Pandangan bahwa betapa pentingnya seseorang sejak usia
dini diajarkan al Qur’an sudah menjadi
milik umat Islam di mana-mana. Orang yang dekat dengan al Qur’an maka jiwa dan pikirannya sedikit banyak akan
terpengaruh oleh isi kitab suci itu. Namun yang menjadi soal adalah bagaimana
dan langkah-langkah atau fase-fase seperti apa yang sekiranya tepat untuk
mendekatkan anak-anak pada kitab suci itu, jawaban itu belum ditemukan
rumusannya yang ideal.
Di berbagai tempat telah banyak pendekatan, cara atau
strategi yang ditempuh untuk mendekatkan anak=anak sejak usia dini pada al Qur’an. Pendidikan al
Qur’an dilaksanakan di pesantren, madrasah diniyah, dan di rumah-rumah. Bahkan
pada akhir-akhir ini ada gerakan baru
terkait dengan al Qur’an yang bersifat
massal, yaitu Taman Pendidikan al
Qur’an. Lembaga pembelajaran al Qur’an tingkar dasar ini dikenal dengan sebutan
TPQ, ternyata muncul di mana-mana. Di banyak tempat, lembaga pendidikan ini
dianggap begitu penting, sehingga orang
tua merasa wajib memasukkan anak-anaknya
ke TPQ. Mereka merasa aman atau paling tidak kewajibannya telah gugur manakala
anaknya telah ikut program pembelajaran
membaca al Qur’an.
Sebenarnya, kepercayaan terhadap pentingnya pembelajaran al
Qur’an sejak dini sudah ada sejak lama. Di masyarakat muslim di berbagi tempat,
pembelajaran al Qur’an hingga dikaitkan dengan kegiatan kultural. Seseorang
sebelum melaksanakan khitan atau nikah
harus sudah dinyatakan tamat membaca al
Qur’an. Ketentuan seperti itu saya lihat di beberapa pedesaan di Sulawesi
Selatan. Ketika melakukan penelitian di daerah pedesaan itu, saya mendapatkan
cara kreatif agar masyarakat dekat
dengan kitab suci.
Anak-anak yang akan dikhitan atau pemuda dan pemudi yang
akan melangsungkan pernikahan harus datang ke rumah guru mengaji untuk mendapatkan pengakuan
bahwasanya mereka sudah belajar al
Qur’an hingga tamat. Atau, lebih dari itu,
di keluarga tertentu, ------mereka yang berekonomi cukup, diselenggarakan upacara adat, dihadiri oleh tetangga dan guru mengaji yang
bersangkutan untuk mempertegas bahwa anak yang akan dikhitan atau pemuda yang
akan menikah sudah tamat membaca al Qur’an. Kegiatan ritual kultural itu
disebut patammat. Lewat upacara itu,
mereka di mata masyarakat dikenal
sebagai orang yang baik dalam
keberagamaannya.
Sayangnya kegiatan mendekatkan anak pada al Qur’an berhenti
pada tahap bisa membaca, dan belum berlanjut hingga mampu memahami kitab suci
itu. Umpama kegiatan kultural itu berlanjut, maka lewat kegiatan kultural itu,
ummat Islam akan semakin dekat pada al Qur’an.
Selain itu, juga ditemui bahwa,
upacara patammat itu baru bersifat formal. Sekalipun sebenarnya
pembelajaran mereka belum benar-benar tamat, sudah diselenggarakan upacara
sebagai tanda kesempurnaan pembelajaran
kitab suci itu. Rupanya sama saja, di sekolah dan di masyarakat terdapat cara-cara dalam
memenuhi ketentuan hanya sebatas
formalitasnya.
Umpama kreatifitas untuk mendekatkan anak-anak pada al
Qur’an sebagaimana digambarkan tersebut juga muncul di keluarga atau bahkan di
lembaga pendidikan di alam modern
seperti sekarang ini, maka problem-problem kekeringan jiwa keberagamaan atau
gejala semakin menjauhnya anak-anak dari kehidupan keagamaan akan teratasi.
Banyak orang selalu menuntut agar jumlah
jam pelajaran agama di sekolah ditambah. Umpama
di masyarakat sudah muncul kreativitas untuk mendekatkan anak-anak pada
kitab suci lewat pendekatan kulturan, maka tuntutan tersebut tidak terlalu
perlu disampaikan. Apalagi, biasanya dengan pendekatan kultural, hasilnya lebih
mengakar dan mendalam. Walllahu a’lam
Imam Suprayogo
0 komentar:
Posting Komentar