Ketika Uang Sedang Naik Tahta



Sertingkali terdengar keluhan tentang berbagai problem yang mendera bangsa ini, baik terkait dengan persoalan politik, ekonomi, pendidikan, sosial, hukum dan lain-lain, yang semua itu sulit dipecahkan.   Persoalan tersebut bagaikan benang kusut hingga tidak mudah diurai ujung pangkalnya. Menghadapi persoalan  besar, berat,  dan luas, maka menjadikan banyak orang bertanya-tanya, apa sebenarnya yang sedang terjadi di dalam kehidupan ini. 

Persoalan korupsi misalnya. Bertahun-tahun pemerintah berusaha untuk memberantas. Akan tetapi ternyata belum menampakkan keberhasilannya, bahkan sebaliknya, justru menjadi-jadi. Kalau dulu korupsi terbatas, hanya dilakukan oleh pejabat tertentu, namun sekarang meluas ke berbagai elemen. Oknum pejabat gubernur, bupati, wali kota menjadi tersangka dan bahkan dipenjara, adalah diangap hal biasa. Berbagai kasus serupa juga dilakukan oleh oknum anggota DPR,  tokoh politik, dan bahkan juga jaksa, hakim, pimpinan BUMN,  dan lain-lain.

Anggapan bahwa jabatan adalah hanya pantas bagi orang yang memiliki kelebihan ilmu, wibawa, pengalaman, dan kearifanm sudah tidak berlaku lagi. Jabatan disama-artikan dengan uang.  Seseorang yang tidak memiliki uang, maka diyakini tidak akan mungkin meraih jabatan terhormat, seperti kepala daerah, wakil rakyat, dan sebagainya. Jabatan-jabatan tertentu hanya bisa diperoleh lewat uang. Untuk menjadi wali kota, bupati, gubernur, harus bermodalkan uang. Bahkan hal yang sama juga terjadi pada jabatan-jabatan di organisasi politik, misalnya menjadi pengurus penting partai.

Fenomena seperti itu menjadikan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan bahkan kearifan tidak begitu penting.  Berlebih  dalam kecerdasan dan kepintaran yang tidak disempurnakan dengan uang,maka kelebihan itu tidak akan selalu diakui. Kewibawaan hanya bersumber dari uang. Uang seolah-olah naik tahta. Dengan uang maka, seolah-olah apapun bisa diraih. Oleh karena itulah maka,  orang berusaha keras untuk mendapatkan uang, bagaimana dan apapun caranya.

Sebagai akibat uang sedang naik tahta itu, maka berbagai bidang kehidupan dikaitkan dengan upaya-upaya mendapatkan harta kekayaan. Semestinya, ada jenis aktifitas tertentu yang digunakan untuk mendapatkan harta kekayaan, rizki atau uang, seperti berdagang, bertani, mendirikan  perusahaan, bekerja sebagai buruh, nelayan, dan sejenisnya. Akan tetapi ternyata, lapangan kehidupan yang semestinya berorientasi sosial dan kemanusiaan pun digunakan sebagai sarana untuk mencari uang,  atau keuntungan yang bersifat material.

Politik misalnya, fungsi utamanya adalah untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam meraih kesejahteraan bersama. Demikian pula,  lembaga pendidikan adalah untuk mencerdaskan, membangun watak, serta karakter anak bangsa. Hal yang sama adalah lembaga-lembaga pelayanan kesehatan. Institusi tersebut hadir adalah untuk menolong orang yang menderita sakit agar berhasil disembuhkan penyakitnya. Akan tetapi, fungsi-fungsi pokok yang disandangnya itu telah dikembangkan, yaitu digunakan untuk mendapatkan uang. Itulah sebabnya, sekolah, rumah sakit, dan berbagai jenis layanan masyarakat dimaksud menjadi tidak murah lagi.

Oleh karena uang sedang  naik tahta, maka apapun akan bisa diselesaikan dengan alat tukar menukar itu. Orang mendapatkan kekuasaan, ijazah, kesembuhan, dan bahkan juga rasa keadilan, terpaksa harus dengan uang. Uang menjadi alat ampuh dan bahkan justru  menjadi penguasa dalam kehidupan ini. Rasa solidaritas, kekeluargaan, kemanusiaan, dan bahkan kearifan yang seharusnya dijunjung tinggi menjadi hilang dari kehidupan nyata. Sebaliknya yang terjadi adalah  kegiatan transaksi antar orang, yang semua itu lagi-lagi adalah untuk mendapatkan uang.

Dalam keadaan seperti itu, maka mudah dipahami manakala di sana-sini  terjadi perebutan, kompetisi yang tidak sehat, saling menjatuhkan, menyingkirkan, sabotase, menghujat, dan lain-lain. Tatkala orang sudah sangat mencintai uang, maka  nilai-nilai kemanusiaan  menjadi  terabaikan dan bahkan ditinggalkan. Di tengah-tengah budaya yang menjadikan uang sedang bertahta, maka suasana hubungan-hubungan harmoni, kesetiakawanan, bahkan harkat dan martabat manusia yang seharusnya dijunjung tinggi menjadi terabaikan. Itulah keadaan yang harus dibayar oleh siapapun ketika uang sedang naik tahta.


Imam Suprayogo

Related Posts:

  • Bersandiwara dalam Beragama Istilah sandiwara digunakan untuk menggambarkan bahwa apa yang sebenarnya terjadi adalah tidak sungguh-sungguh, tidak serius, dan hanya bersifat main-main belaka. Akan tetapi kegiatan main-main bukan pada tempatnya dikait… Read More
  • Bersabar dalam Berdakwah Saya memiliki pelajaran  sederhana yang saya peroleh dari ayah saya sendiri terkait dengan  berdakwah. Berdakwah menurut ayah saya, terutama kepada orang yang belum mengenal Islam,  harus dilakukan dengan s… Read More
  • Berpuasa dan Berpolitik Antara berpusa dan berpolitik tentu sangat beda. Berpuasa adalah dimaksudkan untuk meraih derajat taqwa. Sedangkan berpolitik adalah untuk mendapatkan kekuasaan.  Gangguan paling besar terhadap keberhasilan puasa ter… Read More
  • Bersatu itu Indah dan Menjadikan Kokoh Sejak belajar di sekolah tingkat dasar, anak-anak sudah diperkenalkan dengan kalimat yang sedemikian indah, yaitu bahwa bersatu akan teguh dan bercerai berai akan runtuh. Kalimat itu sedemikian penting dipahami dan bahkan d… Read More
  • Bermuka Masam Seorang pegawai bersama teman-temannya memperbincangkan  tentang wajah para dosen dan juga karyawan. Entah sekedar iseng atau serius, mereka ternyata sehari-hari memperhatikan wajah-wajah para pimpinan, dosen,  … Read More

0 komentar:

Posting Komentar