Pendidikan Keimanan, Ketaqwaan, dan Akhlak Mulia



Membaca naskah konsep kurikulum yang akan diberlakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  mulai tahun 2013 adalah sangat menggembirakan. Dalam  naskah itu disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah diawali untuk membentuk manusia yang beriman, bertaqwa dan  berakhlak mulia. Menjadi menarik dan menggembirakan oleh karena persoalan bangsa Indonesaia selama ini adalah terletak pada wilayah itu dan lewat kurikulum tersebut persoalan tersebut akan diselesaikan. Memang senyatanya, bahwa korupsi, kolosi, nepotesme, tawuran, narkoba, perselingkuhan, sampai pada kasus-kasus plagiat  sebenarnya adalah  bersumber dari rendahnya keimanan, ketaqwaan dan akhlak itu.

Terkait dengan persoalan tersebut, pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya menanamkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak yang mulia itu kepada peserta didik. Pendidikan tersebut tentu tidak cukup hanya lewat pemberian bahan pelajaran oleh guru kepada para siswanya, dan apalagi itu dijalankan lewat kegiatan yang bersifat formal dalam waktu tertentu. Sasaran pendidikan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia bukan hanya terletak pada wilayah kecerdasan intelek atau pikiran, melainkan pada wilayah hati. Sentuhan-sentuhan hati, pembiasaaan, dan ketauladan dalam kehidupan sehari-hari itu sebenarnya adalah  merupakan proses panjang yang harus  dijalankan secara terus menerus dalam mengimplementasikan pendidikan keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia.

Dalam sejarah,   bahwa pendidikan  keimanan, ketataqwaan dan akhlak mulia yang paling sukses adalah dilakukan oleh  para nabi dan tidak terkecuali Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, manakala pendidikan itu ingin sukses, maka  dalam batas-batas tertentu,  menyesuaikan  dengan kemampuan yang dimiliki, seharusnya mengikuti  siapa  yang telah menjalankan dan terbukti sukses itu. Selain itu,  sebagai hal penting  yang seharusnya  dipahami secara mendalam adalah tentang bahan dan metodologi yang  dijalankan.

Para nabi,  termasuk Nabi Muhammad sukses dalam menjalankan pendidikan keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia oleh karena utusan Tuhan itu terlebih dahulu telah menyandang kekayaan,  berupa  karakter yang mulia itu.  Hal itu memberikan petunjuk bahwa seharusnya   penyandang peran pendidik karakter mulia itu  adalah orang yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Tidak akan mungkin orang yang tidak beriman, tidak bertaqwa,  dan tidak berakhlak mulia akan melahirkan anak didik yang memiliki kharakter ideal itu. Karakter terpuji  hanya akan lahir dari  guru yang memiliki akhlak mulia.

Selain itu, hal yang penting adalah  bahwa karakter mulia  akan lahir dari lingkungan, atau proses-proses kehidupan yang terpuji dan mulia.  Suasana pendidikan yang di sana terdapat sikap-sikap tidak terpuji, seperti memanipulasi raport, membiarkan anak-anak berbuat curang dalam ujian, guru yang tidak disiplin, suasana pendidikan yang diwarnai oleh nilai-nilai transaksional  dan sebagainya, sebenarnya merupakan   pendidikan yang kontradiktif dari tujuan pendidikan yang amat mulia itu.  

Sosok nabi sebagai guru adalah orang yang terpercaya, memiliki komitmen dan integritas yang  sempurna dalam membanghun kualitas manusia, sehingga keberadaannya selalu menjadi tauladan atau uswah hasanah bagi masyarakat yang dididiknya. Selain itu,   Nabi secara total memberikan jiwa dan raganya demi  untuk menunaikan amanah yang dibebankan kepadanya. Nabi juga tidak saja memberikan pengetahuan, melainkan  selalu menjalankan apa saja yang diajarkannya. Bahasa lisan nabi selalu sama persis dengan bahasa perbuatannya sehari-hari. Itulah pendidikan karakter, pendidikan keimanan,  dan pendidikan ketaqwaan yang sebenarnya.

Pendidikan keimanan, ketaqwaan,  dan akhlak mulia,  sebagaimana dijalankan oleh Nabi,  bersumber dari kitab yang tidak pernah terdapat di dalamnya kesalahan dan atau bahkan sekedar meragukan, ialah  kitab suci. Bahan pelajaran itu  diberikan langsung dari Tuhan. Oleh sebab itu semestinya, bahan pendidikan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia tidak perlu  dicari dari sumber lain, tetapi seharusnya mendasarkan pada  wahyu  yang telah terhimpun dalam  kitab suci,  yang nyata-nyata kitab itu telah berhasil membentuk perilaku mulia. Sebagai bangsa yang berpancasila, dalam hal ini  rakyatnya memeluk berbagai agama, maka anak-anak seharusnya diajarkan kitab suci  sesuai dengan agamanya masing-masing. Anak-anak muslim diajari al Qur’an, anak kristen diajari Injil,  dan seterusnya.

Memperhatikan riwayat kehidupan nabi  dalam  membangun keimanan, ketaqwaan,  dan akhlak mulia itu  bagi siapapun adalah terasa berat. Guru atau para pendidik harus melakukan peran-peran prophetik atau kenabian. Pandangan seperti itu  tidak berlebihan oleh karena  juga dikatakan bahwa,  para ulama’ atau setidaknya  guru adalah mengemban amanah sebagai pewaris para nabi.  Peran sebagai pewaris tentu tidak akan sempurna sebagaimana  orang yang mewarisi. Harta waris  selalu  akan dibagi-bagi kepada semua yang berhak,  sehingga perolehannya tidak akan sama dengan yang dimiliki oleh leluhur pemiliknya.

Paling tidak dengan pandangan seperti itu, maka  harus dipahami bahwa pendidikan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia tidak akan berhasil manakala hanya dilakukan seadanya, ialah hanya sekedar menyampaikan bahan-bahan ajar secara terbatas. Pendidikan keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia harus diberikan oleh orang yang telah memiliki karakter itu, menggunakan pedoman yang tepat yaitu kitab suci, dan seharusnya berlangsung dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak terbatas hanya  dalam program-program terstruktur di kelas belaka. Para guru tidak akan mungkin menyamai kehidupan Nabi, tetapi paling tidak  bahwa yang bersangkutan harus memiliki kesadaran bahwa dirinya------------baik di kelas maupun di luar kelas,  sedang dicontoh atau ditauladani oleh anak didiknya agar menjadi beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Wallahu a’lam.


Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar