pendidikan untuk selanjutnya dijadikan dasar dalam membuat model atau rumusan
pendidikan yang bisa diimplementasikan bagi umat Islam di negeri ini.
Melihat pelaksanaan pendidikan penghafal al Qur’an itu, saya
semakin yakin bahwa sebenarnya pendidikan karakter dan atau akhlak yang
diinginkan oleh bangsa ini, sebenarnya tidak perlu dicari lagi rumusannya,
tetapi cukup dilakukan dengan cara, yaitu mendekatkan para siswa dengan kitab
suci agama mereka masing-masing. Bagi anak-anak muslim, maka dekatkanlah mereka
itu dengan al Qur’an. Tatkala anak-anak sudah dekat dengan kitab suci, mulai
dari berkebiasaan mempelajari, membaca, memahami, dan bahkan mencintainya, maka
karakter dan atau akhlak itu akan terbina dengan sendirinya. Wallahu a’lam.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar