Sepanjang sejarah kehidupan bangsa, pendidikan agama dipandang sangat penting dan strategis
untuk membangun karakter bangsa. Pendidikan agama diyakini sebagai wahana untuk
membentuk akhlak, kepribadian, dan budi
pekerti. Sebagai bangsa yang religious,
sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam
konstitusi, baik dalam Pancasila dan UUD
1945, maka agama harus ditransmisikan dari generasi ke generasi
melalui pendidikan. Tanpa melalui cara itu,
maka nilai-nilai agama tidak akan
mungkin merasuk pada pikiran, perasaan,
dan jiwa seseorang hingga berhasil melahirkan bangsa yang religious.
Atas dasar pandangan itu, pendidikan agama masuk dalam kurikulum pada semua jenis dan
jenjang pendidikan. Disebutkan pada UU
Sistem Pendidikan Nasional dan bahkan UU
sebelumnya secara eksplisit, bahwa
pendidikan agama wajib diajarkan kepada seluruh siswa sekolah tanpa terkecuali
sesuai dengan agamanya masing-masing. Oleh karena itu, problem pendidikan agama
bagi bangsa Indonesia, bukan lagi terletak pada perlu atau tidak perlu, penting
atau tidak penting, melainkan pada bagaimana
pendidikan agama harus dikembangkan hingga arah, sasaran, target, dan
tujuan yang dicita-citakan itu tercapai.
Sementara ini, para pihak-pihak yang berwenang atau mereka
yang merasa berkepentingan terhadap pendidikan agama, untuk mewujudkan keinginan mereka itu baru melihatnya pada jumlah jam pelajaran
yang seharusnya disediakan. Berbagai kritik dan keluhan yang terkait dengan
pendidikan agama baru menyangkut pada jumlah
jam pelajaran yang disediakan dalam kurikulum pada setiap jenjang
pendidikan dianggap terlalu minim.
Mereka berpandangan bahwa keterbatasan
jumlah jam pelajaran itu akan mempengaruhi kualitas pemahaman dan
penghayatan terhadap agama yang dipeluk oleh masing-masing peserta didik.
Terhadap kritik dan harapan itu, perlu kiranya dicari apa
sebenarnya target yang diinginkan dari pendidikan agama itu terhadap para
peserta didik. Manakala pendidikan agama di sekolah diharapkan mampu memberi
kekuatan penggerak pada diri peserta
didik untuk mempelajari agamanya lebih lanjut, dan bukan sebaliknya, justru
dengan pendidikan dimaksud menjadi
kurang apresiatif terhadap agamanya, maka perlu dicari pendekatan yang lebih
tepat. Jawaban itu misalnya, pendidikan agama seharusnya bukan saja diberikan
melalui ceramah di muka kelas, melainkan dikembangkan melalui pembiasaan,
ketauladanan, dan pembentukan lingkungan pada lembaga pendidikan hingga
tercipta suasana religious atau agamis. Termasuk pembentukan lingkungan yang kondusif adalah
mengkaitkan materi pendidikan agama dengan semua mata pelajaran yang diajarkan
di sekolah.
Berangkat dari pandangan di muka, maka pendidikan agama
diarahkan agar para peserta didik menjadi orang yang beragama secara mendalam, sehingga mereka berhasil menghayati dan bahkan menikmati keberagamaannya. Dalam kehidupan
sehari-hari, kita menyaksikan orang yang kaya ilmu agama, tetapi tampak jauh
dari kehidupan agama, dan begitu pula sebaliknya. Terdapat orang yang kekayaan
ilmu agamanya terbatas, akan tetapi tampak memiliki kedalaman di dalam
menjalankan agamaannya. Mereka itu
sangat mencintai dan bahkan menikmati agamanya. Pilihan terbaik adalah
memiliki kekayaan ilmu agama dan sekaigus menghayati keberagamaannya. Akan tetapi sebagai manusia biasa, ------bukan menjadi tokoh agama,
maka tatkala seseorang memiliki
penghayatan dan kecintaan terhadap agamanya
sebenarnya sudah cukup memadai.
Mempertimbangkan orientasi dan target mempelajari agama
sebagaimana dimaksudkan, maka pendidikan agama di sekolah seharusnya diarahkan
agar para peserta didik menjadi semakin
dekat dengan kitab suci agamanya, dekat
dengan tempat ibadah, dan semakin dekat dengan para tokoh agamanya. Semua agama terhadap ketiga hal tersebut
--------kitab suci, tempat ibadah, dan tokohnya, selalu menjadi wilayah
strategis untuk menyuburkan pemahaman,
penghayatan, dan kecintaan terhadap agama yang dipeluknya. Orang yang
beragama secara mendalam selalu mencintai kitab suci, tempat ibadah dan para
tokoh pemimpin agama yang bersangkutan.
Atas dasar pandangan tersebut, maka pendidikan agama tidak saja cukup diberikan
di dalam kelas melalui guru agama, melainkan seharusnya dipadukan dengan semua kegiatan dan bahkan
lingkungan di lembaga pendidikan yang bersangkutan. Selain itu, upaya memberikan pengetahuan, menanamkan
penghayatan, dan kecintaan terhadap agama juga seharusnya dilakukan oleh kepala sekolah, semua guru bidang pelajaran apapun, dan
bahkan juga karyawan sekolah yang
bersangkutan. Dengan demikian itu maka
suasana religius akan benar-benar terjadi secara utuh,
konprehensif, dan selalu terasakan pada semua keadaan di sekolah atau lembaga
pendidikan. Lewat pendekatan pendidikan agama seperti itu, maka cita-cita membangun
bangsa yang semakin religious akan
benar-benar berhasil terwujud. Wallahu
a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar