Pendidikan Karakter, Ujian Nasional, dan Bimbel



Dalam sebuah pertemuan dengan guru-guru  madrasah,  saya menangkap  ada semacam keluhan atau bahkan protes terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak konsisten. Mereka menyambut gebira dengan kebijakan  pemerintah untuk mengembangkan pendidikan karakter. Kebijakan itu dianggap sangat tepat, apalagi dikaitkan dengan persoalan bangsa pada akhir-akhir ini yang mengalami berbagai krisis,  di antaranya adalah krisis akhlak yang sudah sangat mengkhawatirkan.

Kebijakan yang semula dianggap  tepat tersebut,  ternyata kemudian pelaksanaannya   oleh para guru  dinilai kontradiktif  dengan  kebijakan lainnya.  Kebijaksanaan yang dimaksud kontradiktif  itu,   selain  terkait  ujian nasional  juga dampak lainnya, yaitu   berupa  tawaran bimbingan belajar yang muncul di mana-mana. Mereka menilai bahwa antara ujian nasional, pendidikan karakter,  dan munculnya  bimbingan belajar melahirkan suasana kontradikstif.

Pendidikan karakter akan berhasil dicapai manakala orientasi pendidikan tidak hanya men itik beratkan pada aspeki kognitif, melainkan pada aspek lainnya, yaitu psikomotorik dan juga afektif. Kedua aspek pendidikan yang disebvutkan terakhir tidak mungkin dilakukan dengan pendekatan formal, mengikuti kurikulum yang sedemikian ketat, apalagi dengan proses belajar mengajar serta evaluasi yang hanya menakankan, ------lagi-lagi, ditempuh dengan pendekatan kuantitatif sebagaimana yang dijalankan selama ini.

Pendidikan  karakter semestinya dilakukan lewat pembiasaan berperilaku terpuji, pelatihan-pelatihan, ketauladanan, kegiatan yang bernuansa religi, olah hati, rasa,  dan pikir yang dijalankan sekaligus,  lewat seni,  pengembangan bakat dan lain-lain.  Jenis kegiatan seperti itu memerlukan   waktu, penilaian atau evaluasi secara khas. Akan tetapi programn-program yang semestinya dikerjakan itu selama ini dirasakan oleh para guru  menjadi terhambat oleh adanya ujian nasional.

Menurut pandangan para guru bahwa ujian nasional tidak akan bisa dihindari.  Betapapun ujian nasional  telah dijadikan oleh berbagai pihak sebagai alat ukur yang sangat menentukan bagi siapapun. Bahkan pintu masuk pada jenjang pendidikian berikutnya, misalnya masuk ke perguruan tinggi,  harus menggunakan nilai ujian nasional. Oleh karena itu  ujian nasional harus diikuti dan harus berhasil.  Keadaan seperti itu, menjadikan  semua pihak, baik kepala sekolah, guru, murid dan orang tua harus mempersiapkannya semaksimal mungkin.

Program  ujian nasional  seperti itu akhirnya ditangkap oleh pihak-pihak tertentu,  dengan dalih ikut mempersiapkan  keberhasilan para siswa,  mereka membuka bimbingan belajar atau bimbel di mana-mana. Kegiatan bimbingan belajar dianggap sebagai sesuatu yang harus diikuti dengan waktu dan biaya berapapun.  Para murid maupun orang tua, kalau perlu meninggalkan   kegiatan lainnya yang sebenarnya lebih penting, demi lebih berkonsentrasi  pada persiapan ujian nasional.    

Akibat dari orientasi seperti itu, maka anak-anak yang  kebiasaannya  pada sore hari mengaji al Qur’an atau belajar agama terpaksa harus ditinggalkan dengan alasan mempersiapkan ujian nasional itu. Demikian pula para guru, agar tidak dipersalahkan oleh kepala sekolah manakala hasil ujian nasional mata pelajaran yang diasuh  jeblok, maka  dalam waktu lama, kegiatan mereka  di kelas hanya memberi pelatihan  para siswanya  menjawab soal-soal ujian. Makna pendidikan  akhirnya tereduksi hanya sebatas mempersiapkan pelaksanaan ujian nasional itu.

Persoalan itu menjadi bertambah serius, apalagi dikaitkan  dengan pendidikan kejujuran, kedisiplinan, trust,  dan lain-lain. Para guru madrasah sudah sedemikian mengetahui, bahwa dalam pelaksanaan ujian nasional,  sering  terjadi manipulasi, -------baik disengaja atau tidak, misalnya  terbukti  beredarnya kunci jawaban, perilaku kepala sekolah dan guru untuk mensukseskan hasil ujian,  terpaksa  melanggar  kedisiplinan yang seharusnya ditegakkan.

Hal hal tersebut, menurut para guru madrasah, dipandang  sebagai sesuatu yang kontradiktif antara ujian nasional, pendidikan karakter,  dan bahkan dengan munculnya bimbel yang hanya berorientasi untuk mendapatkan keutungan material.  Keadaan  itu semua ternyata mengusik rasa  tanggung jawab dan sikap integritas para guru,  oleh karena dianggap mengganggu tercapainya tujuan pendidikan yang dipandang lebih  hakiki dan mendasar.  Dirasakan oleh mereka, keadaan seperti itu menunjukkan  kebijakan pemerintah dianggap kontradiktif.  Wallahu a’lam.

Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar