Guru semestinya memiliki oitoritas seluas-luasnya untuk
mengajar dan mendidik para siswanya. Seserorang diakui sebagai guru oleh karena
yang bersangkutan memiliki berbagai kelebihan, baik dalam bidang ilmu
pengetahuan, pengalaman mengajar dan mendidik, maupun hal lain yang terkait
dengan profesionalitas tentang tugasnya itu.
Tugas dan tanggung jawab guru bukan sebatas menyampaikan
bahan pelajaran kepada para siswa, tetapi lebih dari itu adalah membentuk
kemampuan, watak, karakter, pribadi, cara berpikir, dan perilaku para peserta
didiknya. Hasilnya adalah anak yang memiliki kecerdasan, kedewasaan, dan
perilaku lain yang diharapkan tumbuh dan berkembang. Bahan pelajaran adalah
sebatas alat untuk tujuan akhir pendidikan itu.
Seseorang bisa saja kaya informasi, tetapi watak dan
perilakunya belum sebagaimana yang diharapkan. Kurang cerdas, dan atau juga
tidak mampu menyelesaikan problem-problem hidupnya. Oleh karena itu, tugas guru
bukan semata-mata memperkaya bahan ajar terhadap para siswanya. Sebab belum
tentu, anak yang kaya bahan ajar yang diberikan oleh guru mampu mengubah watak,
karakter, dan juga kecerdasannya.
Barangkali kekeliruan mendasar yang dialami oleh para
pengambil keputusan tentang pendidikan dan pengajaran selama ini, hingga
mengakibatkan lulusannya belum mampu hidup mandiri dalam berbagai hal adalah
terkait paradigma pendidikan ini. Mereka mengira bahwa kekayaan informasi akan
sekaligus mengubah perilaku seseorang. Oleh karena itu, maka pengetahuan yang
diberikan kepada para siswa ditargetkan hingga sampai pada ukuran tertentu.
Misalnya, siswa sekolah dasar harus menerima sejumlah pelajaran. Mereka yang
berhasil memenuhi target dinyatakan lulus, dan sebaliknya. Padahal, penguasaan
pengetahuan dan informasi belum tentu berhasil mengubah watak dan karakter
siswa yang bersangkutan.
Mendidik dan mengajar sebenarnya tidak sama dan bahkan juga
bukan serupa dengan mengisi air di dalam gelas. Air untuk mengisi gelas
diserupakan dengan ilm u, sementara gelas diserupakan dengan otak manusia.
Gelas dan otak sama sekali berbeda. Gelas asalkan tidak retak, maka akan bisa
menampung air dalam waktu yang lama, asalkan tidak dipanasi dan kemudian
menguap. Sementara iru otak manusia, termasuk anak didik sangat cepat mengalami
kelupaan. Itulah beda mendasar antara gelas dan otak anak manusia.
Mendidik sebenarnya lebih tepat dimaknai sebagai upaya
mentranfer kepribadian guru kepada para murid-muridnya. Oleh karena itu, guru
semestinya diberikan otoritas seluas-luasnya untuk melakukan tugasnya itu
secara total. Tugas mentransfer kepribadian agaknya bersifat seni, sehingga
tidak mungkin diseragamkan. Penyeragaman itu hanya akan menghilangkan watak
atau kepribadian guru yang khas yang akan ditanamkan atau ditransferkan kepada
para siswanya itu.
Oleh sebab itu sebenarnya, cara yang lebih tepat untuk
meningkatkan kualitas pendidikan, adalah lewat peningkatan pengetahuan,
semangat, ketrampilan, dan profesonalime guru. Selama ini guru sebenarnya telah
diberikan peluang-peluang untuk meningkatkan kualitas dirinya. Hanya sayangnya,
ukuran-ukuran peningkatan itu baru bersifat formalistik, misalnya hanya lewat
aturan, bahwa guru harus lulus pada jenjang pendidikan tertentu, mengikuti
sertifikasiu guru, dan sejenisnya.
Namun, guru tampaknya kurang mendapatkan kesempatan untuk
mengembangkan diri, misalnya lewat pemberian kepercayaan penuh untuk menunaikan
tugasnya. Orang yang diberi kepercayaan penuh, biasanya akan berusaha keras
menyesuaikan diri. Sebaliknya tatkala seseorang, termasuk seorang guru dianggap
tidak mampu,dan kemudian selalu diberi petunjuk, pedoman yang bersifat detail,
maka justru kreatifitas mereka tidak tumbuh. Mereka akan berjiwa penunggu dan
mengikut perintah. Padahal guru seharusnya tidak boleh bersikap seperti itu.
Guru harus memiliki jiwa, pikiran, dan hati yang merdeka.
Pikiran dan jiwa seperti itulah yang semestinya juga ditransferkan kepada para
siswanya. Guru yang merasa hanya menunaikan tugas atas petunjuk dari atasan,
dan sebaliknya tidak memiliki otoritas penuh terhadap perubahan kualitatif para
muridnya, maka hanya akan bekerja secara formatistik, kaku, dan bahkan akan
bernuansa transaksional. Mereka hanya bekerja untuk mendapatkan sesuatu yang
bersifat rendah, dan bukan sebagaimana tuntutan profesinya. Itulah sebabnya
guru seharusnya diberikan otoritas penuh sebagai seorang guru dan bukan sebatas
sebagai pekerja. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar