Meredupnya Jiwa Pendidikan



Pilar-pilar pendidikan memang masih kelihatan  kokoh. Anggaran pendidikan yang sejak lama dikeluhkan oleh banyak pihak, sejak beberapa tahun  terakhir ini dipenuhi oleh pemerintah. Anggaran pendidikan pada setiap tahunnya dipatok 20 % dari APBN. Kesejahteraan guru dan dosen ditingkatkan setelah mereka mendapatkan sertifikat profesional sebagai pendidik.

Gedung-gedung sekolah diperbaiki,  dan demikian pula  kantor-kantor yang digunakan untuk mengurus  pendidikan. Berbagai faktor pendidikan,  yang kemudian saya sebut sebagai pilar-pilar pendidikan,  keadaannya tidak lagi mengalami kekurangan, sehingga kegiatan pendidikan  bisa dijalankan.

Namun demikian  ternyata,  pendidikan masih menyisakan masalah  yang perlu  segera dijawab. Misalnya,  mengapa kualitas hasil pendidikan  tidak sebagaimana yang diharapkan. Pendidikan  belum berhasil membekali para siswanya mampu hidup mandiri. Lulusan sekolah di berbagai jenjang  hanya menambah jumlah pengagguran.

Perilaku siswa yang diharapkan  menjadi bertambah baik juga tidak selalu berhasil diraih. Sopan santun  terhadap orang tua, guru dan  sesama teman  juga tidak selalu kelihatan. Orang mengatakan bahwa siswa sekarang lebih cerdas, namun  kecerdasan mereka itu ternyata belum  selalu bisa digunakan untuk menjawab tantangan hidupnya. 

Memahami kenyataan itu semua, lalu apa sebenarnya yang salah dari pendidikan ini. Secara fisik, hal-hal yang diperlukan telah terpenuhi.  Pendidikan sebagai sebuah kehidupan,  selain aspek fisik memerlukan aspek non fisik, yaitu jiwa, ruh, nyawa, dan semangat pendidikan itu sendiri. Kehidupan tanpa jiwa atau nyawa maka bagaikan arca atau patung. Lebih buruk lagi, adalah bagaikan mayat atau bangkai.

Kurikulum adalah hanya sebagai bahan yang akan diajarkan  kepada  para siswa. Akan tetapi hal mendasar yang perlu dipertanyakan adalah untuk apa bahan pelajaran itu diberikan kepada para siswa. Tentu ada maksud yang lebih mendalam dari sekedar isi pelajaran itu. Para siswa  diajari biologi, fisika, kimia, sosiologi,  dan lain-lain. Kegiatan itu tentu memiliki  maksud,  dan bukan sekedar menjadi suatu keharusan tanpa makna apa-apa.

Para guru  dan juga siswa harus sama-sama mengetahui  tujuan, makna, dan bahkan filosofi dari membaca,  memahami sebuah buku,  dan bahkan tatkala harus menghafalkannya. Tanpa mengetahui filosofi  beban tugas itu, maka siswa akan  merasa terbebani. Melakukan sesuatu tindakan yang tidak diketahui maksudnya, hanya  akan melelahkan dan  sia-sia.

Dalam al Qur’an manusia dianjurkan agar membaca alam dan kehidupan sosial. Bahkan ayat yang pertama kali diturunkan oleh Allah lewat Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad adalah perintah membaca. Sementara ini,  pengetahuan alam telah dirumuskan menjadi ilmu fisika, biologi, kimia. Sedangkan pengetahuan tentang manusia dirumuskan menjadi psikologi, sosiologi, sejarah, antopologi,  filsafat, bahasa dan seni. Umat Islam dianjurkan untuk memahaminya.

Masih dalam al Qur’an, tatkala membaca alam dan kehidupan sosial itu harus didasarkan pada upaya memahami ciptaan Allah. Oleh karenanya, kegiatan itu  harus dimulai  dengan menyebut asma Allah. Dan, kegiatan itu  baru boleh berakhir ketika telah sampai pada puncak religiusitas seseorang, yaitu merasa kagum terhadap ciptaan-Nya, sehingga mengucapkan tasbih atau takbir.

Oleh karena itu, belajar biologi, fisika, kimia, sosiologi, dan lain-lain, bukan sebatas memenuhi kewajiban, atau agar lulus, melainkan memiliki tujuan yang amat tinggi,  yaitu sebagai proses pencaharian dan pengenalan terhadap Dzat Yang Maha Pencipta.  Itulah sebenarnya ruh, nyawa, atau jiwa pendidikan itu. Pendidikan bukan sebatas berorientasi mendapatkan ijazah  yang akan menghasilkan uang, tetapi lebih dari sekedar itu adalah memenuhi panggilan kemanusiaan.

Manakala orientasi itu gagal ditangkap, maka sama artinya pendidikan telah kehilangan ruh atau jiwanya itu. Semua pencaharian ilmu pengetahuan seharusnya  diorientasikan untuk mengenali penciptaan dan Dzat Yang Maha Menciptakannya. Di sanalah sebenarnya  ruh dan jiwa pendidikan itu. Namun rupanya,  orientasi itu  masih belum tertangkap. Maka pantaslah, manakala hasil pendidikan  masih seperti   ini, yaitu  belum menjadikan hati dan pikiran para siswa terbuka dan apalagi berhasil mengenali dirinya sendiri sebagai bekal untuk mengenal  Tuhannya. Wallahu a’lam.


Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar