Kelincahan dalam Berbicara



Selama ini saya memiliki kesan, --------entah salah atau benar kesan itu, bahwa kebanyakan orang  Indonesia ini tidak begitu pandai berbicara. Pada umumnya orang Indonesia lebih suka diam daripada banyak berbicara. Atau mungkin, menganggap bahwa diam lebih baik daripada banyak bicara yang tidak banyak artinya.

Kesan seperti itu  terasa sekali  ketika  kita sedang di luar negeri. Saya bernasip untung,  beberapa kali berkesempatan pergi ke luar negeri. Kesan saya, sopir taksi  sekalipun, mereka  memiliki kelincahan berbicara.  Di banyak tempat di luar negeri, sopir taksi  saja bisa diajak berbicara tentang pendidikan, sosial,  politik,  dan  tentang apa saja di negerinya sendiri.

Keadaan tersebut sangat berbeda dari  apa yang terjadi di Indonesia. Jangankan sopir taksi,  bahkan sarjana lulusan S1  atau  lebih tinggi dari itu, kadang masih sulit diajak berbicara,   sekalipun tentang hal yang terkait dengan bidangnya.  Terasa sekali bahwa hanya sekedar mengungkapkan isi hati atau buah pikirannya sendiri  saja kadang  tampak mengalami kesulitan.

Anehnya,  kesulitan  berbicara itu juga tampak  dalam forum-forum ilmiah. Selama ini saya sering menemui kegiatan  diskusi dan atau seminar,  tatkala sampai pada  saat waktunya  tanya jawab ternyata amat sedikit yang bertanya. Kebanyakan  mereka datang ke forum ilmiah itu hanya sekedar untuk mendengarkan. Moderator kadang harus membujuk-bujuk agar peserta ada yang bertanya. Saya yakin,  tatkala mereka diam bukan karena tidak mempunyai ide, melainkan hanya karena tidak berani berbicara. 

Melihat kenyataan itu, pikiran saya tertuju pada kebiasaan pembelajaran di sekolah selama ini. Para siswa dalam  proses belajar mengajar lebih banyak dibiasakan untuk mendengarkan daripada dilatih untuk mengungkapkan pendapat atau pikiran-pikirannya.  Mereka  lebih  dibuat pasif di kelas. Kegiatan diskusi atau beradu pendapat tidak banyak dilakukan.

Bahkan dalam ujian sekalipun, para siswa hanya disuruh memilih di antara alternatif jawaban yang paling benar.   Mereka tidak diberi kebebasan  mengungkapkan pendapatnya sendiri, atau apalagi diberi peluang untuk  menunjukkan  kepandaian mereka dalam  menciptakan sesuatu. Padahal justru yang terakhir ini yang lebih penting dan  seharusnya  dikembangkan  di sekolah. 

Kelemahan mengungkapkan pendapat,  atau tegasnya kekurang-mampuan  dalam berbiacara itu merupakan buah dari pendekatan proses belajar dan mengajar di sekolah selama ini.  Para siswa tidak diberi  waktu untuk berlatih berbicara oleh karena kelas didominasi oleh guru.  Para siswa dan bahkan mahasiswa juga tidak dituntut agar  pintar mengungkapkan idea-ideanya melainkan hanya sebatas dilatih mendengarkan. Mudah-mudahan rencana perubahan kurikulum mendatang  tidak sekedar menyusun   bahan yang harus ceramahkan oleh guru di hadapan para siswanya.   

Manakala perubahan kurikulum itu hanya sekedar dimaksudkan mengubah bahan pelajaran,  dan bukan mengubah  proses pembelajaran  secara keseluruhan   secara  mendasar  maka  bisa jadi  kurikulum baru itu masih saja menghasilkan orang-orang yang sekedar berbicara saja mengalami kesulitan.  Sebaliknya, manakala perubahan itu juga disertai perubahan iklim yang selama ini  dirasakan menghimpit dan atau membelenggu semua pihak maka perubahan itu memang sedang ditunggu-tunggu.

Oleh karena itu, menurut hemat saya, satu hal yang harus diubah adalah kultur. Misalnya, guru  menjadi  tidak  terlalu diatur hingga menjadikan mereka merasa lebih leluasa dan bebas. Guru harus memiliki kebebasan untuk menjadikan murid-muridnya  berkarakter, cerdas,  dan memiliki ketrampilan yang dibutuhkan di lingkungannya.  Semakin banyak diatur, maka  pendidikan justru tidak akan sampai pada tujuan utamanya, dan bahkan sekedar mampu berbicara saja tidak berhasil seperti yang  terjadi  sekarang ini. Wallahu a’lam.


Imam Suprayogo

0 komentar:

Posting Komentar