Penjara dan Puasa



Hubungan antara penjara dan puasa terasa jauh. Penjara adalah tempat yang dipersiapkan oleh penguasa untuk menghukum orang-orang yang dianggap telah melanggar hukum dan atau melakukan perbutan kriminal. Sementara itu, puasa adalah kewajiban yang dibebankan kepada kaum beriman berupa meninggalkan  makan, minum,  hubungan suami isteri, dan hal lain yang membatalkannya, dari terbitnya fajar hingga matahari tenggelam.
 
Namun di antara keduanya, yaitu antara penjara dan puasa, masih terdapat persamaannya. Penjara dan puasa sama-sama berfungsi untuk menjadikan orang semakin baik. Penjara diadakan agar orang-orang yang melakukan kejahatan dan atau melanggar hukum menjadi  jera dan  tidak melakukan kejahatan lagi. Sementara itu, berpuasa dimaksudkan agar seseorang menjadi bertambah taqwa. Ketaqwaan tumbuh dari  kesadaran yang mendalam setelah menjalani puasa itu.
 
Sekalipun memiliki kesamaan, tentu perbedaan di antara keduanya  jauh lebih banyak. Secara psikologi, harga diri orang yang sedang dipenjara jatuh, mereka merasa dipermalukan, terhina, menjalaninya secara terpaksa, dan merasa menderita. Perasaan malu bukan saja dialami oleh yang bersangkutan, melainkan juga oleh sanak famili atau keluarganya. Memang hal itu masih  ada pengecualian. Mereka  yang dipenjara bukan karena kejahatan biasa, melainkan dianggap melakukan kejahatan politik,  tidak selalu merasa seperti itu.
 
Pada masa perjuangan dulu,  banyak tokoh-tokoh politik dipenjara. Ir. Soekarno beberapa kali masuk penjara dan bahkan dibuang ke beberapa daerah rawan dan membahayakan sebagai hukuman. Tetapi, hukuman itu tidak menjadikan Ir. Soekarno  malu dan harga dirinya jatuh. Begitu pula ulama besar Indonesia, ialah HAMKA pernah dihukum oleh karena dianggap  bersikap dan pandangannya tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.  Sekalipun dihukum,  harkat dan martabat ulama ini tidak jatuh, dan bahkan  di dalam penjara beliau menulis buku tafsir yang terkenal.
 
Akan tetapi apapun penjara tetap penjara. Penjara tidak akan bisa mengubah perilaku orang yang sebenarnya. Banyak orang sudah sekian lama dipenjara, setelah keluar, mereka  mengulangi perbuatan jahat lagi. Bahkan ada saja orang,  ketika sedang dipenjara,  justru belajar tentang kejahatan  di tempat itu. Akhirnya setelah bebas dari hukuman yang  dijalani, mereka  bukan bertambah baik, melainkan sebaliknya, tingkat  kejahatannya meningkat.
 
Untuk meningkatkan kualitas manusia, Islam tidak menganjurkan lewat penjara,  melainkan ditempuh melalui berbagai kegiatan ritual,  di antaranya  melalui puasa. Dengan berpuasa orang tidak turun derajadnya, bahkan jutru naik dan dihormati. Dengan berpuasa pula hati yang bersangkutan tidak sakit, --------tidak sebagaimana di penjara, melainkan justru gembira. Orang yang sedang berpuasa diberi janji-janji mulia seperti akan dikaruniai rakhmat, ampunan, dan dijauhkan dari api neraka. 
 
Selain hal-hal tersebut, mereka yang sedang berpuasa juga dianjurkan  banyak membaca kitab suci al Qur’an, shalat malam,  bersedekah, dan bersilaturahmi.  Orang yang berpuasa sehari-hari  dianjurkan untuk berkata benar, menunaikan amanah, dan sebaliknya menjauhkan diri dari apa yang saja yang menyakitkan orang, seperti ghibah, iri, dengki, hasut, permusuhan, dan lain-lain.
 
Meningkatkan kualitas orang, sebagaimana tujuan disyari’atkannya puasa,  seharusnya dilakukan secara berulang-ulang. Kecuali haji, oleh karena biayanya  besar, memerlukan waktu, dan tenaga yang tidak sedikit, maka ibadah itu hanya diwajibkan bagi yang mampu  sekali seumur hidup. Berbeda dengan haji, puasa dilakukan  pada setiap tahun dan  tugas itu gugur setelah  yang bersangkutan meninggal dunia.
 
Membandingkan antara puasa dan penjara dalam tulisan ini, sebenarnya  hanya ingin mengajak pembaca untuk berpikir bersama, apakah sistem penjara sebagaimana diterapkan di negeri ini masih perlu diteruskan.  Tujuan setiap penjara agar penghuninya  jera dan berubah  menjadi baik, ternyata tidak selalu tercapai. Banyak orang yang setelah keluar dari penjara kualitas kejahatannya justru meningkat.  
 
Selain itu, orang yang dipenjara melahirkan suasana dendam, merasa teraniaya, dan harkat dan martabatnya jatuh. Belum lagi, pembiayaan penjara  juga mahal, padahal tidak memberikan keuntungan apa-apa.  Salah satu keuntungan dari adanya penjara hanya memuaskan bagi orang yang terkena akibat kejahatannya itu. Tatkala  koruptor diadili dan kemudian dipenjara, maka banyak orang atau musuh-musuhnya merasa senang, oleh karena orang yang pernah dianggap menyakiti sudah berhasil dihukum.
 
Tetapi  manakala tidak ada sistem hukuman,  lalu bagaimana mengatasi kejahatan di tengah masyarakat. Tentu hukuman masih ada, tetapi tidak lewat penjara. Misalnya, orang yang telah benar-benar melakukan kejahatan ditugasi menanam pohon di hutan-hutan  gundul atau di suatu pulau tertentu, atau alternatif lain,  supaya mereka  bekerja apa saja yang bermanfaat bagi banyak orang.
 
Orang  pedesaan, terkait dengan hukum menghukum ini, kadang  memiliki  cara yang lebih arif dan atau bijak.  Menghukum orang yang melakukan kesalahan kadang lebih strategis dan tidak merugikan siapapun. Misalnya, pelaku kesalahan  diharuskan menyetor batu merah, semen beberapa sak, membelikan seragam petugas keamanan, dan lain-lain, yang kemudian semua  dimanfaat untuk  desanya.
 
Dalam kontek kekinian, orang kaya yang melakukan kesalahan, misalnya, diwajibkan membangun  jembatan, memperbaiki  bangunan sekolah, atau lainnya.  Hukuman seperti itu akan  lebih bermanfaat, manusiawi, dan melahirkan efek jera.  Lebih dari itu, semua pihak akan mendapatkan keuntungan, sekalipun tidak semulia  lewat puasa. Wallahu a’lam.       


Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar