Memilih Calon Pemimpin



Memilih pemimpin bisa dikatakan mudah sekaligus susah. Disebut mudah karena calon alternatif pilihan itu sudah tersedia, sehingga para pemilih cukup menentukan satu di antara pilihan yang dianggap tepat. Sebaliknya, menjadi sulit tatkala pemilihan itu dikaitkan dengan tanggung jawab, misalnya agar terhindar dari memilih orang yang tidak korup, mampu menunaikan amanah, patut menjadi pemimpin yang dicintai rakyat, dan seterusnya.

Kesulitan itu semakin bertambah ketika setiap calon pemimpin mengiklankan bahwa dirinya jujur, ikhlas, peduli, memiliki program pembangunan, dan isu-isu menarik lainnya. Bahkan calon pemimpin juga memberikan sesuatu yang bersifat menggoda, misalnya uang atau barang. Posisi pemimpin menjadi diperebutkan oleh beberapa calon yang menghendaki kemenangan.

Oleh karena kesulitan itu, maka akhirnya tidak sedikit  pemilih yang mengambil sikap taklid atau mengikuti orang-orang yang selama ini diangap sebagai panutan. Kenyataan itu juga dibaca dan dijadikan strategi oleh para calon pemimpin untuk menarik suara dengan berbagai cara. Para kiai, misalnya, setiap menjelang pemilihan selalu didatangi para calon pemimpin, atau setidaknya tim suksesnya, untuk dimintai dukungan.

Semua bentuk partisipasi, dukungan, dan juga kekuatan pengumpul suara tidak ada yang gratis. Sebab, posisi pemimpin sudah dikaitkan dengan bisnis untuk mencari untung. Siapa saja yang menduduki posisi itu berpeluang untuk mendapatkan berbagai jenis keuntungan, di antaranya adalah uang. Tatkala mengajukan diri sebagai calon pemimpin juga sama dengan berbisnis, yaitu untuk mengejar untung. Jangan heran jika calon pemimpin sekarang harus mengeluarkan modal terlebih dahulu. Hal itu kini dianggap wajar dan bahkan seharusnya.

Dalam suasana seperti itu, calon pemimpin tidak cukup bermodalkan kepintaran, keberanian, dedikasi, integritas, tetapi juga harus bermodalkan uang. Tanpa dana yang cukup, pada zaman sekarang ini, seseorang tidak akan terpilih menjadi pemimpin. Sebagaimana diungkap di atas, posisi pemimpin sudah dianggap sebagai sesuatu yang patut dibisniskan. Sebagaimana bisnis, jabatan menjadi dekat dengan persoalan untung dan rugi, perilaku menyimpang, dan juga strategi yang sarat dengan tipu muslihat.

Gambaran seperti itulah yang sebenarnya menjadikan tidak sedikit pejabat publik akhirnya masuk penjara. Mereka terpaksa membuat kebijakan untuk menguntungkan dirinya sendiri, melakukan korupsi, memanipulasi, dan bahkan memeras bawahan, sekedar untuk mengembalikan modal untuk membeli suara dulu. Karena itu, memberantas korupsi lewat pendekatan hukum kiranya kurang tepat. Sepanjang sistem pemilihan calon pemimpin dibiarkan berjalan bagaikan bisnis maka korupsi tidak akan hilang.

Nuansa bisnis yang mewarnai pemilihan pemimpin akan berakibat masing-masing pihak harus  menanggung resiko yang tidak kecil. Pemimpin yang terpilih akan masuk penjara, demikian pula rakyatnya tidak akan maju dan tetap menderita. Hubungan rakyat dengan pemimpinnya bagaikan  pembeli dan penjual. Di antara keduanya tidak akan terjadi saling percaya dan apalagi terjalin  kasih sayang. Padahal agar masyarakat menjadi tenteram, teduh, dan damai,  maka harus  terjalin  suasana batin yang indah seperti itu. Kedekatan pemimpin dan rakyat adalah sebuah prasyarat lahirnya suasana kehidupan  yang ideal.

Dalam hal memilih calon pemimpin, Islam memberi tuntunan secara jelas. Yaitu, jangan memilih calon pemimpin di antara orang-orang yang memintanya. Pemimpin itu adalah amanah. Tidak selayaknya amanah itu diminta, apalagi diperebutkan. Anehnya, posisi pemimpin sekarang ini tidak saja diperebutkan, tetapi bahkan  dibeli. Artinya, amanah telah diperjualbelikan. Cara-cara seperti itu jelas sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab itu, ketika terjadi berbagai persoalan yang mendera bangsa ini dari tahun ke tahun, maka bisa jadi penyebab utamanya adalah telah meninggalkan ajarannya yang amat fundamental ini. Semoga umat Islam segera menyadarinya.


Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar