Di
Indonesia terdapat banyak lembaga
pendidikan berbasis agama. Semua agama mengembangkan lembaga pendidikan, mulai
dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Kita lihat misalnya, hingga
sekarang terdapat lembaga pendidikan
Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. Lembaga pendidikan ini sebagian
berstatus negeri dan lainnya berstatus swasta. Lembaga pendidikan berbasis
agama yang berstatus negeri, sebagaimana lembaga pendidikan negeri lainnya,
dikelola dan didanai oleh pemerintah. Hanya saja, jumlahnya tidak sebanyak yang dikelola
oleh swasta.
Biasanya
lembaga pendidikan yang dikelola oleh swasta memiliki ketahanan hidup yang luar
biasa. Akan tetapi pada kenyataannya juga sulit maju, oleh karena keterbatasan
dana. Berbekalkan semangat untuk memajukan agamanya, para pimpinan agama yang
bersangkutan rela berjuang dan berkorban untuk memajukan lembaga pendidikan
yang diurusnya. Sekalipun tidak terlalu banyak, lembaga pendidikan berbasis
agama, setelah mendapatkan sumber pendanaan ternyata mampu bersaing dengan lainnya, bahkan dengan lembaga pendidikan negeri yang berada di
bawah pembinaan pemerintah.
Saya
selalu membayangkan, umpama lembaga pendidikan berbasis agama ini mendapatkan
perhatian cukup, sama dengan lembaga pendidikan negeri lainnya, mereka akan
jauh lebih maju. Lembaga semacam itu memiliki kekuatan dari dalam, yaitu niat
dan tekad untuk membesarkan agamanya. Orang yang tergabung dalam lembaga itu,
akan bersedia bekerja sekuat tenaga untuk lembaganya. Mereka bekerja bukan
sebatas didasari oleh semangat mendapatkan gaji, upah atau fasilitas lainnya,
melainkan untuk pengabdian dan pengorbanan sebagai wujud
kecintaan terhadap ajaran agamanya.
Namun
hal itu tidak berarti bahwa niat, semangat,
dan tekad yang mudah berkembang
di lembaga pendidikan agama itu tidak bisa ditumbuh-kembangkan di lembaga
pendidikan yang dikelola oleh pemerintah. Tentu bisa, sekalipun tidak semudah
itu. Seringkali, lembaga pendidikan di lingkungan pemerintah terjerembab oleh
aturan-aturan formal yang kadang kala menjadikan kreatifitas, prakarsa, dan inovasi-inovasi baru tidak mudah muncul.
Prestasi bukan diukur oleh adanya inovasi, kreatifitas, dan prakarsa baru,
melainkan lebih dilihat dari
kesesuaiannya dengan aturan dan juga
terpenuhinya target-target formal yang telah dicapai.
Umpama
saja di Indonesia ini, atas dasar falsafahnya
yaitu Pancasila dan UUD 1945 memberikan kekuatan dan peluang seluas-luasanya
terhadap pertumbuhan lembaga pendidikan yang berbasis agama, maka pendidikan
akan menjadi lebih menyentuh aspek substantifnya. Agama selalu menekankan pada
wilayah keimanan dan mengharuskan agar semua tugas dan pekerjaan dilakukan
dengan cara terbaik, dan bukan sebatas
pada aspek-aspek formalitasnya. Konsep
itu dalam ajaran Islam disebut ikhsan,
yaitu bahwa dalam menghadapi berbagai pilihan harus memilih yang terbaik.
Sudah
barang tentu, pendidikan yang berbasis agama sebagaimana dimaksudkan itu,
secara konsepsional juga harus ditinjau dan ditata kembali, agar ajaran agama
menggambarkan keluasan dan kedalaman ajarannya. Wilayah agama yang dimaksudkan
harus mengambarkan kehidupan yang luas dan utuh, dan tidak sebatas menyentuh
aspek tertentu hingga menjadikanya seolah-olah agama tidak mampu
menjawab berbagai problem kehidupan yang amat luas dan selalu berubah-ubah
seperti dapat dirasakan sekarang ini.
Selain
itu, keterlibatan pemerintah seharusnya juga tidak sampai pada aspek akademik
atau keilmuannya. Pemerintah cukup memberikan target, standar, dan juga
anggaran maupun fasilitas yang dibutuhkan. Sedangkan hal yang terkait dengan
akademik, seharusnya diserahkan kepada para ahlinya, ialah mereka yang telah
mendalami bidang yang menjadi kajiannya. Dengan demikian, para ilmuwan menjadi tidak terbelenggu oleh kepentingan
kekuasaan, politik dan juga hal lain yang menjadikan ilmu pengetahuan tidak berkembang.
Kegiatan
pendidikan, di mana saja dan kapan saja, selalu membutuhkan suasana dan iklim
tersendiri. Proses pendidikan membutuhkan suasana keterbukaan, kebebasan, dan
keberanian sebagai syarat lahirnya
kreativitas atau pikiran-pikiran baru yang diamahkan kepadanya. Aturan atau
kebijakan yang seharusnya hanya diperlukan untuk mendukung proses-proses manajerial tidak
boleh diterapkan pada wilayah pengembangan ilmu. Birokrat dan pejabat
pendidikan hanya menyentuh aspek managerial dan bukan pada persoalan yang
mendalam terkait dengan wilayah disiplin keilmuannya. Jika itu semua dilakukan, maka pendidikan berbasis agama akan lebih
berkembang dan memberikan sumbangan besar pada bangsa ini. Wallahu a’lam.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar