Istilah menyontek sangat populer di
kalangan siswa maupun mahasiswa. Disebut kata nyontek, mereka semua tahu
artinya. Sontek menyontek terjadi di sekolah atau di kampus. Seorang siswa yang
ingin menjawab soal secara benar dalam ujian, sedangkan yang bersangkutan
tidak mengetahui jawaban itu maka jalan pintas yang dilakukan adalah menyontek
dari teman, buku catatan, atau apa saja yang bisa digunakan.
Perbuatan menyontek oleh siapapun
dikatakan buruk, haram, dosa, dan dilarang dilakukan. Penjelasan tentang
hal itu telah disampaikan oleh guru, orang tua, kepala sekolah dan bahkan
teman-temannya sendiri. Oleh karena itu, tentang hal buruknya atau dilarangnya
menontek telah diketahui dan disadari oleh siapapun, termasuk oleh para siswa
atau mahasiswa.
Pertanyaannya adalah mengapa
sementara siswa dan mahasiswa masih melakukannya. Dalam pelaksanaan ujian nasional,
agar para peserta ujian------SMA, SMK, MA tidak menyontek maka disediakan
sejumlah pengawas yang cukup. Agar para pengawas bersikap jujur dan obyektif,
maka tidak dibolehkan guru sekolah yang bersangkutan menjadi pengawas di mana
mereka sehari-hari mengajar. Para pengawas diambilkan dari sekolah lainnya,
atau dilakukan tukar menukar. Guru Madrasah Aliyah ditugasi menjadi pengawas di
SMA atau SMK, dan begitu pula sebaliknya.
Masih agar pelaksanaan ujian
berjalan obyektif dan jujur, maka tidak sembarang percetakan diberi tugas
menggandakan soal. Perusahaan percetaaan pun dipilih yang kridibel. Proses pelaksaan penggandaan soal diawasi
hingga tidak dimungkinkan terdapat soal yang bocor. Pihak-pihak yang
bertanggung jawab terhadap penggandaan soal berusaha sekuat tenaga agar
kebocoran soal tidak terjadi. Demikian pula pengiriman soal dari percetakan ke
sekolah harus lewat pengawasan yang sangat ketat.
Sebelum dibuka di masing-masing
sekolah tempat ujian, soal diletakkan di kantor polisi, agar aman. Saling
tidak percaya dalam mengurus soal ujian dianggap penting. Oleh sebab itu
mengambilan soal dari kantor polisi setidaknya harus dilakukan oleh tiga orang,
yaitu wakil dari polisi, dari diknas dan dari perguruan tinggi. Tanpa
melibatkan ketiga unsur tersebut tidak akan dilayani oleh pihak penjaga soal.
Demikian pula, pada setiap hari, kertas jawaban langsung harus dikirim ke
pengolah data di perguruan tinggi. Pengiriman kertas jawaban itu juga dilakukan
oleh ketiga pihak sebagaimana dimaksudkan di muka.
Pelaksnaan ujian benar-benar ketat.
Namun demikian ternyata masih ada saja penyimpangan kecil, misalnya beredar
kinci jawaban melalui HP. Entah benar atau tidak kunci jawaban itu, namun hal
itu sangat mengganggu iklim pelaksanaan ujian. Maka muncul saling tidak percaya
atau mencurigai pihak-pihak tertentu yang ditengarai berkepentingan dari
kegiatan ujian itu. Pelaksanaan ujian yang sedemikian ketat itu, baik terkait
dengan penyediaan soal, pengawasan, dan juga proses pelaksanaan ujian, menggambarkan
betapa sulitnya melarang para siswa melakukan penyimpangan, menyontek misalnya.
Mengamati pelaksanaan ujian itu seolah-olah
nasehat orang tua, guru, kepala sekolah terhadap anak atau para
siswa agar tidak nyontek, sudah tidak mempan lagi. Dalam hal ujian seolah-olah
anak lebih mengedepankan lulus ujian dari sekedar menuruti nasehat guru.
Kenyataan seperti itu tidak saja disadari oleh guru, orang tua, kepala sekolah,
tetapi juga oleh pejabat pemerintah, baik di kalangan kementerian
pendidikan dan kebudayaan maupun oleh kementerian agama. Buktinya dalam
pelaksanaan ujian nasional harus melibatkan perguruan tinggi dan polisi.
Para dosen dikerahkan untuk menjaga ujian nasional. Demikian pula para polisi
dimintai bantuannya untuk mengawal soal ujian dari percetakan ke kantor polisi,------tempat
menyimpan soal-soal ujian, hingga berkas dimaksud dikirim ke masing-masing
sekolah, tempat ujian dilaksanakan.
Melihat kenyataan seperti itu, maka
kiranya perlu direnungkan secara mendalam, terhadap pertanyaan-pertanyaan
di seputar misalnya, (1) mengapa para guru, kepala sekolah, dan orang tua gagal
mendidik putra-putrinya berbuat jujur dan obyektif sehingga para siswa tidak
melakukan hal yang dianggap buruk itu. (2) mengapa para siswa sedemikian berani
melakukan penyimpangan atau menyontek itu. Jangan-jangan model soal ujian atau
oleh karena keadaan yang memaksannya. Mungkin sudah waktunya direnungkan bahwa di
alam terbuka seperti sekarang ini sudah tidak mungkin para siswa terbebani
menghafal semua buku, rumus-rumus yang diajarkan di sekolah, hanya sekedar ingin
lulus, (3) apakah masih relevan soal-soal ujian nasional diformat seperti
itu, yakni memilih di antara alternatif jawaban yang disediakan, dan masih
banyak lagi pertanyaan lain yang harus dijawab secara mendalam.
Jawaban terhadap pertanyaan dimaksud
di muka kiranya bisa direnungkan sendiri-sendiri secara mendalam dengan
pertimbangan hasil pengamatan, pengalaman, dan problem-problem yang
selalu muncul di lapangan. Selama ini yang saya khawatirkan dari ujian
nasional semacam itu malah justru kontraproduktif terhadap program besar
kementerian pendidikan nasional, yakni membangun pendidikan berkarakter. Saya khawatir, jangan-jangan ujian nasional justru melatih anak-anak berbohong
dengan cara menyontek, merasa tidak dipercaya, dan bahkan ujian dianggap
sebagai pemberian beban yang berlebihan. Akhirnya kepercayaan diri para siswa
tidak terbangun. Pemerintah yang seharusnya dihormati dan dicintai, justru dianggap
sebagai pihak-pihak yang menekan dan memberi beban berlebihan.
Padahal, semestinya orang tua, guru,
kepala sekolah, dan pemerintah setiap waktu harus membangun sikap kasih
sayang secara mendalam terhadap semua anak bangsa, agar berbuah, yaitu melahirkan
rasa hormat dan mencintai. Saya sedih melihat fenomena yang terjadi pada
setiap tahun, tatkala mereka dinyatakan lulus, lalu melakukan pesta
berlebihan. Ekspresi kegembiraannya berlebihan, seolah-olah mereka
telah terbebas dari beban berat, sehingga menyerupai orang yang sedang bebas
dan keluar dari penjara.
Sekolah adalah sekolah, bukan penjara
yang dirasakan sebagai pembelenggu dan perampas
kemerdekaan. Larangan menyontek tidak perlu harus mengorbankan aspek-aspek
psikis yang seharusnya dirawat atau dipelihara. Mungkin sesuai dengan tuntutan
zamannya, ujian dan soal dibuat sedemikian rupa sehingga lebih fungsional
dan aman bagi semua. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar