Sistem demokrasi oleh sementara orang dianggap yang paling
baik. Sebab di alam demokrasi, semua orang dianggap memiliki kedudukan yang
sama. Organisasi atau bahkan pemerintahan yang dijalankan atas dasar demokrasi,
maka tidak ada seorang pun yang boleh memiliki posisi dominan. Apa saja yang
merupakan kepentingan bersama harus diputuskan dengan melibatkan semua
anggotanya.
Apa saja yang terkait dengan proses pengambilan keputusan,
di alam demokrasi didasarkan atas
kesepakatan atau bahkan aturan yang telah disepakati bersama. Demokrasi
memerlukan aturan sebagai pegangan, yang
juga disusun secara bersama-sama, baik dilakukan secara langsung atau
melalui perwakilan. Di dalam berdemokrasi,
semua orang harus taat pada aturan yang
telah disepakati bersama.
Secara teoritik di alam demokrasi orang terbaik selalu
muncul sebagai pemimpin. Namun persoalannya menjadi lain tatkala ada orang atau
sekelompok orang berambisi untuk mendapatkan kemenangan atas yang lain tanpa
mendasarkan pada prestasi atau kelebihan yang dimiliki. Di dalam berdemokrasi
selalu terbuka bagi siapapun untuk bersaing. Persaingan itu tidak selalu berjalan terbuka, obyektif, dan adil. Berdemokrasi selalu mendasarkan pada aturan,
akan tetapi semangat menang biasa mengalahkan nilai-nilai yang seharusnya
dijunjung tinggi.
Masyarakat selalu berkelompok atas dasar kepentingan yang
berbeda-beda. Pengelompokan itu kadang
sedemikian rumit. Orang mengelompok atas dasar etnis, agama, keturunan,
afiliasi organisasi, dan lain-lain. Pengelompokan itu kadang juga tumpang
tindih, dan bahkan juga bisa
berubah-ubah. Pengelompokan menjadi tumpang tindih oleh karena seseorang
memiliki kepentingan ganda. Perubahan
afiliasi juga terjadi tatkala seseorang
ingin mendapatkan keuntungan pribadi, atau motif lainnya.
Keadaan tersebut
menjadikan proses-proses dalam memilih pemimpin di alam demokrasi tidak mudah selalu mudah
dipahami. Ada kalanya, seseorang terlalu
idialis tetapi ada juga yang
sebaliknya, terlalu pragmatis
dan atau juga di antara keduanya. Seseorang
idealis tidak mudah dipengaruhi oleh apa dan siapapun. Sebaliknya,
kelompok pragmatis berpegang pada
keuntungan sesaat yang akan diperolehnya. Kelompok idialis prakmatis, tentu
akan tergantung siatuasi dan kondisi yang ada.
Sekalipun dalam berdemokrasi setiap orang memiliki kebebasan
dalam menentukan berbagai pilihan, termasuk tatkala memilih calon pemimpinnya,
namun ternyata sementara orang tatkala memilih calon pemimpin mengikuti kelompoknya, atau orang tertentu
yang dipandang berpengaruh. Pada
kenyataannya tidak semua orang mampu dan atau mau menggunakan buah pikirannya sendiri. Mereka lebih suka
mengikut kelompok atau orang lain yang dianggap memiliki otoritas daripada
suara hatinya sendiri. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kemandirian dalam
berpikir untuk menentukan pilihan bebas
tidak selalu dimiliki oleh semua orang.
Orang yang tidak mau menggunakan pilihan bebas dimaksud
tidak saja terjadi di kalangan masyarakat awam,
misalnya masyarakat berpendidikan rendah, melainkan juga terjadi di
kalangan orang berpendidikan, dan bahkan
di kalangan perguruan tinggi.
Kejadian tersebut terasa aneh, tetapi itulah kenyataannya. Orang di perguruan tinggi, sekalipun
seharusnya menyandang sikap bebas,
berani, dan terbuka, --------sebagai ciri khasnya, ternyata dalam memilih
pemimpin masih mendasarkan pada
keputusan organisasinya. Kekuatan organisasi, atau kelompok
masih mengalahkan keleluasaan pikiran bebasnya.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa sistem demokrasi, sekalipun pada sisi-sisi tertentu
dipandang rasional, namun pada kenyataannya masih terdapat kendala,
yang tidak mudah dihindari. Akhirnya, yang terjadi adalah demokrasi dengan penuh rekayasa, seolah-olah, hasil
hubungan primordial, atau berdasar kepentingan yang kadang tidak masuk
akal. Bahkan sebagai contoh yang
keterlaluan, dalam menentukan pimpinan misalnya, seseorang sekalipun sudah
berpendidikan strata tertinggi, adakalanya masih belum mandiri. Mereka belum
berani menggunakan pikiran bebas.
Di tengah masyarakat, upaya merekayasa demokrasi terasa
sedemikian jelas, namun anehnya diterima sebagai sebuah kelaziman. Sebutan bahwa demokrasi adalah terbaik, pada
kenyaannya tidak selalu demikian. Pada kenyataannya, dalam berdemokrasi masih
terdengar ancam mengancam, paksa
memaksa, saling mengatur, pembaiatan,
politik uang, dan lain-lain. Hal demikian itu bisa semakin jelas kita lihat di berbagai
organisasi, tidak terkecuiali pada partai politik. Kritik tajam yang selama ini
dialamatkan pada pejabat politik, baik di legislatif maupun eksekutif, adalah
merupakan contohnya.
Penyimpangan dalam berdemokrasi seharusnya
tidak dilakukan. Pilihan
demokrasi sebenarnya didasarkan pada anggapan bahwa semua orang mampu berpikir mandiri dan memiliki pilihan bebas. Demokrasi
memberi ruang bebas pada semua orang untuk menentukan pilihannya sendiri. Namun
pilihan bebas itu direkayasa oleh orang-orang yang berkepentingan sedemikian
rupa. Akibatnya, proses pemilihan pemimpin di alam demokrasi pun tidak mudah dan juga tidak selalu
menghasilkan pemimpin yang terbaik, dan bahkan,
bisa jadi sebaliknya. Wallahu a’lam.
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar