Rasanya jarang terjadi, ada orang
tertawa-tawa ketika masih di Arafah. Begitu pula sebaliknya,
jarang diketemukan orang menangis tatkala sudah melempar jumrah di Minna. Kalau
pun ada, mungkin pengecualian saja, dan jumlahnya tidak banyak. Umumnya orang
ketika masih di Arafah, dalam keadaan berpakaian ihram, banyak yang
menangis. Apalagi pada puncak wukuf, yang bisanya dilakukan setelah
waktu shalat dhuhur. Semakin sore, waktu wukuf semakin habis, biasa orang
menagis semakin menjadi-jadi, sekalipun tidak sampai bersuara.
Mereka menangis karena waktu itu, tidak ada
kegiatan lain, kecuali berdoa. Orang berdoa, biasanya berusaha berkonsentrasi,
seolah-olah tidak ada yang lain kecuali Allah. Pada saat berdoa,
biasanya orang mengingat kesalahan, dosa dan segala macam yang
harus disesali. Suasana Arafah sangat mudah menjadikan orang terharu. Tatkala
masih di tempat itu, orang tidak ingat lagi tentang keluarga, dagangan,
ternaknya yang ditinggal, dan juga kebun, termasuk kegiatan atau usaha
sehari-hari lainnya.
Ketika orang masih di Arafah, sedang wukuf, orang
melupakan kehidupan keduniaannya. Beban kehidupan sehari-hari yang selalu
digeluti, seolah-olah menjadi hilang. Ketika di tempat wukuf itu,
yang diingat orang hanyalah Allah, Muhammad, dosa, dan tentang hari akhir.
Suasana Arafah sangat membantu orang berkonsentrasi hanya pada Tuhan.
Apalagi pada saat itu, sekalipun banyak orang, mereka berpakaian sama,
---- baju ikhram yang berwarna putih-putih, seolah-olah mereka telah siap
dipanggil oleh Allah, menghadap kepada-Nya.
Suasana batin seperti itu dialami oleh semua
orang yang sedang wukuf di Arafah. Orang yang gagah perkasa sekalipun, pintar,
kaya, bahkan ulama atau kyai yang sehari-hari melakukan dzikir, justru
mempelopori untuk menangis. Begitu pula orang-orang yang memiliki keberanian,
termasuk berani menyimpang dari aturan apapun untuk menuruti hawa
nafsunya, ternyata menjadi takluk, seolah-olah tidak memiliki keberanian
apa-apa lagi ketika sedang wukuf. Padahal ketika
masih di tanah air, apa saja diburu dan diperebutkan. Akan tetapi ternyata
semua itu bisa dilupakan ketika sedang Arafah.
Berbeda dengan di Arafah yang ketika itu banyak orang
menangis, maka tatkala sudah di Minna dan selesai melempar
jumrah, banyak orang tersenyum dan bahkan tertawa menandakan
kebahagiaannya. Umumnya seusai melempar kerikil-kerikil ke tempat
pelemparan, mereka menunjukkan wajah berseri-seri. Jamaáh haji
tidak menangis lagi, sebagimana tatkala masih di Arafah. Sekalipun
ada doa-doa yang dibaca di tempat itu, tetapi tidak
melahirkan suasana haru hingga harus menangis. Mereka justru
tampak bahagia, karena sukses dan berprestasi telah
berhasil melempar jumrah tepat sasaran. Suasana batin seseorang ketika
itu seperti telah memberi atau memperjuangkan sesuatu dan berhasil.
Suasana di kedua tempat itu ------Arafah dan Minna,
terjadi secara spontan, tidak dibuat-buat. Mereka menangis tidak disengaja
menangis, demikian pula ketika di Minna, mereka gembira, berwajah berseri-seri
terjadi secara alami. Sebagai orang yang sedang berdoa, posisinya
berada di bawah, maka mudah terharu dan menangis. Sedangkan ketika
melempar, posisi mereka seolah-olah di atas, berada pada
pihak pemberi, sehingga menjadi tersenyum gembira.
Suasana yang terjadi secara spontanitas itu jika
direnungkan, memiliki makna yang mendalam. Bahwa orang yang berada
di posisi bawah, sedang meminta atau berdoá, maka jiwa mereka
akan merasa rendah, lemah, kecil dan sederhana, sehingga
mudah menangis. Oleh karena itu, manusia hanya dibolehkan merasa di
bawah, meminta, dan atau memohon kepada Allah semata. Selain
kepada-Nya, tidak dibolehkan. Sebaliknya, orang harus memberi
dengan ikhlas, sekalipun hanya sebesar kerikil kecil, sebab
dengan memberi sesuatu akan mendatangkan senyum
kegembiraan, sebagaimana tatkala selesai melempar jumrah.
Antara Arafah dan Minna, hanya berbeda hari. Setelah
dari Arafah jamaáh haji ke Muzdalifah, dan bermalam atau mabith di tempat itu.
Setelah melewati tengah malam, mereka bergeser ke Minna, mabith lagi di
tempat itu beberapa malam, dan melempar jumrah. Di dua tempat
itu, secara spontanitas mereka menunjukkan suasana batin yang
berbeda. Ketika di Arafah, mereka menangis, karena sedang memohon kepada
Allah. Kemudian berubah menjadi tertawa ketika sudah sanggup melempar
atau memberi sesuatu.
Tersenyum dan bahkan tertawa bahagia yang sebenarnya,
ternyata tidak mudah terjadi. Kebahagiaan hakiki, hanya bisa diraih
tatkala ia sanggup memberi sesuatu kepada orang lain, sekalipun
dalam jumlah kecil dan sederhana, semisal sebesar kerikil. Sebaliknya ,
Tuhan melarang ummatnya menjadi peminta-minta, karena dengan itu,
maka jiwa seseorang akan menjadi rendah, merasa
kecil, dan batinnya menangis. Meminta dan menangis hanya dibolehkan
kepada Allah swt., dan tidak oleh ditujukan kepada selain-Nya. Wallahu
a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar