Mengandaikan Siswa dengan Gelas Utuh



Mengikuti paham bahwa mengajar seperti mengisi gelas dengan air adalah kurang tepat. Otak para siswa tidak seperti gelas atau botol. Mengisi gelas atau botol dengan air, maka bisa diprediksi, berapa jumlah air yang harus dituangkan hingga gelas itu penuh. Otak para siswa sama sekali berbeda dengan  gelas. Kalau otak para siswa  dipaksa  untuk dimirip-miripkan  dengan gelas, maka  sama saja  menyamakan otak para siswa itu dengan gelas yang sudah bocor.

Tatkala mengisi gelas dengan air secara bertahap, maka tahap-tahap itu bisa dilihat hasilnya hingga akhirnya tampak  bahwa,   gelas itu penuh. Otak manusia tidak seperti itu. Mengisi otak para siswa dengan informasi atau bahan pelajaran setiap hari, maka yang terjadi   persis mengisi gelas bocor. Pada hari pertama diisi, maka pada hari  berikutnya informasi yang telah diterima oleh siswa pada hari sebelumnya itu  sebagian hilang, karena yang bersangkutan.

Oleh karena itu, pembelajaran yang menyamakan otak para siswa dengan gelas utuh adalah merupakan kekeliruan yang mendasar. Manakala guru suatu ketika berdalih,  bahwa siswanya  sebelumnya telah diajar dan  diharapkan  masih hafal persis seperti yang dijelaskan  sebelumnya, maka hal itu justru mengingkari hakekat dari pada kemampuan siswa. Para siswa tidak akan mampu menyimpan semua informasi yang telah diberikan oleh gurunya. Bahkan guru yang bersangkutan saja juga bisa dipahami manakala apa yang telah diterangkan kepada murid-muridnya, dia sendiri  juga telah melupakan.

Pemahaman bahwa para siswa itu adalah bagaikan gelas bocor ternyata tidak pernah menjadi pertimbangan. Para siswa dianggap seolah-olah seperti gelas utuh. Para guru sehari-hari mengisi otak para siswa dengan pelajaran. Itulah sebabnya, di kalangan para guru, sering terdengar kata-kata aneh, misalnya  bahan yang seharusnya diberikan sudah habis, targetnya telah tercapai, dan seterusnya. Cara berpikir dan kerja guru seperti itu menunjukkan bahwa mereka tidak paham tentang apa, siapa, dan bagaimana sebenarnya  para siswa itu. Mereka menyamakan siswa dengan gelas utuh, padahal yang benar adalah menyerupai gelas bocor. Hari ini menangkap informasi, maka tidak lama kemudian setelah itu lupa.

Senada dengan pandangan di muka, saya pernah membaca buku yang saya beli di airport Singapura, sepulang  dari Eropa. Pada intinya,  buku  tersebut  menceritakan tentang apa yang dihasilkan oleh para siswa di sekolah. Mereka sehari-hari diberi pelajaran oleh gurunya, hingga akhirnya diuji dan lulus. Ijazah segera diterima, tetapi ilmu yang diperoleh selama itu ternyata hilang tidak tersisa. Namun oleh karena telah memiliki ijazah, maka selembar kertas berharga itu digunakan untuk melanjutkan ke sekolah jenjang berikutnya, di sekolah menengah. Setelah menempuh pelajaran selama tiga tahun, terakhir diuji dan juga lulus. Sebagaimana di sekolah dasar, ijazah sekolah menengah diterima, tetapi juga lagi-lagi, semua ilmu yang diterima dari semua guru di sekolah itu  hilang, oleh karena lupa.

Siswa dalam cerita pada buku dimaksud kemudian meneruskan pendidikannya ke jenjang berikutnya dan bahkan berlanjut hingga lulus dari perguruan tinggi. Terakhir setelah diwisuda mendapatkan  ijazah dan gelar. Namun  ternyata ilmu yang diperoleh dari semua dosennya  tidak lama kemudian  juga hilang. Sedangkan yang tersisa hanya ijazah dan  beberapa sertifikat sebagai tanda telah mengikuti kegiatan penting di kampusnya. Tentang ilmu yang diperoleh tinggal sedikit saja yang tersisa dan umpama disuruh untuk mengingat-ingat, ia mengaku tidak mudah. Apa yang telah diterangkan oleh para dosennya sewaktu kuliah telah banyak yang dilupakan.

Cerita dalam buku dimaksud, saya kira bukan untuk mengurangi semangat siswa dalam belajar di sekolah, tetapi untuk mengingatkan dan sekaligus menyadarkan bahwa belajar di sekolah tidak cukup hanya dilakukan dengan cara  mendengar dan menyerap penjelasan dari para guru atau dosen setiap hari di ruang kelas. Belajar seharusnya dilakukan dengan cara latihan-latihan menyelesaikan problem-problem terkait ilmu yang dipelajari, melakukan pengamatan,  menganalisa sendiri data yang tersedia,  dan juga menuliskan gagasan-gagasan yang dimiliki pada setiap saat. Informasi atau teori yang didapatkan dari guru, tanpa ditindak-lanjuti dengan latihan dan lain-lain  akan cepat hilang, oleh karena manusia memiliki sifat yang tidak mungkin dihilangkan, yaitu pelupa.

Manakala pendidikan di sekolah dan juga di perguruan tinggi masih dijalankan sebagaimana diilustrasikan di muka, maka sebenarnya untuk meraih tujuan pendidikan yang sebenarnya, yaitu agar peserta didik menjadi berkarakter, cerdas, kreatif, kaya imajinasi, dan sebagainya, maka   rasanya tidak akan tercapai. Informasi pada saat sekarang ini sudah membanjir. Oleh karena itu  bila pembelajaran di sekolah  masih sama dengan yang dilakukan pada lima atau bahkan sepuluh tahun yang lalu, lembaga pendidikan akan ketinggalan zaman. Cara lama harus diubah dan bahkan tinggalkan, agar tidak membebani  generasi ke depan.

Menurut hemat saya, harus ada revolusi cara mengajar dan belajar secara mendasar, menyesuaikan dengan tuntutan dan tantangan masa depan. Setidaknya, juga harus dipahami bahwa mengajar  seharusnya bukan dilakukan  seperti mengisi gelas dengan air. Selain itu,  yang harus diingat bahwa para siswa itu  memang  bagaikan gelas, tetapi gelas yang bocor. Mereka itu mempunyai sifat yang sama saja dengan gurunya, yaitu pelupa. Oleh karena itu belajar yang efektif adalah berlatih, mencoba, mencari sendiri, dan membiasakan. Mengandaikan siswa dengan gelas utuh rasanya tidak tepat. Wallahu a’lam.

    
Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar