Membangun Bangsa Atas Dasar Wahyu



Dalam pembicaraan informal dian tara  beberapa teman yang saya ikuti,  muncul ide bahwa untuk membangun bangsa  yang sedang ditimpa banyak  masalah besar seperti ini  tidak mungkin lagi  mendasarkan  kekuatan pikiran dan bahkan juga pendekatan ilmiah.  Dikatakan bahwa,  persoalan bangsa ini sudah sedemikian rumit dan komplek. Siapapun yang memimpin akan  dihadapkan pada  persoalan yang tidak mudah dipecahkan.

Persoalan  itu sudah kait mengkait, tidak saja berada pada wilayah yang bisa diamati, melainkan sudah masuk pada ranah lahir dan batin.  Persoalan korupsi saja misalnya, sudah menjadi tidak jelas,  siapa sebenarnya yang benar-benar korupsi dan siapa yang melawannya.  Seseorang yang sehari-hari menyatakan diri perang melawan korupsi, ternyata dirinya sendiri yang tertangkap oleh karena  telah melakukan kejahatan yang sedang dibenci oleh banyak orang itu. 

Seorang yang sehari-hari dikenal menjadi  teman, pendukung  dan bahkan pembela,  ternyata secara mendadak dinyatakan  sebagai  musuhnya. Siapa sebenarnya teman dan sebaliknya musuh menjadi tidak jelas. Akibatnya,  antar sesama  menjadi  selalu kawatir dan curiga mencurigai. Pada suatu saat, seseorang  dianggap sebagai teman, maka pada saat lainnya dipandang sebagai musuh. Hal seperti itu,  dengan mudah dapat dilihat dalam kehidupan organisasi, partai politik,  dan bahkan juga dalam kehidupan birokrasi.

Selain itu, gambaran tentang ketidak-puasan muncul di mana-mana. Dulu, demonstrasi atau unjuk rasa dilakukan oleh para buruh dan mahasiswa. Sekarang ini,  protes dan unjuk rasa  diulakukan oleh hampir semua kalangan, mulai dari orang desa  memprotes  kepala desanya, pegawai mendemo atasannya, guru berdemo, dan akhir-akhir ini,  kita  menyaksikan para kepala desa beramai-ramai berdemostrasi ke Jakarta.

Tradisi bermusyawarah  sudah dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah. Sebagai gantinya, maka dilakukan penekanan dengan menggerakkan massa sebanyak-banyaknya. Kekerasan sudah  dianggap sebagai sesuatu  yang lebih tepat untuk  dilakukan. Dengan pendekatan seperti itu, maka  nilai-nilai yang seharusnya dipegang dan dijunjung tinggi,  seperti sopan santun,  saling menghormati, rasa sungkan, dan seterusnya  semakin hilang.

Orang yang menduduki posisi sebagai pimpinan, sewaktu-waktu bisa diturunkan bersama-sama dengan cara kekerasan  lewat demonstrasi.  Kontrol atau pengawasan dianggap tidak cukup hanya lewat lembaga resmi, tetapi juga mengikutkan  masyarakat. Dalih yang digunakan bahwa, semua pelayanan umum harus transparan dan akuntabel. Menjadi pimpinan akhirnya bukan lagi dianggap sebagai penentu dan memiliki otoritas, melainkan justru menjadi pihak-pihak yang dicurigai dan dipandang sarat dengan kesalahan.   

Suasana yang demikian itu menjadikan sehari-hari muncul berita tentang penangkapan dan  pengadilan para pejabat pemerintah, birokrasi, politikus, polisi,  hakim, jaksa, kepala BUMN, dan bahkan juga para pengusaha. Penjara menjadi ramai dan bahkan tidak mampu menampung lagi. Tentu semua itu akan mempengaruhi suasana batin banyak orang.  Mereka yang terkena kasus itu akan menjadi sakit hati, dendam, dan tentu tidak menutup kemungkinan akan melakukan pembalasan manakala  ditemukan  kesempatan.

Hidup dalam suasana seperti itu siapapun  menjadi tidak tenang. Oleh karena itu wajar sekali manakala  banyak orang ingin mencari cara untuk  menyelesaikannya. Dalam diskusi informal  yang saya ikuti sebagaimana yang saya kemukakan di muka,  muncul ide bahwa untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini tidak akan mungkin  cukup dengan kekuatan nalar atau pendekatan ilmiah, melainkan harus menggunakan wahyu. Dikatakan bahwa, hanya orang-orang yang mendapatkan wahyu saja yang mampu menyelesaikan persoalan besar bangsa yang sedemikian rumit dan amat komplek ini.

Di antara seseorang yang terlibat dalam diskusi itu menyebutkan bahwa,  Nabi Muhammad sukses membangun masyarakat Madimah  yang semula jahiliyah  menjadi masyarakat yang damai dan sejahtera atas dasar petunjuk wahyu.  Kekuatan wahyu itulah yang menjadikan masyarakat Arab berubah dari masyarakat terbelakang menjadi masyarakat yang ideal.  Prinsip-prinsip keadilan, kebersamaan, musyawarah, hormat menghormati antar sesama, saling menyayangi, tolong menolong, dan lain-lain  di bawah  kepemimpinan Nabi Muhammad atas petunjuk  wahyu, maka dipelihara dan  ditegakkan.

Mengomentari pandangan dalam diskusi itu, saya mengatakan bahwa pada saat sekarang ini sebenarnya kita semua telah mendapatkan wahyu. Wahyu yang saya maksudkan itu juga sama persis dengan yang digunakan sebagai petunjuk oleh Rasulullah, yaitu al Qur’an. Bahkan implementasi  wahyu dalam kehidupan sehari-hari juga dapat dipelajari melalui kitab-kitab hadits nabi.

Oleh karena itu, pada saat ini kita semua sebenarnya juga telah mendapatkan wahyu, melalui Nabi Muhammad.  Persoalannya adalah, mau atau tidak kita membaca dan melaksanakan petunjuk  itu dalam kehidupan sehari-hari. Umpama semua pihak  bersedia  menerima dan mengimplementasikan wahyu yang telah dibukukan dalam bentuk kitab suci al Qur’an dan disempurnakan  dengan  hadits nabi, maka persoalan bangsa yang komplek dan rumit ini akan bisa terselesaikan.  Wallahu a’lam.      


Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar