Menumbuhkan semangat kerja, di
mana-mana, ternyata tidak mudah. Memang benar bahwa pekerjaan pada
saat sekarang ini tidak mudah dicari. Akan tetapi setelah pekerjaan itu
diperoleh, ternyata belum tentu semangat itu bisa dipelihara dengan
baik. Beberapa lama setelah bekerja di tempat yang awalnya disenangi,
ternyata kemudian semangatnya menurun, merasa bosan, dan kemudian
kerjanya asal-asalan.
Tugas pimpinan adalah membangkitkan
semangat kerja itu, dan ternyata juga tidak selalu mudah dilakukan, apalagi
pada zaman sekarang ini. Untuk meningkatkan semangat kerja itu sebenarnya
banyak pilihan yang bisa ditempuh, misalnya dibuat peraturan yang jelas dan
diimplementasikannya secara disiplin, ditingkatkan kesejahteraannya,
diawasi secara ketat, dan seterusnya. Akan tetapi, cara-cara semacam itu
belum tentu bisa bertahan lama. Sebentar saja peraturan itu dijalankan, sudah
banyak yang melupakan.
Bagi orang yang bermental cepat menyerah,
maka mungkin akan mengatakan bahwa, jangankan semangat kerja sedangkan keimanan
saja sekali saat bertambah dan pada saat lain berkurang. Sebaliknya,
bagi pemimpin yang memiliki semangat tinggi dan tidak segera menyerah,
pasti akan mencari berbagai cara untuk menumbuhkan semangat itu. Seorang
pemimpin tahu, bahwa ciri khas manusia, siapapun orangnya, adalah
segera terkena penyakit bosan. Oleh karena itu cara menumbuhkan semangat kerja
harus selalu dicari, dan tidak boleh berhenti.
Di saat memulai memimpin STAIN
Malang pada awal tahun 1998, yang kemudian kampus itu berubah menjadi UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang, dalam upaya membangun semangat kerja, saya
pernah menempuh dengan pendekatan kebersamaan. Pada saat itu, saya amati
bahwa, semangat kerja yang rendah itu, lebih banyak disebabkan oleh
karena adanya perbedaan kesejahteraan yang diterima oleh masing-masing orang
dalam berbagai hal terlalu mencolok. Tidak ada semangat kebersamaan.
Memang, seluruh pegawai di kampus
dengan status, tugas, dan golongan yang berbeda-beda tidak akan mungkin
bisa menerima imbalan yang sama. Akan tetapi di tengah perbedaan yang menyolok
itu, saya membuat kebijakan yang menjadikan di antara warga kampus ada sesuatu
yang dirasakan sama. Kesamaan itulah hingga menjadikan mereka bersemangat untuk
menjalankan tugasnya sehari-hari.
Kesamaan dan kebersamaan yang saya pilih
pada waktu itu adalah berupa pemberian baju seragam dan juga THR pada
saat menjelang hari raya. Biasanya sekedar baju seragam di antara pejabat
atau antara dosen dan karyawan selalu dibedakan. Pada waktu itu, saya mengambil
kebijakan menyamakannya. Baik pimpinan, dosen, karyawan, dan bahkan bagian
security dan cleaning servies, semuanya saya berikan baju jas yang sama. Jas
rektor, wakil rektor, dosen, hingga satpam, dan tukang sapu pun dibelikan jas
yang sama. Jas rektor sama dengan jas tukang sapu. Inilah yang saya maksud
sebagai kesamaan dan kebersamaan.
Seingat saya, hingga dua kali saya sebagai
pimpinan membelikan jas seragam untuk seluruh warga kampus secara sama.
Demikian pula tatkala menjelang hari raya memberikan THR secara sama
untuk semuanya. Manakala rektor mendapatkan Rp. 100.000,- maka satpam dan
tukang sapu pun juga mendapatkan Rp. 100.000. Kebijakan itu saya ambil
agar ada perasaan sama. Strategi ini ternyata berhasil
menumbuhkan semangat kerja di kalangan pegawai tingkat bawah, oleh karena
mereka diperlakukan secara sama, dan berbeda dibanding dengan masa
sebelumnya.
Akan tetapi juga aneh, ada juga
pihak-pihak yang tidak menyetujui kebijakan itu dengan alasan merasa
diperlakukan secara tidak tepat, dan bahkan kemudian memprotesnya.
Kesamaan dan kebersamaan seperti itu dianggap malah tidak adil, yaitu
menyamakan sesuatu yang seharusnya tidak boleh disamakan. Menyamakan
seragam dan bahkan jas dosen senior dengan jas satpam, diartikan
merendahkan dosen dan bahkan pimpinan. Mereka mempertanyakan, untuk apa
seorang security atau cleaning servies dibelikan seragam berupa jas segala.
Kebijakan yang tidak bisa dimengerti itulah yang menjadikan
beberapa orang protes, dan bahkan mengakibatkan semangat kerja mereka
menurun.
Terhadap beberapa senior yang tidak
menyetujui kebijakan itu, saya menjelaskan bahwa pada setiap bulan, gaji
yang kita terima dari pemerintah selalu berbeda. Para pegawai
yang pada setiap bulan menerima gaji rendah itu, tatkala
melihat orang bergaji terlalu tinggi tidak pernah protes. Mereka selalu
menerima apa adanya. Maka, saya katakan, alangkah indahnya manakala
setahun sekali saja, kita semua mengungkapkan kebersamaan dengan
menggunakan jas yang sama dan jumlah THR yang tidak berbeda. Atas
penjelasan itu di antara mereka masih berkomentar lagi, bahwa terhadap
kesamaan THR bisa dipahami, tetapi apa relevannya para cleaning servies dan
sucurity dibelikan seragam berupa jas segala.
Pertanyaan tersebut saya jawab,
yaitu agar para cleaning servies dan security selama hidup di dunia ini juga
pernah memiliki jas baru. Sekalipun pakaian itu tidak dipakai dalam
menjalankan tugas sehari-hari ke kampus, siapa tahu, mereka akan
memakainya tatkala ada kenduri mantenan, sunatan, atau tatkala mereka
sendiri yang masih berstatus jejaka kemudian menikah. Tapi entahlah
kegunaan seragam berupa jas itu untuk apa, namun bagi saya,
---------yang terpenting, dengan kesamaan dan kebersamaan itu,
agar semangat kerja mereka menjadi meningkat. Wallahu a’lam.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar