Masyarakat yang diliputi oleh suasana korup yang dilakukan
tidak saja oleh pejabat birokrasi pemerintah, melainan juga oleh
lembaga-lembaga swasta mengundang pertanyaan besar. Apalagi anehnya pelaku
korup ternyata juga dilakukan oleh orang-orang yang sehari-hari terlibat
memberantas korupsi itu sendiri. Kalau demikian, pertanyaan mendasar yang perlu
diajukan ialah apakah korupsi
merupakan karakter sebuah tatanan masyarakat tertentu dan sesungguhnya itu
menjadi berubah tatkala karakter masyarakat juga berhasil diubah.
Sangat mengejutkan fenomena ang muncul akhir-akhir ini,
menyangkut tentang korupsi ini. Lembaga eksekutif yang telah memiliki perangkat
hukum, sistim manajemen dan akuntansi yang mantap, sarana pengendalian yang
cukup handal melalui program-program komputerisasi dan lain sebagainya, tetapi
pada kenyataannya masih tetap terjadi korupsi yang jumlah pelaku dan nilai dana
yang dikorup tetap tinggi.
Begitu pula lembaga legislatif, yang semestinya melakukan
peran-peran kontrol, ternyata tidak sedikit kasus-kasus korupsi justru
dilakukan oleh banyak anggota legislatif. Tidak tanggung-tanggung bahwa pelaku
korupsi dilakukan secara bersama-sama. Akibatnya, di beberapa daerah, sejumlah
anggota legislatif diperiksa bersama-sama dan akhirnya juga masuk penjara
bersama-sama. Peristiwa ini sesungguhnya sangat memalukan. Korupsi dianggap
menjadi sesuatu ang biasa, wajar dan lazim. Dan justru menjadi aneh jika
terdapat pejabat pemerintah aau juga swasta yang mampu menjaga diri untuk tidak
melakukan korupsi.
Anehnya di tengah masyaraat yang korup, justru orang yang
tidak aman adalah orang-orang yang jujur yang tidak mau melakukan penyimpangan.
Masyarakat korup ternyata membenci siapa saja yang jujur. Orang jujur dianggap
tidak menguntungkan sehingga harus disihkan. Jangan berharap proses pemilihan
kepemimpinan yang berjalan secara demokratis di tengah-tengah masyarakat korup
akan menghasilkan pemimpin yang benar-benar jujur. Oleh karena itu
sesungguhnya tidak selalu benar pandangan yang mengatakan bahwa orang jujur itu
selalu dibutuhkan di segala jenis masyarakat. Justru orang jujur di
tengah-tengah masyarakat korup akan selalu disisihkan.
Memberantas korupsi di tengah-tengah masyarakat yang
menjalani kehidupannya dengan korupsi ternyata tidak mudah. Pengadilan yang
kukuh yang ditopang oleh sistim manajemen maupun akuntansi yang kuat ternyata
juga masih belum berhasil menghilangkan tindak korupsi ini. Jika kita
memperhatikan betapa kerapian, kekuatan manajemen dan akuntansi yang dilakukan
oleh bank. Sungguh sangat rapi. Bank biasanya didukung oleh manajemen dan
akuntansi yang kuat. Selain itu juga dikelola oleh orang-orang yang ahli di
bidangnya secara meyakinkan. Kita mendengar bahwa gaji pegawai dan apalagi
pejabat bank sedemikian tinggi, melebihi gaji yang diterima pegawai lainnya.
Akan tetapi pada kenyataannya tidak sedikit justru korupsi terbesar jumlahnya
terjadi di dunia perbankan. Bagaimana ini semua dapat dipahami ?
Fenomena lain, suatu lembaga yang amat sederhana, diurus
oleh orang yang secara ekonomis rendah, tidak didukung oleh manajemen dan
akuntansi yang akurat, tetapi justru di sana tidak ada korupsi. Semua keuangan
tidak ada yang diselewengkan. Para pengelolanya memiliki ketulusan yang tinggi.
Laporan keuangan tidak dibuat secara rumit, akan tetapi uang yang ada selamat
dari kemungkinan penyimpangan. Lagi-lagi, mengapa hal itu terjadi.
Pertanyaannya, apakah semakin pintar masyarakat justru
kemungkinan penyimpangan juga semakin besar terjadi dan begitu juga sebaliknya?
Apakah orang berpengetahuan sederhana, berpendidikan rendah juga selalu tidak
memiliki kemampuan untuk melakukan penyimpangan terhadap pengurusan keuangan.
Sehingga, dari fenomena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa justru kepintaran
itu yang mengakibatkan lahirnya penyimpangan keuangan yang disebut korup itu?
Sudah barang tentu logikanya sesederhana ini.
Untuk menjawab persoalan tersebut saya mencoba bertanya pada
Al-Quran . Pada kitab suci
yang diturunkan melali Nabi Muhammad saw ini banyak bertebaran perintah untuk
berjuang. Bahkan, ada perintah agar berjuang dengan sebenar-benarnya berjuang
untuk Allah. Dari berbagai perintah untuk berjuang ini, saya memperoleh kesan
bahwa bangunan masyarakat Islam sesungguhnya adalah masyarakat yang selalu
diliputi oleh suasana perjuangan.
Dalam keadaan apapun, kita lihat bahwa perjuangan selalu
terkait dengan pengorbanan. Orang yang sedang berjuang, apalagi berjuang untuk
membangun keadilan, kejujuran, menghindar dari penindasan, meraih cita-cita
luhur dan bahkan berjuang untuk mendapatkan cinta, maka selalu dibarengi dengan
kesediaan untuk berkorban. Masyarakat atau seseorang yang sedang dalam suasana
perjuangan tidak pernah berharap memperoleh keuntungan, apalagi keuntungan yang
bersifat materi. Yang diharap dalam perjuangan adalah capaian nilai perjuangan
itu, sekalipun mereka harus berkorban.
Berbeda dengan masyarakat pejuang adalah masyarakat yang
bernuansa transaksi onal. Transaksi biasanya terjadi dalam aktivitas jual beli
atau tukar menukar. Dalam suasana transaksional seorang pembeli selalu
menginkan memperoleh barang dengan harga semurah-murahnya, dan begitu pula
sebaliknya. Seorang penjual selalu menginginkan harga atau untung
setinggi-tingginya. Oleh karena itulah seringkali terjadi tipu muslihat,
kecurangan, penipuan, ingkar janji dan sebagainya. Sedemikian buruh keadaan
terjadi pada dunia transaksional itu, sampai-sampai al-Quran dan juga tidak sedikit hadits nabi secara
khususu memperingatkan agar selalu bertindak adil dan jujur dalam menimbang dan
juga dalam jual beli. Bahkan lebih
dari itu, karena sedemikian buruknya suasana transaksional itu, diingatkan
bahwa pasar adalah merupakan tempat yang buruk, dan berbeda dengan masjid atau
tempat ibadah. Atas dasar ini, masyarakat transaksional adalah
masyarakat yang kurang bagus karena bisa melahirkan sifat-sifat pribadi atau
kelompok menjadi kurang bagus itu.
Membandingkan antara dua tipe masyarakat, yakni masyarakat
bernuansa berju ang dan masyarakat bernuansa transaksional memang sangat jauh
berbeda. Masyarakat pejuang melahirkan sikap berkorban, jujur dan adil membela
nilai-nilai kemanusian yang tinggi. Sebaliknya, masyarakat transaksional,
sekalipun hal itu selalu menjadi pilihan dan bahkan menjadi tuntutan masyarakat
modern, selalu melahirkan ciri-ciri seperti korup, menyimpang, menerabas, tipu
muslihat, bohong, palsu dan sebagainya. Pertanyaannya adalah apakah lembaga,
baik pemerintah atau swasta dan lebih luas lagi, masyarakat bangsa ini lebih
bernuansa pejuang atau transaksional itu. Jika ternyata kita evaluasi bahwa
nuansa transaksional lebih menonjol daripada nuansa perjuangan, maka wajarlah
jika korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya lebih subur. Sebab, korup dan
segala bentuk penyimpangan masyarakat itu memang merupakan anak kandung dari
masyarakat yang bernuansa transaksional itu.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar